n o l t i g a

5 5 0
                                    

“Ma! Mama?!”

Kenzel mengetuk-ngetuk pintu kamar orang tuanya dengan brutal, dia panik. Persetan sekarang jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dia kalut saat mendapat telfon dari sang adik bahwa dia demam. Dan saat ia mengecek ke kamar adiknya, benar saja adiknya demam tinggi dengan badan menggigil.

Yang paling membuat dia kalut adalah adiknya terlihat mimisan.

“Papa! Mama! Kalian kebo banget sih!”

“Ada apa ribut-ribut di pagi buta begini?”

Pintu kamar itu akhirnya terbuka, memperlihatkan muka bantal Maverick yang terlihat datar.

“Kala demam, Pa. Barusan--”

Tanpa perasaan, Maverick mendorong Kenzel untuk menyingkir. Langsung berjalan tergesa ke arah barat tempat dimana kamar Kalara berada.

“Ken, bangunkan Mama. Dan langsung siapkan mobil,” perintah Maverick saat sampai di depan kamar Kalara.

Tanpa kata Kenzel pun menuruti perintah ayahnya.

***

“Nona Kala hanya mengalami demam biasa. Ini di akibatkan oleh kelelahan, kurang tidur, dan juga banyak pikiran. Oh ya, Nona Kala juga ternyata mengalami maag dan menyebabkan tubuhnya lemas. Namun sudah tertangani,” terang dokter Juan kepada tiga manusia di depannya.

“Tidak ada penyakit serius kan, Dok?” tanya Maverick.

“Tidak ada, kalau begitu saya permisi. Jika besok pagi Nona Kala sudah bangun dan ada keluhan, panggil saja saya,” ujar dokter Juan lalu dia pergi.

“Kala sampai sakit seperti ini karena laki-laki yang akan menikah itu kan?”

“Temen kamu kan, Ken?” tanya Yuni seraya memicingkan matanya.

“Iya, dia temen aku. Besok aku kasih dia pelajaran,” ujar Kenzel.

“Kenapa harus besok? Kenapa gak sekarang aja?” tanya Maverick datar.

“Papa jangan gila! Ini jam tiga pagi,” ketus Kenzel.

“Udah kalian diem, nanti Kala bangun!”

***

Setelah beberapa hari Kalara sakit dan pastinya dia izin untuk tidak sekolah, hari ini tepatnya hari Kamis dia kembali ke sekolah. Dengan muka yang murung tanpa gairah hidup.

“Kala!”

Kalara yang sedan berjalan di koridor menuju kelasnya, sontak memberhentikan langkahnya. Menoleh ke asal suara, terlihat Denada menuju ke tempat ia berdiri dengan gaya cool nya yang sudah di kenal oleh seluruh warga sekolah.

“Ngapain sekolah?” pertanyaan tak berbobot itu secara refleks menguap dari mulut Denada.

“Retoris,” balas Kalara dengan pelan.

“Maksud gue, emang lo udah sembuh sampe udah sekolah?”

Kali ini Kalara mengabaikan sahabat satu satunya itu, pertanyaan retoris yang tidak perlu dia jawab lagi.

“Udah lah, jangan galau terus. Kaya bukan lo banget tau gak.” Denada menggulung lengan sweater hitam yang iya kenakan, lantas dia merangkul gadis yang bahkan lebih tinggi dari dirinya sendiri.

Our Short Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang