1. Prolog

26 1 0
                                    

Perempuan dengan rambut sepinggang yang sengaja di gerai serta jaket jeans yang menutupi kaos putih yang dikenakannya terlihat menghentikan langkah di depan jalan setapak. Sebelum melewati jalan yang kira- kira bisa dilewati oleh 2 orang itu, ia menatap gedung yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri.

"Hai gedung, akhirnya kita ketemu. Jangan bosen- bosen ya, kita bakalan ketemu setidaknya 3 setengah tahun, kalau gue bisa nyelesain kuliah lebih cepat"

Monolognya pada gedung besar yang ditatapnya dengan mata berbinar. Untuk bisa memasuki gedung tersebut, perempuan itu harus melewati banyak tes, dan bisa melihat gedung itu di hadapannya membuatnya tersadar, bahwa ia sudah berhasil melewati semua tes tersebut. Dengan rasa bahagia dan senyuman lebar, ia sekali lagi menatap gedung itu.

Sudah puas dengan drama di pagi hari yang menurutnya keren, perempuan itu kemudian bersiap untuk melangkahkan kakinya. Dengan menguatkan genggaman pada kedua tali tas yang ada di pundaknya, ia dengan mantap bersiap melangkah. Sayangnya, keinginannya untuk melangkah dengan keren, apalagi sebelumnya sudah dibuka dengan cukup keren -sekali lagi, menurutnya sendiri- ia harus kehilangan keseimbangan karena ada yang menyenggol tubuhnya.

Rambut yang tadi sudah terurai dengan rapi kini berkumpul di depan wajah perempuan itu sehingga menutupi sebagian pandangannya. Hembusan nafas membuat rambut- rambut yang menghalangi pandangannya sedikit bergerak sebelum akhirnya semua rambut itu disibakan agar sang pemilik bisa melihat siapa yang sudah menyenggolnya.

Begitu menatap ke samping, perempuan itu terdiam. Ia terkejut dengan seseorang yang kini juga menatapnya. Laki- laki yang jauh lebih tinggi darinya itu tengah menatapnya dengan kedua telinga yang disumbat dengan headset. Terlihat rambut berwarna hitam yang di tata rapi itu tertiup angin bersamaan dengan kabel headset yang menggantung di kupingnya sampai ke saku celana laki- laki tersebut. Semakin diperhatikan, laki- laki itu terlihat tampan.

"Minggir, ngalangin jalan aja"

Mata yang tadi menatap dengan penuh kekaguman kini terlihat melebar kebingungan. Otak perempuan itu kini bekerja dengan keras untuk memastikan apakah yang didengarnya tadi tidak salah.

Belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ada di kepalanya, ia kembali mendengar kata- kata "indah" yang diucapkan oleh laki- laki itu, "minggir, nggak bisa dengar ya lu"

Seperti sihir, kedua kaki perempuan itu seketika bergerak dan bergeser ke samping, memberikan jalan untuk laki- laki itu agar bisa lewat. Tidak mengatakan apapun namun malah memberikan tatapan meremehkan, laki- laki itu jalan begitu saja. Selang beberapa detik, seperti baru terlepas dari sihir, perempuan itu tersadar dan ingin mengeluarkan kata- kata "indah" juga, sayangnya sosok laki- laki itu sudah berada cukup jauh darinya. Telunjuknya terus menunjuk laki- laki itu dan pundak miliknya bergantian, juga mulutnya yang sudah ingin mengeluarkan semua kata- kata pembelaan. Pada akhirnya ia hanya bisa mengepalkan tangan untuk melampiaskan rasa kesalnya. Mau bicara atau marah pun, percuma jika tidak ada orangnya.

"sabar, nggak boleh marah. Tarik nafas dulu"

Dengan mencoba menginstruksi diri sendiri, ia berharap kemarahannya bisa menghilang. Matanya juga ditutup berharap bisa meredakan kemarahannya. Setelah menarik nafas dan membuangnya beberapa kali, matanya kembali dibuka. Pandangannya menatap pintu dimana laki- laki tadi masuk melewatinya.

"sialan itu cowok"

Pada akhirnya meditasi singkat itu gagal.

Sudah memastikan dimana kelasnya berada, dengan langkah pasti ia memasuki sebuah ruangan. Begitu masuk, ia bisa melihat beberapa orang yang wajahnya sudah tidak terlalu asing untuknya, ada pula yang masih belum dikenal. Dengan langkah senang, ia mulai mencari bangku disertai sapaan dari teman- temannya itu.

Hallo DewanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang