Dua | Innara

3.8K 43 0
                                    

"Tubuhmu, aku mau kau jadi budak seks ku."

Semalam ia terjaga, tubuhnya masih gemetaran sejak mendengar kata-kata tersebut. Setelah mengatakan hal itu, tidak terjadi apa-apa di antara mereka, Marco hanya membelai wajah Innara kemudian meninggalkan Innara yang langsung duduk lemas.

Kepalanya tidak sanggup memikirkan apa yang terjadi. Siapa Marco? Apa hubungannya dengan sang Ayah?

"Kak Innara!"

Innara berhenti menuang air ke dalam gelas, lalu mundur dua langkah melihat air merembes membasahi meja hampir mengenai bajunya.

"Kakak sakit?" Naya sudah siap dengan seragam putih birunya, meskipun dalam hati masih sedih, hidupnya tetap berlanjut. Ia kini harus sekolah kembali setelah seminggu cuti.

"Enggak, hanya sedikit pusing."

"Naya berangkat sekolah bareng Paman Ben, Kakak hari ini istirahat saja." Mendengar itu Innara sedikit merasa bersalah, pertama untuk paman Ben yang selalu ia repotkan, kedua pada dirinya yang belum bisa menggantikan peran orang tuanya untuk Naya.

Biasanya adiknya selalu berangkat bareng orang tuanya karena jalannya searah, sedangkan dia pergi kuliah sendiri dengan motor.

"Maafkan Kakak ya."

"Tidak apa-apa, Kak." Mengambil bekal yang telah Innara siapkan, Naya menyalim tangan kakaknya sebelum pamit pergi.

Innara mengekor dari belakang, berhenti di bibir pintu saat melihat mobil hitam terparkir di jalan tepat di depan rumahnya.

Memastikan sang adik sampai di rumah Paman Ben dengan aman, ia segera menutup pintu dan menguncinya. Ia ketakutan.

Innara ingat mobil itu yang kemarin Marco pakai.

Ia buru-buru kabur ke kamarnya lalu lagi-lagi mengunci pintunya. Ia naik ke atas tempat tidur dan menyembunyikan diri dengan selimut.

"Tuhan kumohon jangan bilang pria itu serius dengan perkataannya kemarin."

Ia memang anak sulung di keluarganya tetapi ia masih sangat belia, Inara belum berani menghadapi masa-masa sulit seperti ini. Ia hanya gadis yang baru masuk kuliah, naasnya kehilangan orangtuanya tujuh hari lalu.

Itu saja sudah membuatnya hampir menyerah dengan hidup, ditambah masalah seperti ia tak bisa menghadapi semua ini.

Matanya terbuka mendengar engsel pintunya bergoyang, seseorang berusaha membuka secara paksa. Innara bangkit dari kamarnya, ia tidak bisa bersembunyi seperti itu pikirnya. Mencari cara agar pintu itu gagal dibuka. Melihat meja belajar, ia kemudian mendorongnya untuk menghadang di pintu.

Tapi terlambat, dengan bunyi bedebum yang nyaring. Kayu itu terbuka lebar. Innara berteriak kaget.

"Kau tidak bisa kabur cantik," ujar suara yang berasal dari pria kemarin. Kini dengan stelan yang tidak formal. Hanya kaos hitam polos dan celana cargo.

Kacamata hitam masih membingkai matanya, ia melihat Innara yang ketakutan.

"Keluar! Saya akan teriak jika kamu tidak mau keluar!"

"Jangan gegabah cantik, atau kau akan menyesal," Marco berbicara pelan tetapi sanggup membuat Innara kehabisan kata-kata. Ancaman itu seakan menciutkan nyalinya.

"Kumohon Pak, jangan ganggu saya. Apa salah saya, Pak? Saya baru saja kehilangan kedua orang tua." Innara berlutut sambil memohon.

"Bukan salahmu, tetapi salah ayahmu," jawab Marco. "Dia menjual dirimu padaku, entah dia meninggal atau tidak aku tetap akan mengambil dirimu. Kau budakku."

Only You Can Save MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang