Dari balik kaca yang melapisi jendela mobil sedan yang sedang ia tumpangi, Innara melihat jalanan familiar, ia sudah dekat dengan rumahnya. Di sampingnya tampak Lena yang ikut bahagia melihat nona nya senang hari ini.
Tinggal melalui satu persimpangan lagi alu belok ke kanan memasuki komplek perumahan, mobil itu lolos dengan mudah melewati pos keamanan di depan. Para petugas itu memang kerap kali makan gaji buta, mereka menjaga jika rajin saja, saat malas mereka akan tidur di dalam pos.
Innara tidak heran mengapa Marco beserta komplotannya bisa masuk dan keluar dengan mudah ketika ia diculik pada hari itu.
Sebenarnya ia masih tidak bisa menerima kenyataan atas keadaannya ini, tetapi apa boleh dibuat?
Roda mobil berhenti di depan pekarangan rumah bercat putih gading dengan gerbang hitam. Kerinduan menghampiri hati Innara, membuat sesak di dadanya. Matanya menyusuri sekitar melihat tidak ada yang berubah sejak ia pergi.
Lena bertindak lebih dulu, ia keluar dari mobil dan membuka pintu agar Innara bisa keluar.
"Ayo, Nona. Kita hanya diberi waktu satu jam."
Lena membuat Innara teringat janjinya pada Marco, ia diperbolehkan berkunjung hanya satu jam. Mana cukup, tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tidak ada keraguan, Innara membuka gerbng yang tidak dikunci, ia sedikit ragu saat telah sampai di muka pintu masuk. Jarinya mengepal hendak mengetuk pintu kayu di depannya.
Lena dan Bara tinggal di mobil tetapi tidak berhenti memantau Nara. Karena itulah ia membulatkan tekad untuk mengetuk pintu itu tiga kali sambil memanggil nama adiknya.
Pada percobaan pertama, Naya tidak keluar. Innara kemudian mengulang lagi tindakannya.
Derap kali buru-buru terdengar, sesaat kemudian pintu berderit lalu terbuka. Seorang gadis dengan baju kaos oblong dan celena pendek muncul di hadapan Innara.
Lekas Innara memeluk tubuh yang lebih kecil darinya tersebut, kini luapan kerinduannya membuncah menyebabkan suasana haru biru di antara mereka.
"Nayaaa ... kakak rindu banget sama kamu."
Naya membalas pelukan itu tidak kalah erat, ia bahkan sudah terisak-isak. Namun, Naya kemudian melepas paksa tubuh kakaknya, melayangkan tatapan marah.
"Kak Innara kemana saja? Kenapa meninggalkan Naya sendirian? Kakak jahat banget!" bentaknya sambil memukul tubuh Innara tidak terlalu kuat.
"Maafkan Kakak, Nay. Maaf ...."
Naya menggeleng, ia masih tidak terima permintaan maaf itu. Menurutnya Innara sangat kejam meninggalkan dirinya sendiri, ia baru saja kehilangan orang tua, lalu Kakak kandungnya satu-satunya pun pergi meninggalkan dirinya.
"Aku benci Kak Naraa. Sana pergi lagi saja sana!"
Innara menengok ke belakang melihat dua orang itu masih memantau mereka, ia lekas membawa Naya masuk ke dalam. Menarik tangan gadis itu paksa.
"Kakak akan jelaskan, kamu boleh marah setelahnya. Tapi dengarkan kakak dulu."
Ia mengajak Naya duduk di sofa, ia mengambil tempat tepat di sampingnya.
"Kakak dalam masalah. Kakak enggak bisa bersama kamu untuk saat ini."
Naya terlihat bingung, matanya menyipit takut itu hanya alasan sang kakak agar bisa meninggalkan dirinya.
"Kakak juga tidak mau berpisah dengan kamu, Nay. Tetapi masalah Kakak rumit. Kamu mau, kan, menunggu Kakak menyelesaikan masalah Kakak dulu?"
Kepalanya menggeleng kuat kemudian menangis histeris seakan ingin menegaskan bahwa ia benar-benar tidak mau berpisah dengan sang Kaka lagi.
"Tidak, Kak. Kalau Kakak pergi, Naya nggak bakalan maafin Kakak seumur hidup Naya."
Innara menggenggam tangan Naya, ia berharap adiknya bisa mengerti tanpa harus ia katakan masalah seperti apa yang menerpa dirinya.
"Kakak mohon, Nay...."
"Naya ikut Kakak saja boleh?" ujar Naya sedikit melunak, meskipun marah melihat ekspresi Innara yang sendu ia menjadi simpatik.
"Tidak bisa."
Jika Naya ikut bersamanya mungkin saja apa yang dialami oleh Innara akan terjadi pada adiknya itu. Bila itu terjadi maka Innara tidak bisa memaafkan dirinya nanti.
Meskipun punya sedikit nurani, tetapi Marco pada dasarnya adalah iblis tidak puny hati. Nara tidak mau Marco menyetubuhi Naya.
Innara tidak akan membiarkan itu terjadi, maka yang paling tepat adalah membiarkan Naya di rumah sendiri.
Innara merogoh sakunya. Mengeluarkan amplop cokelat dan memberikan benda itu pada Inaya.
"Kakak yakin kamu bisa bertahan tanpa Kakak. Ini pegangan untuk kamu. Mungkin bulan depan kakak baru bisa bertemu kamu lagi."
"Kak....."
Mereka berpelukan lagi, kali ini saling menguatkan. Naya tidak banyak bicara lagi, ia kini menerima nasibnya yang harus hidup sendiri. Menurut Naya, Innara juga tidak mau meninggalkan dirinya sendiri, terbukti dari air mata yang tidak berhenti mengalir dari sudut mata Innara.
"Waktu Kakak enggak banyak."
Innara lalu bergegas bangkit untuk mulai menjelaskan pada Naya apa yang harus ia lakukan supaya bisa aman hidup sendiri. Cara menghidupkan kompor listrik, cara menggunakan mesin cuci dan manajemen keuangan.
Tidak terasa satu jam telah habis, bunyi klakson terdengar nyaring dari luar. Bara seakan mau mengingatkan Innara.
"Kakak harus pergi sekarang."
Naya menahan tangannya, ia menggeleng. "Kak Naraaa. Naya takut sendirian."
"Kamu pasti bisa, Nay."
"Kak... Setidaknya hubungi Naya sesekali. "
Innara ingin melakukannya jika saja ponselnya tidak disita oleh Marco, atau jika ada telepon rumah di tempat Marco.
"Kakak akan berkunjung sebulan sekali, Nay."
Melepaskan tangan Naya, Innara berlari keluar menghampiri Bara yang sudah sebal karena ia lama sekali kembali.
"Telat tiga puluh menit."
"Maaf."
Satu jam yang berharga, mereka segera pulang kembali.
Benar kata Lena, istana milik Marco ada di dalam hutan yang luas. Untuk sampai ke depan istana itu saja membutuhkan waktu setengah jam dari pintu masuk, itupun sudah memakai mobil, apalagi jika berjalan kaki. Belum sampai pasti sudah ketahuan lebih dulu.
Karena tidak ada Marco, biasanya Innara menghabiskan waktu dengan menata bunga-bunga di taman atau meminta Madam Choo mengajarinya memasak di dapur.
Ia kali ini ingin ke taman saja, ia menyuruh Lena mengambilkan baju yang biasa ia kenakan jika berkebun.
Menunggu Lena kembali ia melihat Bara yang memandangnya terang-terangan.
"Jaga tatapan mu!" Bentak Innara merasa risi.
"Karena tuan Marco tidak ada di sini, maka aku yang akan menggantikan tuan menghukum dirimu."
Bara lalu menggendong Innara ala karung beras menuju kamar yang ada di belakang. Innara memberontak, ia merasakan ada yang tidak beres.
Tubuh dilempar ke atas tempat tidur usang, pintu Bara kunci. Ada seringai menyeramkan di wajah pria itu.
"Sudah lama aku menahannya, Nona. Akhirnya aku punya kesempatan untuk melakukannya sekarang." Bara menindih tubuh Innara, kedua tangannya meremas payudara Innara.
"Aakh!" Perempuan itu terpekik, lantas berusaha menyingkirkan tangan itu.
"Lepass!"
"Kau harus tahu satu hal nona, milikku jauh lebih panjang besar dan berurat dibandingkan milik tuan. Kau akan lebih puas dengan milikku."
Bara mulai mengoyak dress Innara, menelanjangi perempuan itu hingga tidak ada satu helai benangpun di tubuhnya.
"Tidakkk. Ahhh, jangan lakukan itu ahhh."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You Can Save Me
Romance#Matureconten #Dewasa #18+ #21+ Innara sama sekali tidak bisa berpikir jernih sejak mengetahui kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Hidup berkecukupan di sepanjang hidupnya, tak pernah menduga kini harus mencari uang sendiri. Tepat di tuj...