28. RETURN

49.1K 1.6K 4
                                    

Tiga minggu berlalu, setelah kepergian Erlan tanpa kabar yang di rasakan Anin saat ini adalah hampa, merasa kesepian. Bukannya membaik setelah keluar dari rumah sakit, ini malah banyak beban pikiran, entah bagaimana selanjutnya menjalani kehidupan, bahkan sampai sekarang tidak ada tanda tanda kabar dari laki-laki itu.

Dimana janji Erlan yang bilang kalo dia akan pulang menemuinya?

Sekarang Anin memilih pulang ke rumah orang tuanya yang kosong, sengaja meninggalkan rumah yang di tempatinya bersama Erlan dan memilih tinggal berdua dengan Agres, sepupunya.

"Barang barang lo biar gue yang bawa ya Nin," Anin mengangguk, lagi pun tidak ada tenaga untuk mengangkat koper besar miliknya sendiri.

"Makasih, Res."

"Sama sama. Udah lo duluan aja ke kamar, gue mau kunci pintu dulu."

"Iya Res," bibir pucat Anin membentuk senyuman.

Anin melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua, sudah lumayan lama ia meninggalkan kamar ternyaman yang selalu menemani hari hari nya.

Bahkan semenjak menikah dengan Erlan, Erlan itu belum pernah tidur disini, karena katanya seorang istri yang harus ikut pasangan, jadi Anin hanya bisa ikut Erlan kemana pun dia pergi.

Cklek

Pintu terbuka perlahan, Anin menyalakan lampu dan AC yang mati. Semua miniatur yang ada di dalam kamar ini masih di tempat yang sama, tidak ada yang berubah, karena ia sendiri tidak pernah mengizinkan orang lain menyentuh atau memindahkan barang barangnya.

"Kangen ayah sama bunda hiks..." lirihnya.

Dadanya merasa sesak, air bening keluar dari di pelupuk matanya. Anin menangis, berlari kedalam kamar mandi dan menguncinya rapat rapat.

Percikan air shower meluncur bebas di atas kepalanya, Anin terduduk menopang kepalanya di lutut. Tubuhnya basah, tidak memperdulikan dinginnya air yang mengalir. Baginya, itu sangat nyaman.

Jika kalian tanya apakah Anin memperdulikan keselamatan nyawa yang ada di dalam perutnya setelah melakukan ini? Itu jelas tidak, ia tidak peduli! Anin sudah benar benar merasa putus asa, mau hidup atau tidak hidup, itu bukan urusannya. Toh laki-laki yang diharapkan kehadirannya saja tidak peduli.

"Arghhhhh! Gue benci lo kak!" teriak Anin menjambak rambutnya sendiri.

Prang!

Anin melempar benda berbahan kaca, membuat semua isi produk itu berhamburan di lantai yang licin.

Sementara Agres yang kebetulan sedang di dapur mengambil air minum terkejut dengan suara pecahan barang yang berasal dari kamar Anin.

"Anin?" Agres bergegas menuju kamarnya. "NIN LO JANGAN MACEM MACEM YA!"

Sekuat tenaga Agres mendobrak pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. "ANIN! LO NGGAK PAPA?"

Tubuh Anin bergetar, dia menggigil.

"G-gue gakpapa Res," jawab Anin terbata bata.

"Kenapa lo ngelakuin ini!? Apa lo gak kasian sama bayi yang ada di perut lo HAH?!" marah Agres.

Agres tidak memperdulikan pertanyaannya sendiri, membawa Anin ke kasur dengan handuk yang tersampir di pundaknya. Kemudian mengambil selimut agar melilit tubuh Anin yang kedinginan.

30 menit lamanya Anin menetralisasikan keadaannya dan berganti pakaian. Anin masih diam tidak mau bicara, hanya air mata yang terus berjatuhan membasahi pipinya.

ERLANGGA | ENDWhere stories live. Discover now