02 : pertemuan II

584 66 11
                                    

Masih di dalam kamarnya, Rendi terlihat menunduk di depan cermin dengan kedua tangan yang bertumpu pada dinding. Matanya gemetar tidak percaya apa yang baru dia lihat. Beberapa kali dia menarik dan menghela nafasnya, berusaha menenangkan diri.

Merasa lebih tenang, Rendi pun kembali mengangkat kepalanya. Keterkejutan masih tergambar di wajah yang terpantul di cermin.

"Bukan mukak ku ini. Tapi bibirnya begerak setiap kali aku becakap?" Dia perhatikan setiap inci wajah asing yang terpantul di cermin yang ada di hadapannya. "Siapa abang tampan ini ya?"

Masih di depan cermin, dia memainkan wajahnya. Membuka lebar dan mengerucutkan bibirnya. Bahkan dia juga membuat ekspresi-ekpresi aneh untuk meyakinkan dirinya.

"Benar mukakku lah ini. Kenapa tiba-tiba mukakku berubah kek gini? Apa Dini buat aku operasi plastik? Mukaku ikut tertancap beling kah? Tapi nggak mungkin pula lah kalau operasi plastik suaraku ikut berubah. Atau apa aku mati terus arwahku masuk badan orang ya?" Rendi menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memperhatikan setiap inci wajahnya. Di tengah kegiatannya, tanpa sengaja atensinya teralihkan pada rambut berwarna biru terang yang menutupi dahinya.

"Rambutku pun–eh, bentar." Tidak ada, otot keras yang dia dapatkan dari hasil bekerja sebagai kuli sudah menghilang. Kini tangan, kaki dan tubuhnya menjadi ramping. Hanya telapak tangannya saja yang sama kasar seperti sebelumnya.

"Ck, alamat ini. Masuk badan orang aku." Rendi menepuk pahanya pelan, kekesalan nampak tergambar jelas di wajahnya. "Kalau gini, berarti sudah-"

Tok

Tok

Tok

Suara pintu terdengar memotong keluhan Rendi.

"Lumiel, aku masuk."

Tanpa menunggu izin dari sang penghuni kamar, sang pelaku pengetuk pintu langsung membuka pintu dan masuk begitu saja. Pria itu terlihat mengenakan baju khas seorang pelayan bangsawan dengan kemeja putih yang dipadukan dengan rompi hitam serta dasi hitam yang melingkari lehernya.

Mata pria itu langsung membulat seketika, saat mendapati pria yang sudah membuatnya khawatir beberapa hari terakhir tengah berdiri tegap menatap bingung dirinya.

"Astaga Lumiel." Tanpa aba-aba, pria itu langsung menerjang, memeluk Rendi yang dia panggil Lumiel itu hingga membuat sang pemilik nama terdorong selangkah kebelakang.

'Lumiel? Kok macam kenal aku. Eh tapi, sejak kapan pula namaku jadi Lumiel?'

"Syukurlah, kau akhirnya bangun." Pria itu melepaskan pelukannya dan memukul keras punggung Rendi. "Hei, anak nakal. Kau tau seberapa khawatir aku menunggumu bangun? Setiap pagi dan malam aku mengunjungimu dua hari terakhir ini. Tapi kau tidak kunjung membuka mata. Apa lukanya sangat menyakitkan? Apa kepalamu pusing sekarang?"

Rendi tersenyum canggung dan menjauh beberapa langkah. "Maaf. Siapa kau?"

Mata pria berambut coklat itu terbuka lebar mendengar penuturan Lumiel, terkejut. "Astaga Lumiel! Sepertinya kepalamu benar-benar terluka parah. Kamari-kemari, duduk di sini." Dengan kasar pria itu menarik Rendi dan mendudukkannya di atas kasur. Kemudian, tiba-tiba dia menunjukkan kedua jarinya. "Kau bisa melihat ini berapa?"

Rendi tampak mengerjap beberapa kali sebelum matanya menatap kesal pria berambut coklat yang ada di depannya. "Kau pikir buta mataku?"

Pria itu tertawa kecil sebelum bangkit dan berjalan kearah meja nakas yang ada di samping ranjang. "Tidak. Aku hanya memastikan. Tuan Javier bilang kepalamu terluka cukup parah, jadi bukan mustahil jika kau sedikit kehilangan fungsi matamu. Tapi, aku tidak menyangka kau malah kehilangan ingatanmu. Ini." Sebuah botol kecil berisikan cairan berwarna hijau dia sodorkan kepada Rendi.

I Am The Servant Of The VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang