“Aku berangkat ya, Ma,” pamit Kalara kepada Yuni.
“Hati-hati ya kalian. Kai, kamu juga jangan aneh-aneh, ini masih pagi,” ujar Yuni.
“Siap, Tante,”
Setelah berpamitan singkat, Kaisar dan Kalara mulai berjalan keluar gerbang lalu lanjut berjalan keluar dari perumahan milik Kalara. Mereka mengambil arah kiri, pantas saja Kaisar memutuskan menjemputnya, bukan semata-mata karena cowo yang seharusnya menjemput, tapi karena jalannya searah dengan rumah Kalara.
Saat subuh tadi, Kalara sempat bingung harus berpakaian seperti apa. Masalahnya dirinya sekarang bisa disebut berjoging, bukan? Akhirnya setelah lama berpikir, Kalara memutuskan memakai hoodie oversize dan memakai legging dengan panjang tiga perempat untuk menutupi kakinya.
Di jam lima pagi seperti ini, beberapa pedagang di pinggir jalan, seperti bubur dan nasi goreng sudah mulai mangkal. Beberapa pengendara juga mulai berlalu lalang.
Ini merupakan pengalaman pertama yang baru bagi Kalara. Disaat langit yang masih hitam, udara dingin yang tetap menusuk walaupun dirinya memakai pakaian yang cukup hangat, dan jangan lupakan laki-laki jangkung yang berada disebelahnya yang membuat dirinya merasakan keadaan yang baru.
“Lo udah sarapan?” Kaisar memulai pembicaraan.
“Belum, lo mau sarapan? Kalo mau, tadi Mama sempet buatin sandwich buat kita,” ujar Kalara seraya memperlihatkan paper bag yang berada di tangannya.
“Iya kah? Perhatian banget Mama lo,” ujar Kaisar.
“Mama tau kalo gue paling gak bisa kalo gak sarapan, makanya dia buatin sebelum kita berangkat.”
“Mama yang baik.”
“Semua Mama yang ada di dunia itu baik, Kai.”
“Iya juga, di masa depan nanti lo juga pasti jadi Mama yang baik.”
Kalara hanya tersenyum untuk menanggapi.
“Kali ini, hal aneh apa yang akan lo perlihatkan ke gue?”
“Gue gak yakin bakal dapet sih, tapi semoga aja dapet,” ujar Kaisar yang sama sekali tidak di mengerti oleh Kalara.
“Maksud lo?”
“Sunrise, gue gak tau hari ini kita dapet atau ngga. Cuaca bulan November kurang mendukung. Tapi walaupun kita gak dapet sunrise, pemandangan disana tetep bisa memanjakan kita.”
Setelah itu, mereka memutuskan untuk berlari kecil. Bukan joging namanya jika mereka hanya berjalan sembari mengobrol.
Beberapa kali mereka melewati jalan pintas untuk cepat sampai, mereka juga sempat melewati sebuah pemukiman terbengkalai, namun terkesan biasa saja karena waktu sudah pagi.
“Masih jauh?”
“Bentar lagi juga nyampe,” jawab Kaisar.
Mereka saat ini sedang berjalan diatas jalan setapak tapi mampu masuk mobil karena disini terlihat ada bekas ban mobil. Kiri kanan mereka sudah menampakkan rumput-rumput hijau, ada beberapa bunga liar juga. Udara segar pagi hari membuat mereka semangat.
Kalara berlari kedepan mendahului Kaisar. Mereka sampai di bukit Hikagu, tempat yang memang hanya ada kehijauan saja. Tepat beberapa ratus meter di bawah mereka terlihat seperti danau yang sangat besar. Dan ada satu hal yang menarik perhatian Kalara, di bawah sana, tepat di bibir bukit, ada satu rumah yang sangat terawat. Sepertinya masih ditunggali.
“Ternyata berkabut, Kal,” ujar Kaisar sedikit kecewa sembari duduk diatas rumput tidak lupa mengselonjorkan kakinya.
“Gak papa, Kai. Ini bahkan udah lebih dari cukup.” Kalara mendudukkan dirinya juga di sebelah Kaisar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Short Story
RandomKalara yang awalnya berbicara seraya memusatkan seluruh atensinya kepada Kaisar, kini ia di balik paksa dengan di putarannya bahu kecil itu supaya menghadap langsung kearah sinar oranye yang berada jauh di sebrang sana. Matanya bergetar, tidak menya...