Bagian Kedua

15 3 14
                                    

Tasya melihat kondisi Ibu berbaring di kamar UGD dengan rasa khawatir, panik, dan sedih. 'Semua terasa cepat, aku ingin semuanya berlalu, tolong mama bangun', lintas pikiran Natasya.

Dr. Heru menemui bibi Mawar meminta ijin memindahkan Bu Indira agar dipindahkan ke kamar pasien yang telah disiapkan. Bibi Mawar menanggapi dan meminta Natasya untuk minggir sebentar. Para perawat langsung sigap memindahkan bed bu Indira ke kamarnya. Siti pun disitu disebelah sahabatnya, menenangkan dia sambil memeluknya dengan erat. 

Waktu menunjukkan pukul 03.00 malam, bibi Mawar dan Tasya berbicara dengan Dr. Heru di luar kamar sedangkan Siti menjaga bu Indira dengan kondisi tertidur, bunyi monitor jantungnya berbunyi. Siti menghela nafas bersama rasa cemas dengan sahabatnya yang harus mengalami peristiwa ini. 

"Beruntung kondisi bu Dira bisa tertolong. Namun tumor di payudara beliau sudah menyebar dengan ganas menjadi kanker. Saat jam 12 siang, kami akan memberikan obat dan memonitoring kondisi beliau, obat ini akan memperlambat penyebaran kanker," kata Dr. Heru dengan berita buruk. "Saya tidak mengerti dok. Mama saya kemaren sudah bisa lancar berbicara, apalagi menjawab pertanyaan. Apakah ada kesalahan dengan obat?" tanya anaknya dengan nada serius. "Tumor bu Dira ternyata lebih kuat dari obat kami, prioritas kami lakukan adalah untuk memperlambat penyebaran sementara, jika tidak akan menular sampai organ terutama otak beliau, itu akan membahayakan nyawa beliau," jawab Dr.Heru "Untuk sekarang adalah biarkan beliau beristirahat sejenak," saran dokter setelah membius bu Dira untuk semnetara waktu. Lalu dia meninggalkan bibi Mawar dan Tasya. 

"Sepertinya aku harus cuti lagi deh", keluh Tasya. 

"Nak Tasya, istirahat dulu ya. Saya dan Siti akan ke apotek lantai bawah untuk mengambil obat ", perintah Bibi Mawar pada Tasya. Dia menanggapi kemudian langsung ke kamar, lalu Siti menepuk pundak sahabatnya "Tunggu bentar ya. Jangan jajan aneh-aneh ya ", canda Siti. 

Tasya duduk di kursi santai di sebelah kasur mamanya. Melihat mamanya berbaring lagi dengan tenang, terlintas dari pikirannya saat berbaring di sebelah mamanya di rumahnya. 'Siapa 'mereka' maksud mama? apakah dia teman atau musuh? apa jangan-jangan aku akan dijual?' Tasya langsung sadar dari melamunnya. 'Yang harus diutamakan adalah bagaimana membayar biaya perawatan mama ya? apa aku mencari pekerjaan lain ya? Nanti saja deh. Aku melamun lagi sekarang,' gerutu Tasya. Isi pikiran-pikiran Tasya semakin melayang-layang sampai dia tidur terlelap. 

----

'Semua samar-samar, aku tidak bisa melihat. Apa yang terjadi? Tempat apa ini?'batin Tasya sambil membuka matanya sedikit menatap langit-langit atap yang terlihat tidak dikenali.

Sesaat kemudian, tangan Tasya ditarik oleh seorang gadis. Walaupun penglihatan Tasya masih kabur, dia masih bisa mengenali rupawan gadis ini. Rambutnya pirang kecoklatan, lurus, warna kulitnya putih. 

"Aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini. Lepaskan aku! Papa lepaskan aku!" teriak gadis itu sambil menarik-narik tangan Tasya dengan kencang. Ternyata gadis itu ditarik oleh pria dengan penampilang sangat Europe dengan rambutnya yang lurus dan pirang. Tasya yang masih sibuk menatap pertengkaran mereka lalu dikejutkan dengan suara yang dia kenali. 

"Ayo Tasya kita harus pergi! Kau akan bersama mama sekarang!" balas wanita tersebut sambil melepas genggaman tangan Tasya dan gadis itu. 'Mama?' tanya batin Tasya melihat wajah wanita itu, lalu penglihatan Tasya menjadi jelas. "Sudah waktunya kamu bangun. Kamu akan bertemu dengan papamu lagi", jawab mama Tasya dengan lembut seakan-akan disekitarnya menjadi gelap.


---

Tasya terbangun dari mimpinya dengan nafas yang tergesa-gesa di kursi santai tadi. Dia mengambil nafas lalu pergi mengambil segelas air putih di sekitar meja kamar. 

Sekarang sudah pukul 12 siang, mata Tasya langsung membesar dan terburu-buru mencari bibi Mawar, namun dia tidak ada di kamar pasien. Dengan segera Tasya mengeluarkan handphonenya dan menelpon bibi Mawar. Tidak ada balasan, Tasya mencoba lagi sampai ada Dr. Heru memasuki kamar pasien mamanya. 

"Maaf membangunkan mbak. Saya ingin memberikan informasi terkait kesehatan beliau", jawab dokter itu dengan nada sopan. Tasya yang terkejut menanggapi perkataan dokter. "Kanker di payudara beliau sudah menyebar sampai ke organ ginjalnya, setelah kami memberikan obat, sel imun bu Dira merespon dengan baik yang nantinya akan mengikat sel kanker dan menghancurkannya", kata dokter dengan bahasanya yang membingungkan Tasya. Bagaimana tidak? dia anak IPS, nilai biologi saja tidak memuaskan. Namun Tasya sedikit paham dengan apa yang diucapkan Dr. Heru. 

Selama berbincang selama 5 menit, Dr. Heru meninggalkan kamar beliau. Tasya langsung mengambil nafas lega dan langsung mengambil bantal yang dia bawa tadi malam untuk mamanya. Saat meraih bantal tersebut, dia terkejut melihat  koper baju miliknya yang terletak di sebelah meja. Ternyata bibi Mawar dan Siti mengambil baju Tasya selama dia tertidur di malam hari itu. 'Siapa aku tanpa mereka', batin Tasya sambil menghela mafas. 

Waktu telah berlalu, Tasya masih merawat mamanya bersama bibi Mawar, suasana menjadi tenang untuk Tasya, dia tidak ingin melamun terus. Untuk menghilangkan overthinkingnya, dia mengobrol dengan bibi Mawar. 

"Siti lagi kerja ya, bi?" tanya tasya, bibi Mawar mengganggup, "Setelah pulang ngantor anak itu, dia akan membawa makanan kesukaan kamu. Bakso di depan rumah", puji bibi Mawar menghibur Tasya. Tasya tertawa, tidak sabar menunnggu makanan itu diberikan kepadanya. Saat perbincangan berlangsung, Tasya bertanya langsung dengan bibi, "Bi, apa aku punya kerabat selain mama?"

"Tidak, hanya kalian berdua. Bibi hanya tahu itu saja,"jawab Bibi

"Apa benar?"tanya Tasya dengan rasa ingin tahu. Bibi Mawar mengganggup, namun wajahnya seperti sedang menyebunyikan sesuatu. 

Mimpi yang dialami Tasya .... dia tidak tahu apakah itu benar, tapi firasatnya mengatakan bahwa ada suatu hal yang tidak ia ketahui. 

Tasya tumbuh bersama mamanya selama 26 tahun, tanpa ayah. Dia selalu mempertanyakan hal itu, di benaknya bahwa kalau mamanya janda yang ditinggal suaminya, antara sudah meninggal atau cerai. Dia bertanya hal ini pada mamanya lalu beliau menjawab bahwa ayahnya telah meninggal saat dia masih kecil. Dengan jawaban beliau seperti itu, Tasya tidak menghiraukan hal itu. Tasya tidak pernah bertanya lagi karena dia sibuk dengan pekerjaannya dan mengurus kondisi mamanya. 

"Eh, bagaimana dengan pekerjaan mengajarmu? sudah izin dengan rekanmu?" tanya Bibi Mawar seakan-akan mengelak perbincangan sebelumnya

Dengan kesal, Tasya dengan nada suara keras berkata, 

"Sudahlah bi. Aku sudah dewasa, sudah kerja dan mandiri. Masa tentang hal ini aku tidak boleh mengetahuinya?"

"Jika mama sudah tidak ada, yang tersisa di keluargaku hanya diriku sendiri. Kemudian bos bibi di rumah itu berganti menjadi aku, maka aku berhak tahu,"bantah Tasya dengan nada tinggi.

Bibi Mawar terkejut mendengar perkataan anak beliau yang lancang sekali berkata seperti itu. Kemudian terjadilah pertengkaran Bibi dan Tasya. Pertengkaran ini hampir terdengar di luar kamar, sampai sekuriti meminta mereka tenang. 

"Bibi memang tidak peduli denganku ya? Asalkan bibi tahu ya ... aku sudah berusaha membantu merawat mama sepanjang hari dengan lelah karena aku punya kewajiban melakukan mata pencaharianku. Namun semua sia-sia karena ... karena", perkataan Tasya selanjutnya tiba-tiba behenti sejenak. Kemudian Tasya dengan nada kesal dan marah akibatnya dia berlari ke luar kamar, meninggal Bibi Mawar yang masih marah pada Tasya. Bibi Mawar menghebuskan nafasnya merasa bersalah dengan wanita rambut panjang itu.

"Apakah sekarang sudah waktunya?" tanya Bibi Mawar sambil menoleh pada Bu Dira yang masih dalam keadaan belum sadar. 


Not AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang