Bab 4: Artmosfer

627 124 10
                                    

Tiba-tiba Lembayung tidak bisa memilih pakaian apapun di lemarinya. Semua kelihatan jelek walau baru saja dibeli. Belum pernah sebelumnya ia merasa selera pakaiannya amat buruk hingga semua tidak menarik di depan kaca. Bayung lumayan takut dikomentari dan mendapat kesan buruk di pertemuan pertama dari Viona, pelukis idolanya. Tapi apa mau di kata, ia tidak ingin membuat Saga menunggu lebih lama dan mengambil pakaian yang aman. Kaus coklat polos disandingkan dengan kemeja warna umber dan celana khaki. Setidaknya semua kelihatan senada dan tidak mencolok atau kelihatan norak seperti pakaian lamanya.

Saat turun ke bawah, Mbok Ani langsung menginfokan pada Bayung jika Saga telah menunggu di mobil. Ia tersenyum gugup dan berpamitan kepada si pengurus rumah sambil mempersiapkan diri semobil berdua dengan Saga. Mereka sama sekali belum memecahkan kecanggungan sejak kali pertama tinggal bersama, karena tentu tidak ada usaha yang datang dari sang penculik. Maka hanya Bayung yang ketar-ketir untuk membuka pintu dan duduk bersebelahan dengan Saga.

"Pasang seatbelt." Tegur Saga tanpa menoleh ke Bayung karena sibuk menyalakan mesin mobil.

"Iya..." Jawaban Bayung nyaris tidak bisa didengar, seperti sedang menggumam. Rasanya aneh meninggikan suara pada lelaki asing yang belum satu minggu dikenalnya.

Sepanjang perjalanan rasa-rasanya Bayung ingin loncat dari mobil atas kekakuan serta hening yang mencekik leher diantara mereka. Bahkan ia kebingungan harus bersikap bagaimana dan tetap duduk tegak sambil membuang muka melihat pemandangan dari pintu kaca. Sejujurnya ia berharap Saga menyalakan radio atau memutar musik agar tidak mati kaku, setidaknya Bayung bisa bersenandung ringan lalu mengabaikan eksistensi si supir.

Di tengah-tengah rasa sumpek yang makin parah, Bayung mencuri pandang pada sosok Saga yang berpenampilan serba hitam ditambah snapback tidak terlepas di kepala. Rambutnya agak gondrong, menutupi wajah tampan yang selalu berekspresi datar seakan tidak punya emosi. Yang salah dari pria ini adalah aura menakutkan lewat caranya menatap. Padahal kaki jenjang dengan postur tubuh bagus tersebut bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi preman seperti sekarang. 

"Ada yang salah sama muka gue?"

Sekujur tubuh Bayung menjadi tegang dibuat terkejut oleh suara Saga yang memecah keheningan diantara mereka, menyadarkannya jika ia tidak sedang mencuri pandang. Benar-benar melihat langsung tanpa mengalihkan sama sekali!

Wajahnya menjadi panas, menghasilkan warna merah sempurna di kedua pipi. Mata yang selalu sayu itu terbuka lebar dibarengi oleh bibir yang juga ikut menganga. Bayung tidak bisa mencari satu kalimat demi menyelamatkan harga diri dari kecerobohannya. Mengalihkan muka ke depan menjadi alternatif sambil memaki dalam hati apa yang baru saja dilakukan.

Tanpa Bayung ketahui, Saga bukan merasa terganggu akibat tatapan intens yang dilayangkannya. Melainkan perasaan gugup yang juga membuat Saga salah tingkah. Walau menghadap lurus ke depan, mata yang menyorot ke arahnya amat bisa dirasakan dan membuat Saga bisa saja membanting kemudi akibat keringat dingin. Jadi lah dirinya menegur sebelum kecelakaan kecil terjadi dengan harapan tidak ada kesalahpahaman dari cara bicaranya.

"Maaf..."

Ah, Saga sudah salah di sini. Tangannya meremat kemudi mendengar permohonan maaf dari Bayung yang menunduk penuh ketakutan. Padahal ia tidak punya maksud menakut-nakuti sama sekali atau berniat mendiskriminasi, terkadang mulutnya ini memang butuh latihan bersikap lembut. Tapi, bagaimana caranya?

/././.

Ada mata yang tidak bisa berbohong berbinar amat bahagia melihat galeri yang selama ini hanya dilewatinya akan segera dikunjungi. Lembayung mendongak selepas keluar dari mobil, mengeratkan kedua tangan demi menetralisir rasa gugup. Galeri Artmosfer tepat di hadapannya detik ini juga.

Crescent Moon - HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang