n o l d u a

5 5 3
                                    

“Kak, Ghama pas di kampus kaya gimana?” tanya Kalara.

“Apanya yang gimana?” Kenzel sedikit menoleh lalu fokus untuk menyetir.

“Ya kaya suka ngapain aja gitu?”

“Ya belajar, apa lagi?”

“Au ah serah.”

“Masa gitu aja ngambek? Kan emang bener di kampus dia cuma belajar,” ujar Kenzel.

“Ya kan kali aja gitu ada deket sama cewe,” gerutu Kalara pelan.

“Oh iya ada.”

“Hah serius?!” pekik Kalara heboh.

“Iya serius, kalo ga salah cewenya itu mantannya dia,” ujar Kenzel.

Kenzel menoleh, menatap adiknya yang sedang melamun. “Udah gak usah di pikirin, sana masuk,” ujar Kenzel menyadarkan Kalara bahwa mereka sudah sampai di depan gerbang SMA Pramudya.

***

“Lo kenal sama cowo yang namanya Kaisar gak Nad?” tanya Kalara kepada gadis yang sedang minum es teh di depannya itu.

“Kaisar?” ulang Denada.

“Iya Kaisar, dia kayanya dari sekolah sebelah,” ujar Kalara.

“Gak tau gue, tapi kaya familiar ya,” balas Denada. “Eh tumben lo ngebahas cowo lain, biasanya juga yang lo bahas cuma Ghama.”

Kalara hanya menggeleng seraya tersenyum kecil sebagai balasan.

***

Hampir menjelang sore, Kalara berjalan di trotoar pinggir jalan menuju ke toko bunga milik Mama Yuni. Melihat keadaan sekitar yang terlihat lumayan ramai kendaraan, dan juga matahari yang tidak begitu menyorot terik.

Tepat sepuluh meter di depannya, laki-laki yang sedari kemarin berada dipikirannya terlihat usai menuruni bis. Dan laki-laki itupun menyadari keberadaannya.

“Hai, kita ketemu lagi,” ujar Kaisar dengan semangat saat Kalara telah sampai di depannya.

“Iya, hai.”

“Kalara Amerta, lo mau ke toko bunga?” tanya Kaisar.

“Cukup panggil Kalara,” ujarnya pelan.

“Oke Kalara, jadi lo mau ke toko bunga lagi?”

“Iya,” jawab Kalara, lalu sedetik kemudian ia bertanya lagi. “Lo ini siapa sih?” tanyanya sembari melirik laki-laki di sampingnya.

“Gue? Kaisar Zaydendra.”

“Anak pungut ya?” tanya Kalara gamblang.

“Mulut lo anjir!” Kaisar menatap Kalara dengan pandangan horor.

“Ya abisnya masa keturunan konglomerat pulang sekolah naik bis.”

“Emangnya setiap orang berada harus memperlihatkan harta mereka?” tanya Kaisar.

“Ya nggak juga, tapi aneh aja gitu--”

“Lo pasti belum pernah ngerasain naik bis pas hujan ditambah musik,” potong Kaisar tidak lupa menunjuk airpods-nya.

“Lagipula almarhum ayah gue ngasih fasilitas yang pas-pasan sedari gue kecil,” lanjut Kaisar.

“Loh kenapa?” tanya Kalara penasaran dan melupakan bahwa mereka ini bisa disebut sebagai orang asing yang baru kenal, namun sudah bercerita ke hal yang lebih pribadi.

“Karena ayah gue gak mau nantinya gue sombong karena kasta gue lebih tinggi dari orang-orang, ayah takut gue memandang rendah ke orang yang derajat dan kastanya di bawah gue. Ayah pengen gue memandang dan memperlakukan orang-orang dengan setara tanpa di beda-bedakan oleh kasta atau apapun itu. Makanya dia ngasih fasilitas pas-pasan sama gue,” jelas Kaisar.

“Oh gitu ya,” Kalara mengangguk paham, lalu keduanya kembali diam menikmati suasana sore dengan matahari yang perlahan redup karena awan diatas terlihat menggumpal abu-abu, angin menerpa keduanya. Dan perjalanan mereka ke toko bunga entah kenapa serasa melambat.

“Gue suka hujan, kalo lo suka apa?” tanya Kaisar setelah beberapa menit berdiam.

“Langit, gue suka langit. Dan sesuatu yang hijau,” jawab Kalara.

“Daun?”

“Ck gak daun juga kali!” ujar Kalara seraya menatap kesal laki-laki disampingnya itu.

Kaisar terkekeh, lalu dia berhenti tepat di dekat traffic light. Tidak lupa diapun menatap gadis yang memiliki tinggi badan hanya sedagunya itu. “Terus apa?”

“Ya kaya taman hijau atau hamparan bukit hijau kaya di teletubbies,” ujar Kalara.

“Haha kirain daun, yaudah kita pisah disini ya.” Kaisar menunjuk traffic light yang sudah memperlihatkan warna merah, waktunya menyebrang.

Tanpa berkata lagi, Kaisar menyebrang ke seberang kanan. Dan Kalara entah mengapa dia masih ingin melihat Kaisar sampai laki-laki itu berada di sebarang.

Kaisar melambaikan tangan seraya tersenyum, dan dibalas serupa oleh Kalara. Lantas dia melanjutkan langkahnya ke kawasan perumahan elit di daerah sana, sedangkan Kalara dia mengambil jalur kiri untuk ke toko bunga.

Tanpa disadari, Jalan Indasana adalah awal dari kisah mereka.

***

“Kak?” Kalara menatap tak percaya laki-laki di depannya itu. Hari Minggu pagi dengan sebuah undangan pernikahan di atas meja tidak lupa dengan laki-laki yang dia puja mengantarnya langsung.

“Kala, gue minta maaf.”

Hanya kata maaf yang mampu di ucapkan Ghama, sungguh dirinya sangat tidak tega sebenarnya. Namun apa boleh buat? Perasaan tidak bisa di paksakan, dan ternyata masalalu masih menjadi pemenang di hidup maupun hati Ghama.

Kalara tersenyum, “Gitu ya kak? Nanti gue dateng--”

“Kala! Masuk kamar.” Kenzel yang baru bergabung mengintruksi dengan nada bicara dan raut wajah yang dingin.

Tanpa bantahan Kalara pun langsung naik ke lantai dua. Dia tidak ingin melihat maupun mendengar perkataan Ghama untuk saat ini. Ekspetasi dan harapannya terlalu sudah hancur.

“Beberapa kali gue liat lo bareng sama mantan lo itu, gue kira lo cuma sebatas temenan lagi sama dia. Ternyata langsung sampe sejauh ini ya?” Kenzel terkekeh miris, dia merasakan apa yang adiknya sedang rasakan, sakit. Hatinya sakit melihat adik kecilnya tersakiti.

“Pergi, pintu keluar ada di sana,” tunjuk Kenzel.

“Ken, gue minta maaf untuk semuanya-”

“Jax! Ini bukan lo banget tau gak? Lo kenapa gini? Lo udah kaya ngasih harapan ke adek gue, tapi sekarang apa hah?!”

Kenzel berusaha menekan emosinya, rahangnya mengeras dengan kepala yang berdengung.

“Pergi.”

to be continued

Our Short Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang