Satu | Marco

6.4K 50 2
                                    

Sudah tujuh hari semenjak kejadian buruk itu terjadi. Malam hari pukul tujuh, paman Ben, tetangganya
yang tinggal di samping rumahnya menggedor pintu dengan tak sabaran. Saat itu Innara sedang mempersiapkan makan malam, sembari menanti kedua orangtuanya pulang dari kerja.

"Orang tuamu kecelakaan Innara, mereka meninggal dunia."

Bak di sambar petir, dunia Innara runtuh seketika. Sekeras apapun ia meraung meminta Tuhan mengembalikan kedua orangtuanya, tak jua kenyataan itu bisa diubah.

Di hari pemakaman ibu dan ayahnya, sempat terbesit di pikiran gadis itu untuk menyerah dan ingin mengakhiri hidupnya. Tetapi batal saat sadar ia memiliki satu adik yang butuh dampingan.

"Kak, Naya rindu Ibu dan ayah," lirih adik perempuannya yang baru saja menginjak usia empat belas tahun dua Minggu yang lalu.

Sambil menahan air mata yang hendak tumpah, Nara hanya bisa mengangguk dan memeluk Naya erat-erat. Kini hanya tersisa mereka berdua, mereka harus saling menguatkan.

Para tamu di acara tujuh harian sudah mulai pulang, satu persatu mengucapkan kata pamit sembari memberikan kalimat penyemangat.

"Kalian kalau butuh apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi kami," ucap Paman Ben lalu menepuk pundak Innara dan mengusap kepala Naya.

Pria itu paling berjasa membantu Innara mengurus pemakaman orangtuanya juga berbagai acara lainnya.

"Terima kasih Paman Ben, Innara gak tahu harus bagaimana jika Paman tidak ada.

Rumahnya akhirnya sepi, kesunyian terasa sangat mencekam. Innara menyuruh Naya untuk istirahat di kamar, sedangkan ia akan membereskan rumah.

Kembali ke ruang tamu, Innara amat terkejut mendapati masih ada satu tamu berada di sana. Duduk di sofa panjang dengan berpangku kaki, sebatang rokok terselip di sela jarinya.

Pakaiannya formal, kemeja putih dibalut jas hitam dan celana hitam. Wajah tegasnya membuat Innara mengernyit, ia tidak mengenal pria itu.

Sepanjang hari ia tidak terlalu memperhatikan siapa-siapa saja yang datang, selain karena masih larut dalam kesedihan, ia memang sibuk sekali hari ini.

"Maaf Pak," ucap Innara sambil berjalan mendekat, ia masih dengan stelan berkabung, dress hitam semata kaki, dan selandang berwarna hitam menutup kepalanya. "Terima kasih telah datang ke acara tujuh harian, orang tua saya," katanya lagi masih menunjukkan keramah tamahan.

"Maaf sekali lagi, saya ingin bertanya bapak hubungannya dengan orang tua saya apa ya? Kebetulan saya tidak terlalu mengenal teman-teman orang tua saya."

Si pria membuka kacamata, menampilkan manik hazelnut yang memikat Innara. Perempuan itu sampai meneguk ludah, tampang si pria amatlah tampan.

"Kau yang bernama Innara?" Tanya si pria sambil menatap lekat-lekat wajah Innara.

Tatapannya sangat mengintimidasi, perempuan itu hanya bisa mengangguk pelan sembari menunggu si pria menjelaskan dia sebenarnya siapa.

"Cantik seperti yang Damar katakan."

Mendengar nama ayahnya disebut, Innara semakin penasaran siapa pria di hadapannya ini.

"Marco Materazzi." Si tamu berdiri, tangan pria itu terulur ke hadapan Innara, kini ia Thu namanya, meskipun sama sekali tidak membuat ia bisa mengenalinya.

Dengan takut-takut Innara menyambut uluran tangan itu, tepat saat kulit mereka bersentuhan, tubuh Innara ditarik menabrak dada Marco.

Satu tangannya memeluk pinggang Innara satu lagi membelai wajahnya.

"Pak Marco .... Apa yang anda lakukan?" Innara berusaha melepaskan diri, tetapi kekuatan yang tidak sebanding membuatnya tidak bisa kabur.

"Kau kini budakku, cantik. Damar telah menjualmu padaku."

"Apa maksud anda? Lepaskan aku!"

Marco meremas pantat Innara membuat perempuan itu memekik, cepat-cepat tangan Marco membekap mulut gadis tersebut.

"Ssst, kau mau membangunkan adikmu lalu menyaksikan Kakaknya bercinta?"

Innara menggeleng tetapi tubuhnya terus memberontak. Apalagi tangan Marco tak berhenti meremasi bokongnya. Wajah Marco begitu dekat dengan wajahnya, sampai-sampai ia bisa merasakan deru nafas pria itu menerpa kulitnya.

Bibir tebalnya mendarat di leher Innara, setelah sebelumnya membuang tudung kepalanya, mulutnya masih disumpal, membuat ia tidak bisa berteriak saat Marco mulai mencicipi setiap senti kulit lehernya, beberapa kali dengan sengaja meninggalkan jejak merah di sana. Saat puas ia membuka mulut Innara juga menghentikan remasannya.

"Anakmu sangat cantik Damar, luar biasa," serunya gembira, tidak memperdulikan Innara yang bergetar hebat, wajahnya telah basah oleh air mata.

"Apa yang sebenarnya Anda inginkan, Pak?" tanya Innara dengan sisa keberanian yang ada.

"Tubuhmu, aku mau kau jadi budak seks ku."

***

Vote dan komentar!!!

Only You Can Save MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang