Bab 6: Babak Belur

702 126 6
                                    

Saga tidak berbohong jika mengurus tanaman amat melelahkan.

20 bibit bunga matahari datang dua jam kemudian, diantar langsung ke halaman belakang selagi Saga menyiapkan tanah tepat di depan rumah kaca. Rupanya dua batang kemarin adalah percobaan jika bunga itu bisa hidup di dalam rumah kaca, makanya ia menyiapkan lahan sendiri khusus agar bisa tumbuh tinggi.

"Kayak namanya, bunga matahari butuh matahari langsung buat batangnya tinggi dan sehat. Dua bunga kemaren salah penempatan, mungkin itu kenapa mereka cepet layu."

Bayung yang berjongkok di sebelah Saga mendengar seksama, bukan pada konteks yang dijelaskan, lebih karena kagum pria ini amat serius tentang tanamannya. Ia jauh lebih cerewet dan memberi penjelasan tanpa diminta serta arahan karena kedatangan tiga manusia yang bersikeras ingin membantu. Sepertinya dibayangan Saga, hanya akan ada kekacauan dibanding bantuan.

Dua puluh bibit bunga matahari yang masih kecil amat mengagumkan di setiap polybag saat dikumpulkan dalam satu tempat, kelopak kuningnya terang benderang terkena matahari yang masih terik di atas langit. Satu-satu dimasukkan ke dalam lubang yang sudah Saga siapkan, dan karena ada empat orang bekerja dalam satu waktu sedikit mempermudah pekerjaan.

Dan tentu makin menambah kecerewetan Saga di sore itu. Seperti mengingatkan Laras untuk tidak mengangkat bibit bunga karena tidak akan kuat, memarahi Amin yang memainkan tanah, sampai mengingatkan Bayung agar memberi jarak di setiap bibit. Sungguh sore yang sibuk.

Selain Saga, mereka bertiga menjatuhkan tubuh di antara rumput karena selesai menyelesaikan tugas menanam 20 bibit bunga sebelum matahari benar-benar tenggelam. "Capek!" Amin berteriak kesal dengan napas yang tinggal satu-satu. Bayung tidak bisa menjawab karena juga menetralkan napas seperti Amin. Pantas figur Saga kelihatan besar dan punya kulit kecoklatan yang memesona, pekerjaannya terlalu banyak menggunakan fisik.

"Laras! Amin! Mandi!" Mbok Ani berteriak dari teras belakang, berkacak pinggang pada dua cucunya yang kotor luar biasa akibat lumpur dan basah dari selang air. Yang dipanggil refleks berdiri, takut mendengar suara menggelegar sang nenek yang siap bertanduk kapan saja. Ini adalah kali pertama bagi Bayung mendengar kerasnya suara Mbok Ani saking lembutnya tiap berbicara dengannya.

Selepas dua bocah itu berlari menghampiri sang nenek, Saga berjongkok di depan Bayung yang sudah bangun dari tidurnya. "Mana tangan lo."

"Buat apa emang?" Walau bertanya, ia tetap menyerahkan tangannya yang disambut Saga tanpa aba-aba. Sentuhan dua telapak tangan yang lebih tua melingkupi penuh tangan kecil Lembayung, memberi efek elektrik tak biasa atas sentuhan pertama mereka berdua.

Napasnya sedikit ditahan saat jari-jari yang lebih besar dari miliknya memijit lembut telapak tangan Lembayung. Bahkan setelah dipenuhi keringat pun, aroma parfum maskulin Saga masih tercium akibat jarak mereka yang begitu dekat. "Tangan lo bakal sakit jadi harus dipijit biar ngilangin tegangnya."

Tidak ada satu pun kata yang mampu keluar dari bibir Bayung. Karena Saga telah salah mengira hanya telapak tangannya saja yang tegang, tapi sekujur tubuh sampai tak bisa bergerak sama sekali. Pijitan dri tangan kasar tersebut tidak bisa dinikmati sama sekali. Saga yang bersimpuh di depannya masih membuat gugup.

"Gimana?" Saga lepas tangannya setelah dirasa cukup memberi pijitan yang tidak akan membuat Bayung sakit, tapi ia terkejut melihat rona merah yang memenuhi seluruh wajah yang lebih muda. "Lo panas?"

"Hah?" Wajah Bayung berubah bodoh akibat malfungsi yang dialami otaknya. Semua terlalu cepat untuk dialami, apalagi mengetahui jarak masing-masing yang terlalu dekat.

Saga yang memang tidak peka makin kebingungan atas reaksi Lembayung, apalagi wajah yang merah itu sampai ke telinga, membuatnya khawatir. "Muka lo merah. Bentar, gue..."

Crescent Moon - HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang