Miyu terperanjat ketika melihat seorang anak sebayanya dikejar anjing milik Pak Gober—tetangga yang rumahnya di ujung gang. Saat itu Miyu hanya berpikir kalau anak itu pasti bocah nakal yang iseng mengganggu Jupiter—nama anjing jenis herder itu. Namun, dia merasa kasihan melihat anak itu sampai naik pohon dekat rumahnya untuk menghindari Jupiter. Anak itu menangis di atas pohon sambil minta tolong.Miyu segera mungkin mendekati Jupiter. Dia melempar tulang sehingga berhasil mengalihkan perhatian anjing itu. Miyu kecil mendongak melihat anak lelaki yang masih saja menangis di atas pohon.
"Turun, anjingnya udah pergi tuh!" perintah Miyu.
Anak lelaki itu menggeleng. "Aku nggak bisa turun."
Saat itu juga Miyu ternganga. "Bisa naik kok nggak bisa turun, sih." Sambil mengomel gadis tujuh tahun itu kembali ke rumah dan mengambil sebuah tangga. Dia menarik tangga yang terbuat dari besi ringan dengan tenaga kecilnya.
"Nih! Kamu bisa turun sekarang," ujarnya setelah berpeluh-peluhan, berusaha menyandarkan tangga ke batang pohon.
Dengan pelan anak lelaki itu turun. Namun, dasar payah. Saat turun dia malah terpeleset dan jatuh. Sialnya tangga tersebut mengenai dirinya dan menyebabkan dahi anak itu bocor.
"Mama!" teriak Miyu ketika melihat darah bercucuran dari dahi anak lelaki tersebut.
Yuni, mamanya Miyu pun segera membawa anak itu ke klinik. Dan anak tersebut sukses mendapat lima jahitan di dahinya.
"Kamu lihatin apa?!"
Teguran itu menarik Miyu ke dunia sekarang. Dia terkesiap dan menemukan Aaraz tengah menatapnya tajam. Sontak wanita berhidung runcing itu tergagap.
"Gimana, Pak?" tanya Miyu spontan. Gara-gara melamunkan pertemuannya dengan Aaraz dulu, dia tidak mendengar celotehan manajer itu.
Aaraz mendengus, lalu menyandarkan punggung ke kursi. "Saya tanya insight postingan yang diiklankan kemarin. Antusias warganet gimana? Dari tadi saya ngomong nggak denger, ya?" Wajah Aaraz berlipat. Sejak pertama kali kerja dengan Miyu, wanita itu seperti kehilangan konsentrasi. Heran.
Miyu mengangguk-anggukkan kepala. Lalu mengecek tablet. Dia memiliki akses masuk ke medsos perusahaan sehingga bisa mengecek laju kurva di bidang insight.
"Bagus, Pak. Jangkauan target market kita lebih luas. Saya juga mendapat informasi bahwa pesanan meningkat. Per hari ini meja belajar dan rak serbaguna masih menjadi best seller."
Aaraz manggut-manggut. "Kita buka kemitraan agar jangkauan pasar lebih luas. Kamu segera susun program kemitraan ini agar bisa segera disebar."
Miyu menyimak dan mencatat apa-apa yang Aaraz katakan.
"Kita buka kemitraan untuk seluruh wilayah Indonesia. Beri mereka benefit yang bersaing. Jika kita hanya mengandalkan orderan dari promo tour, selain budget iklan yang membengkak, keuntungan yang didapat tidak bisa melebihi target alias pas-pasan."
Pas-pasan? Kata ini tidak tepat. Selama ini perusahaan lumayan mendapat untung banyak dan selalu melebihi target.
Miyu baru akan membuka mulut, tapi Aaraz dengan cepat mengangkat tangan.
"10 sampai 15 persen itu bukan keuntungan. Itu hanya kelebihan uang jajan. Saya sudah mengecek evaluasi penjualan selama setengah tahun ke belakang, dan hasilnya mengecewakan. Untuk sekarang memang belum terlalu berasa, tapi efek itu bisa dilihat tiga atau empat tahun. Dan apa kamu pikir saya akan diam saja? Jawabannya tidak."
Mulut Miyu terkunci rapat. Selama ini dia tidak pernah menganalisa sampai sejauh itu. Kemunculan Aaraz di perusahaan ini seperti sedang membuka matanya lebar-lebar. Pria itu sangat berbeda dengan Pak Janitra yang terkesan santai. Mungkin efek umur mempengaruhi.
"O-oke." Miyu kembali mencatat rencana manajernya itu di notes yang selalu dia bawa ke mana-mana. Rambutnya yang menjuntai, menghalangi pandangan dia jepit menggunakan penjepit rambut yang selalu ada di kantong blazer
"Angry Bird lagi?"
Pena Miyu berhenti bergerak seketika. Dia mengangkat wajah, dan melihat pria beralis tebal itu tengah menatapnya dengan pandangan aneh.
"Ya?"
"Kamu kayak anak kecil. Sukanya Angry Bird. Pena, notes, dan sekarang jepit rambut. Apa rumahmu juga bentuknya seperti Angry Bird?" tanya Aaraz dengan alis terangkat sebelah. Kebiasaannya kalau melihat sesuatu yang aneh.
Miyu nyengir. Perempuan berkulit kuning itu lalu menegakkan punggung. "Nggak cuma anak kecil kok, Pak, yang suka karakter lucu kayak gini. Tapi kebetulan saya memang suka Angry Bird dari kecil, sih. Rumah saya memang nggak seperti Angry Bird, tapi kamar saya penuh dengan pernak-pernik Angry Bird." Dia menjawab antusias. Bicara soal karakter burung berwarna merah itu membuatnya selalu bersemangat.
Dahi Aaraz berkerut mendengar penuturan perempuan 27 tahun itu. Dia tidak komentar apa pun, tapi kesukaan Miyu itu membuatnya teringat seseorang.
"Sepertinya saya punya teman yang memiliki kegemaran sama kayak kamu."
Bola mata Miyu langsung bergulir, ekspresi wajahnya berubah serius. "Oh ya? Siapa?" Dadanya mendadak berdebar.
Kernyitan samar tergambar di pangkal alis pria berhidung bangir itu, seolah sedang berusaha mengingat. Miyu masih memperhatikan dan menunggu jawaban.
"Dia ...."
"Maaf, Pak Aaraz. Ada tamu di luar yang nyari Bapak."
Gagal! Serta-merta Miyu membuang napas mendengar suara cempreng Ela yang tiba-tiba menginterupsi. Dia mendesis sambil menoleh ke pintu ruangan. Ekspresi bete tergambar jelas di raut mukanya.
"Oke, Ela. Makasih."
Pembahasan Angry Bird pun berhenti total. Aaraz tentu saja lebih tertarik menemui tamunya daripada mendiskusikan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
Miyu menyatukan kedua alis ketika melihat tamu Aaraz. Seorang wanita cantik berpostur tinggi bak model yang memiliki rambut panjang bergelombang. Dia mengerjap melihat penampilan wanita itu yang terkesan berani. Dan perempuan penggemar es krim stroberi itu agak terkejut ketika melihat tamu Aaraz itu langsung nemplok manja ke lengan manajer itu.
Apa dia pacar Aaraz?
"Miyu, saya pergi dulu. Yang kita bicarakan tadi tolong buatkan draf kasarnya," ujar Aaraz pamitan sekaligus memberi perintah.
"Iya, Pak."
Muka bete Miyu meningkat saat Aaraz melenggang pergi. Jika memang wanita itu pacar Aaraz, maka dirinya jauh dari kriteria idaman lelaki itu. Refleks Miyu memindai penampilannya sendiri, tidak ada yang menarik.
"Hei! Napa lo?" tegur Ela, menyenggol lengan Miyu dengan keras.
Miyu melirik kesal. Gara-gara Ela misi membangkitkan memori masa lalu Aaraz gagal. "Banyak PR," sahutnya agak ketus, lalu kembali ke meja.
"PR apa lagi sih?" Ela mengikuti perempuan itu. "Eh, yang tadi itu pacar Pak Aaraz ya? Nggak nyangka dia doyan toge pasar juga."
"Ish, kalau ngomong tuh ya."
"Lah iya, kan? Lo nggak liat dadanya yang kek mau loncat itu? Punya kita mah lewat." Ela terkikik seraya balik ke kursinya.
Selain tinggi semampai, seperti yang Ela bilang dada tamu wanita itu memang besar. Miyu akui. Dia makin merasa tidak percaya diri melihat dadanya sendiri yang rata.
"Lo perlu suntik silikon dulu, kalau mau menarik hati Pak Aaraz," celetuk Ela, lantas tertawa.
Sial! Memang jelas banget, ya?
"Gila lo. Siapa juga yang tertarik sama musuh Angry Bird," gerutu Miyu. Tangannya kembali sibuk membuka sheet baru. Menyusun konsep.
"Hah? Babi dong!"
Miyu terkikik, dan mengabaikan celotehan Ela selanjutnya. Aaraz memang babi, cute babi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty Years (TERBIT E-book)
General FictionSetelah 20 tahun berpisah Miyura Nanda dipertemukan lagi dengan Aaraz Radhitya, teman masa kecil sekaligus cinta monyetnya yang tiba-tiba saja menghilang. Pertemuan itu mengejutkan Miyu lantaran Aaraz adalah manajer baru di tempatnya bekerja sekara...