Kalara menatap heran kepada laki-laki pirang bernama Bri yang berada di anatara ia dan Kaisar yang duduk berhadapan. Si Pirang ini, sedikit sokap. Namun dengan ramah Kaisar meladeni ucapan bahkan pertanyaan konyol dari Bri, salah satunya ini.
“Masa sih kalian ngedate pas hujan gini?”
“Ngaco,” ketus Kalara.
“Kita belum ada hubungan apa apa kok, hehe,” balas Kaisar canggung.
Merasakan hawa mulai tak menyenangkan mengguar dari Kalara, Kaisar langsung memutuskan membawa Kalara dari hadapan Bri. Tidak lupa dia menitipkan tasnya beserta tas Kalara, juga sepatu mereka titipkan disana.
Bri menatap dua orang remaja yang di matanya terlihat sedang kasmaran itu dengan senyuman misterius. Takdir mereka sangat bagus jika memutuskan untuk bersama.
***
“Kai,” panggil Kalara dan dibalas dehaman oleh Kaisar.
“Lo waras gak sih?” tanya Kalara sedikit emosional.
“Emang kenapa sih, Kal? Lo harus ngerasain moment ini, minimal sekali dalam seumur hidup lo,” balas Kaisar menggebu.
Di bawah hujan yang masih enggan menyurut, terdengar riakan angin dari daun kelapa dan juga deburan ombak yang berisik, namun menenangkan bagi kedua insan tersebut.
“Gue juga suka hujan, tapi gue benci kebasahan, Kai,” ujar Kalara sembari menyimpan tangannya tepat di atas mata, menghalau air yang mampu membuat pandangannya buram.
“Dingin?” tanya Kaisar melenceng dari topik sembari menerbitkan cengiran bodohnya.
“Retoris!” balas Kalara tajam.
Sedetik kemudian gadis manis di samping Kaisar itu berhenti melangkahkan kakinya yang sudah mulai menginjak pasir pantai yang terlihat berwarna coklat basah oleh hujan.
“Kenapa?” kaisar bertanya dengan nada tertahan.
“Jam berapa sekarang? Gue lupa ngabarin Mama,”
Gadis itu terlihat pucat, entah karena dingin atau panik tidak mengabari sang Mama. Akan tetapi Kaisar hanya terkekeh menanggapi.
“Udah gue izinin, lo tenang aja. Bahkan sama Kenzel aja gue udah izin.”
Kalara kemudian terkekeh, lagi. “Rela-relain nunggu di halte, bayarin ongkos bis, merelakan satu setengah jam di jalan, bawa dua payung, langsung akrab sama si pirang, ngizinin gue ke Mama dan Kakak. Se-niat itu?” Kalara bertanya heran sesudah menata satu persatu yang laki-laki itu lakukan terhadapnya.
“Untuk apa semua itu, Kai?”
“Untuk ini.”
Kalara yang awalnya berbicara seraya memusatkan seluruh atensinya kepada Kaisar, kini ia di balik paksa dengan di putarannya bahu kecil itu supaya menghadap langsung kearah sinar oranye yang berada jauh di sebrang sana.
Matanya bergetar, tidak menyangka. Tubuh lembabnya masih di singgahi rintik kecil dari air yang sudah lumayan menyusut.
Perasaannya merasakan hal yang berbeda, deburan ombak yang memekakkan telinga, rintik gerimis beserta angin yang bertiup lirih melewati kulit basah yang menimbulkan sensasi dingin. Dan juga, sinar oranye yang tak dapat menyampaikan rasa hangatnya ke kulit. Ini terlalu aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Short Story
AcakKalara yang awalnya berbicara seraya memusatkan seluruh atensinya kepada Kaisar, kini ia di balik paksa dengan di putarannya bahu kecil itu supaya menghadap langsung kearah sinar oranye yang berada jauh di sebrang sana. Matanya bergetar, tidak menya...