06 : pesta kedewasaan II

260 54 3
                                    

'Al ini Alston?' Lumiel membatin dengan tangan yang menutup mulut, berusaha meredam suara batuk serta mata yang menatap lurus kearah bocah bersurai hitam yang juga menatap dirinya dengan mata emasnya.

Lumiel tidak menduganya. Anak yang selama ini menjadi penyembuh rasa rindunya pada sang adik ternyata anak yang seharusnya sejak awal tidak dia dekati.

Lumiel tidak mendengar deskripsi Alston saat kecilnya. Deskripsi Alston saat dia dewasa pun Lumiel tidak terlalu jelas mengingatnya. Yang dia ingat hanyalah warna mata sang pemeran utama yang menjadi identitasnya. Sementara itu, setiap kali dia bertemu dengan Al, tidak ada ciri khusus yang menunjukkan bahwa dia inilah sang pemeran utama itu.

'Alamak, kenapa pula jadi macam ini?' Lumiel meringis putus asa. 'Eh, tak perlu lah aku takut macam ini. Dia ngulang waktu pasti lupa pula lah dia nanti.'

Novel <To Become A Ruler> ini diawali dengan terbunuhnya Alston karena ditipu oleh Eugene. Lumiel tidak ingat pasti bagaimana adegan itu bisa terjadi, tapi yang Lumiel tau Alston itu mati setelah meminum teh pemberian Eugene yang berakhir membuatnya mengulang waktu. Pengulangan waktu itu membawa Alston kembali pada saat dia hendak melakukan perburuan perdananya, tiga bulan sebelum pesta kedewasaannya. Dan perburuan itu baru akan terjadi lima tahun dari sekarang

Rhison yang berada di samping Lumiel langsung menyenggol lengan Lumiel dengan sikunya untuk menyadarkan pria berambut biru itu.

Lumiel baru menyadarinya, tatapan mata seluruh orang yang ada di ruangan tersebut kini sudah tertuju kearah dirinya. Dengan cepat Lumiel membungkukkan tubuhnya dan berulang kali mengucap kata maaf saat melihat tatapan marah sang buttler yang berdiri di belakang samping kiri Arcelio.

Arcelio hanya mengiyakan permintaan maaf Lumiel dan setelahnya mengulang kembali kata-katanya untuk memulai acara makan bersama. Suasana pada awalnya terasa tenang dan damai seperti acara makan pada umumnya. Namun, suasana itu mulai menghilang saat Arcelio membuka suara.

"Eugene."

"Iya, ayah?" jawab Eugene mengakat kepalanya menatap sang ayah setelah meletakkan alat makannya.

"Pesta kedewasaanmu seminggu lagi bukan?"

Senyuman mengembang di wajah Eugene. "Benar, ayah."

"Apa kau sudah tahu apa yang kau inginkan?"

Sebagai hadiah untuk merayakan kedewasa sang anak, Arcelio akan memberika kesempatan kepada anaknya untuk meminta satu hal apapun darinya.

Masih dengan senyumnya, tanpa berpikir lagi, Eugene langsung membuka mulutnya hendak memberitahu apa yang dia inginkan. "Jika ayah berkenan, saya ingin-"

"Aku tidak bisa mengumumkanmu sebagai ahli warisku. Aku masih belum memutuskannya. Kau bisa meminta hal lain dariku." Tanpa mendengarkan kelanjutan dari ucapan Eugene, Arcelio langsung memotong ungkapan remaja berambut merah itu begitu saja.

Mendengar apa yang dikatakan sang ayah membuat binar cerah menghilang begitu saja dari wajah Eugene. Kepala yang semula terangkat bahagia kini tertunduk lemas tanpa tenaga.

"Saya ingin ayah sendiri yang memutuskan hadiah apa yang ingin ayah berikan. Apapun akan saya terima itu." Perlahan Eugene bangkit dari duduknya.

"Terima kasih untuk makanannya. Saya permisi. Kita pergi Lumiel." Eugene pergi meninggalkan ruang makan tanpa menoleh kebelakang. Bahkan seruan panggilan sang ibu tidak dia hiraukan.

Lumiel yang bingung bolak-balik menatap Arcelio dan Eugene bergantian, akhirnya memutuskan untuk mengikuti kepergian sang Tuan muda.

Semua orang terdiam setelah kepergian Eugene. Termasuk Alston yang menundukkan kepalanya. Entah itu perasaan bersalah, kesal, ataupun kecewa, tidak ada yang tau apa yang tergambar di wajah Alston. Raut wajahnya terlalu rumit.

I Am The Servant Of The VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang