Innara bergelung dalam balutan selimut, usai permainan mereka beberapa jam yang lalu mereka kini tengah mengistirahatkan tubuh. Innara di atas tempat tidur mengontrol napasnya yang sempat tersengal-sengal akibat permainan Marco yang begitu kencang.
Sedangkan Marco sudah selesai memakaikan tubuh bagian bawahnya dengan celana jins, ia menarik sebuah kursi ke depan jendela, lalu duduk di sana, dari dalam saku celana ia mengeluarkan sebatang rokok yang kemudian ujungnya ia sulut dengan api sebentar.
Benda itu mengeluarkan asap dari bagian yang Marco bakar, ujung satunya ia selipkan di bibir. Satu tarikan napas, asam karbondioksida itu masuk ke paru-paru, ia tahu efek buruk dari merokok tetapi dengan cara itulah ia bisa tenang.
Marco masih syok dengan apa yang barusan ia lakukan pada Innara.
Bukan. Ini bukan tentang ia menyetubuhi perempuan itu.
Namun pada perasaannya. Mengapa pula ia merasa debaran aneh itu di jantungnya. Itu tidak benar, Marco menggeleng. Diliriknya Innara yang kini sudah lebih tenang.
Kalau saja perempuan itu tidak memberikan perhatian lebih, ia tidak akan merasakan perasaan ini. Marco lebih suka Innara yang melawan atau yang memaki dirinya. Ia tidak suka perempuan itu tiba-tiba patuh dan memperdulikan dirinya.
Bahaya.
Marco takut ia akan jatuh hati pada Innara. Jika itu terjadi bisa gawat ....
"Kau ....?" Marco bersuara setelah setengah batang rokoknya habis. "Kenapa berubah?"
Innara menengok ke samping mendapati Marco dengan buru-buru memalingkan pandangan, tetapi sayang Innara tahu bahwa pria itu sempat melihatnya.
"Aku tidak mau mati cepat. Jika aku melawan kau akan membunuhku."
Marco mendengus, asap pekat keluar dari hidungnya. Ia sedikit tersedak kemudian berdecak. "Bagus kau akhirnya sadar."
Bicaranya tenang, tetapi berbanding terbalik dengan pikirannya yang semakin kacau. "Yang tadi malam lupakanlah."
Innara menaikkan satu alisnya sebagai tanda ia tengah bingung. Ia tidak mengerti bagian mana yang harus dilupakan, saat hendak bertanya Marco lebih dahul menyela.
"Nanti aku akan pergi, mungkin seminggu baru akan kembali. Seperti biasa, semua kebutuhanmu tinggal minta saja pada madam Choo."
Informasi bagus, senyuman lebar terbit di wajah Innara. Itu artinya ia akan libur seminggu ini, rasanya menyenangkan, ia tidak perlu harus memuaskan birahi laki-laki ini.
Namun, Innara jadi kepikiran sesuatu. Berhubung sepertinya perasaan Marco dalam kondisi baik ia ingin menanyakan sesuatu.
"Bolehkah aku bertanya?"
Marco menjatuhkan rokoknya yang hampir habis kemudian menginjaknya seolah bara api itu tidak melukai kulit kakinya. Ia mengangguk menanggapi permintaan Innara.
"Kau bilang, ayahku menjualku. Tapi ...." Mendadak Innara ragu, takut Marco akan memukulnya, ia melihat pria itu tengah menunggu akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan perkataannya. "Tapi apakah itu artinya aku selamanya terkurung di sini?"
"Maksud aku. Aku ini masih kuliah, bagaimana pendidikan aku sekarang? Aku juga sangat merindukan adikku. Apakah aku tidak memiliki kehidupan itu lagi?"
Innara merunduk. Dadanya sesak memikirkan bagaimana keadaan adiknya, apakah ia bisa bertahan sendirian. Ia sangat khawatir, bagaimana juga perkuliahannya. Apakah ia akan di keluarkan dari kampus.
Sebenarnya ia sendiri masih mahasiswa baru, jika keluar sebenarnya tidak terlalu penting. Toh, juga, Innara sempat berpikiran untuk berhenti kuliah saat tahu orang tuanya meninggal.
"Kau telah kubeli, itu artinya hidupmu milikku. Mengerti?" Marco mengingatkan kembali mengenai itu.
"Inaya sendirian, sekali.... saja. Aku ingin bertemu dengannya memastikan dia baik-baik saja."
"Kau...."
Benar-benar bahaya. Marco sebelumnya adalah sosok yang tidak memiliki rasa kasihan, jarang mengampuni dan lebih senang melihat orang lain tersiksa. Melihat mata yang sarat akan kesedihan, hatinya meluruh, ia tidak tega.
"Baiklah. Karena aku tidak mau kau membuat drama nantinya, kau boleh mengunjungi adikmu. Tetapi dibawah pengawasan pengawalku dan bawa Lena bersamamu."
Bibirnya yang tadi sudah gemetar menahan tangis kini sumringah begitu lebar. Matanya berbinar-binar. Satu bulan ini, akhirnya Marco melihat ekspresi wajah itu.
Wajah bahagia Innara.
Wajah tirus dengan mata belo, netra hitam legam alis tebal natural yang terbentuk alami, bibir tipis merah mudah. Perempuan itu mempesona, Marco terkesima.
"Terima kasih banyak, terima kasih banyak."
Sebulir air mata jatuh, Innara tak kuasa menahan haru. Ia sangat senang sampai menangis.
Marco tidak kuat melihat hal itu, ia bangkit hendak keluar dari kamar itu. Tetapi sebelumnya ia kembali mengingatkan Nara satu hal.
"Jangan pernah coba-coba kabur atau kau akan menyesal."
Innara mengangguk, bertemu dengan adiknya saja sudah cukup.
***
"Jadi Tuan Marco menyetujuinya?"
Innara yang sedang mematut dirinya pada cermin mengangguk bersemangat. Ia memutuskan untuk langsung berangkat keesokkan harinya.
Ia telah bersiap-siap.
Hari ini Nara memakai dress bunga-bunga panjang. Pertama kalinya setelah sebulan ini ia bisa memakai pakaian tertutup.
"Sudah aku katakan, Tuan Marco sebenarnya baik. Asal kau tidak melawan."
"Ya, ya, yaaa. Kau benar Lenaa. Tetapi tolong jangan bahas dia lagi, aku sebentar lagi bertemu dengan adikku. Aku merindukannya."
Innara telah selesai. Menarik Lena untuk turun ke bawah, ke tempat mobil BMW telah menunggu mereka.
"Nona." Bara, pengawal yang Marco tugaskan untuk mengawalnya hari ini memberikan amplop coklat. "Titipan dari tuan Marco."
Ia menerima amplop itu, melihat ada tulisan tangn di bagian belakangnya.
Berikan pada adikmu. Aku tahu perekonomian kalian buruk, nominalnya cukup untuk kebutuhan hidup satu bulan.
Ia membuka amplop itu untuk menemukan lembaran uang berwarna merah, matanya terbelalak, mulutnya menganga. Marco memberikan uang sebanyak sepuluh juta. Cash.
Ini uang paling banyak yang ia pegang selama ini.
Mungkin benar kata Lena, Marco memiliki sedikit sifat baik di antara kejamnya dirinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You Can Save Me
Romance#Matureconten #Dewasa #18+ #21+ Innara sama sekali tidak bisa berpikir jernih sejak mengetahui kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Hidup berkecukupan di sepanjang hidupnya, tak pernah menduga kini harus mencari uang sendiri. Tepat di tuj...