Ela bergerak lesu menuju kubikelnya setelah rapat bersama manajer selesai. Miyu di belakang cuma bisa menghela napas melihat tingkah sahabatnya itu, tapi dia memaklumi. Nyaris dua jam rapat, isinya kritikan pedas yang ditujukan kepada program kerja mereka selama ini.
Program kerja yang disusun berhari-hari sampai rela lembur dibantai habis-habisan. Dinilai tidak penting dan terkesan ketinggalan zaman. Padahal menurut Miyu selama masih bisa meningkatkan penjualan produk itu tak masalah. Namun, sang manajer membantah dan membandingkan hasil pencapaian tahun kemarin yang tidak jauh berbeda. Ujung-ujungnya semua program harus dirombak ulang.
"Hadeh, dia ganteng sih. Tapi mulutnya sepedas tahu jeletot level lima," keluh Ela, menjatuhkan kepala ke atas meja. Dia yang paling banyak menggagas ide, dan sekarang ide itu dikritik habis-habisan.
Miyu menepuk pelan lengan perempuan berambut ikal itu. "Udah nggak usah sedih. Untuk saat kita nurut aja. Biar waktu yang membuktikan segalanya. Apakah idenya bisa sebrilian ide kamu?" ujarnya menenangkan.
Ela menegakkan punggung dan menatap Miyu. Matanya tiba-tiba penuh kobaran api. "Kita akan buktikan. Pak Janitra saja selalu memuji ide gue, cuma dia yang meremehkan. Oke, gue akan liat idenya seperti apa nanti," katanya penuh semangat. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.
"Nah, gitu dong. Baru itu Ela yang gue kenal." Miyu ikut senyum menyaksikan semangat sahabatnya kembali.
Pintu ruang manajer terbuka, keduanya kompak menoleh bersamaan, tapi Ela dengan cepat memalingkan wajah ketika kepala Aaraz menyembul.
"Miyu, ke ruangan saya sekarang," pinta Aaraz singkat lalu kembali menutup pintu dengan keras.
"Bos baru kita kurang kerjaan. Padahal panggil lo kan tinggal tekan angka 1. Yang kayak gitu jadi manajer," cibir Ela pelan. Dia masih kesal melihat muka Aaraz.
Miyu mendesis, dan meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Udah biarin aja. Gue ke sana dulu." Dia mengambil pena dan notes lalu bergegas ke ruangan manajer.
Aaraz sedang ada tamu ketika Miyu masuk. Seorang pria yang memiliki wajah ala-ala Timur Tengah. Miyu tidak tahu kapan pria itu datang mungkin ketika dirinya masih meeting.
"Ya, Pak? Ada yang harus saya kerjakan?" tanya Miyu bersiap menulis sesuatu dengan penanya.
Aaraz tidak langsung menjawab dan malah memperhatikan pena yang Miyu pegang. "Harus banget Angry Bird ya?" tanya dia dengan sebelah alis terangkat.
"Ya?" Bola mata Miyu bergerak melirik penanya. "Ooh, ini. Angry Bird karakter favorit saya, Pak. Dari dulu." Dia sengaja menekankan kata di ujung kalimatnya, sambil melirik reaksi Aaraz. Harapannya lelaki itu bisa mengingat sesuatu. Sedikit saja tentang dirinya dan Angry Bird. Namun, wanita berambut pendek itu harus menelan kecewa ketika Aaraz mengangkat bahu, tak peduli.
"Saya meminta kamu ke sini karena ingin mengajak meeting lunch. Bisa kan?"
"Oh. Oke bisa kok, Pak. Berangkat sekarang atau ...."
"Sekarang." Aaraz bergerak mengambil sesuatu di mejanya. "Yuk, Man. Kita berangkat sekarang aja," katanya pada pria yang duduk di hadapannya.
"Oke." Pria itu berdiri dan melempar senyum kepada Miyu. "Halo, saya Salman," katanya memperkenalkan diri.
"Wow, King Salman atau Salman Khan?" gurau Miyu sok akrab. Membuat lelaki berperawakan kekar itu terkekeh.
"Salman Al Farisi," ujar pria itu. Cambang dan jenggot tipisnya terlihat menggoda. Kalau Ela lihat pasti bola matanya langsung berubah bentuk jadi love-love.
"Saya Miyura, Pak. Pak Salman bisa panggil Miyu saja," ucap Miyu.
"Kenalannya sudah, ya. Ayo, berangkat sekarang saja," sela Aaraz. "Miyu, jangan lupa bawa Macbook kamu."
"Baik, Pak." Miyu buru-buru kembali ke meja kerjanya dan mempersiapkan segala sesuatu buat meeting dadakan ini. Dia sampai tidak sempat menjawab pertanyaan Ela tentang pria brewok tipis yang keluar bersama Aaraz.
***
"Jangan pakai konsep lama. Itu sudah banyak dipakai sama pesaing kita," ujar Aaraz ketika makan siang sambil meeting.
Miyu baru tahu ternyata pria brewok tipis alias Salman itu salah satu klien yang ingin bekerjasama dengan perusahaannya.
"Cari ide yang lebih fresh," imbuh Aaraz lagi.
"Gimana kalau kita Endorse SelebTok dan pasang ads di beberapa platform?" tanya Salman memberi usul.
"Sudah, Pak. Meskipun nggak maksimal," sahut Miyu. Itu idenya beberapa bulan lalu. Namun, karena budget lebih banyak dipakai buat promo tour, iklan di medsos tidak terlalu gencar.
"Oke, budget kita alihkan ke medsos. Itu lebih nampol daripada promo tour. Sekarang itu sedang jamannya era digital. Kita nggak boleh abai sama hal ini."
Agak terkejut ketika Aaraz memutuskan hal itu. Itu artinya promo tour ...
"Promo tour kita hilangkan. Saya juga butuh konten kreator dan orang yang mengusai SEO. Ada nggak, Mi?"
Miyu mengerjap-ngerjapkan mata. "Tapi, Pak. Promo tour itu sedang berjalan. Ja—"
"Hentikan. Kamu bisa menanganinya kan?" potong Aaraz tegas.
Miyu yakin jika Ela dengar ini akan makin mencak-mencak. Namun, dia juga tidak bisa berkutik. Semua keputusan sekarang ada di tangan Aaraz.
Meeting berlangsung selama satu jam, setelahnya mereka makan siang dan bincang ringan.
"Kamu tinggal di mana, Miyura?" tanya Salman, terlihat lebih santai.
"Saya di Mampang, Pak."
"Bawa mobil sendiri?"
Inginnya begitu, tapi sampai 27 tahun usianya, Miyu belum bisa mengendarai kendaraan roda empat itu sendiri. Alhasil selama ini bolak-balik naik kendaraan umum.
"Saya naik Transjakarta. Lebih praktis."
"Kalau mau saya bisa loh—"
"Siapa yang pesan es krim stroberi?" sela Aaraz tiba-tiba ketika seorang pelayan menyajikan satu mangkok es krim stroberi.
Miyu langsung menoleh. "Oh, itu pesanan saya, Pak," katanya nyengir.
"Es krim stroberi?" tanya Aaraz lagi. Keningnya kali ini berkerut.
"Ya, ada yang salah, Pak?" tanya Miyu balik, sambil menyelidiki wajah manajernya itu. Lagi-lagi dia merapal doa dalam hati.
"Oh, ya sudah. Habiskan."
Dan, lagi-lagi wanita mungil itu kecewa ketika tidak ada tanda-tanda Aaraz mengingat sesuatu, lelaki itu malah sibuk berbincang lagi dengan Salman.
Miyu mencebik seraya mengaduk-aduk es krim. Dia lantas menyendok dalam porsi besar, dan memasukkannya ke dalam mulut. Membiarkan Aaraz asyik mengobrol dengan Salman. Dari obrolan itu Miyu tahu kalau mereka satu almamater di Cambridge.
Keren. Si cengeng Aaraz yang dulu Miyu kenal benar-benar berubah banyak. Selain makin tampan, juga terlihat sangat berkelas. Tidak ada yang menyangka jika lelaki itu dulu takut anjing dan sering di-bully teman-temannya. Jika sudah seperti itu, Miyu yang akan pasang badan untuk menolong. Sayangnya, setelah 20 tahun berlalu, Aaraz tidak mengenalinya.
Bibir Miyu berkerut. Agak kesal juga kalau ingat itu. "Padahal dia janji mau ngajak makan es krim di bawah pohon cemara," gerutu Miyu pelan sambil mengaduk-aduk es krimnya yang mulai cair.
"Kamu bicara sesuatu, Miyu?" tanya Aaraz tiba-tiba membuat Miyu terkesiap.
"Itu ... Angry Bird ingkar janji," jawab Miyu asal ceplos.
Dan, dia langsung sadar dengan kebodohannya ketika melihat Aaraz menaikan sebelah alis tebalnya.
___________
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty Years (TERBIT E-book)
Fiksi UmumSetelah 20 tahun berpisah Miyura Nanda dipertemukan lagi dengan Aaraz Radhitya, teman masa kecil sekaligus cinta monyetnya yang tiba-tiba saja menghilang. Pertemuan itu mengejutkan Miyu lantaran Aaraz adalah manajer baru di tempatnya bekerja sekara...