23 : Keputusan

839 105 25
                                    

"Hanni, se-

ah! shhh... sa-sakit, Sayang. Bisa pelan sedikit?" Hyunsuk meringis kesakitan, segera memalingkan wajahnya karena aku sengaja menekan alat kompres cukup kuat pada bagian pipi yang memar. Wajahku membentuk ekspresi sedikit ketus, menolak untuk terhanyut rayuannya.

"Bisa, tidak... jangan banyak bicara dulu?! Aku ingin konsentrasi sampai selesai."

Hyunsuk meminta maaf, lantas terbungkam seketika mendapati bentakan ku. Bibirnya sedikit mengerucut seperti anak kecil yang sedang dimarahi, pandangan itu kini terus menunduk. Tak lagi berani memperhatikan ku secara intens.

Hening kembali membanjiri kami, pintu kamar yang sejak awal tertutup membuat indra pendengaran ku menjadi lebih sensitif. Hembusan napas yang saling bersahutan, irama detak jantung yang kian cepat, bahkan aku bisa mendengar suara Hyunsuk saat meneguk salivanya sendiri.

Perasaanku jadi semakin tidak karuan. Tak ingin terlalu lama dalam jarak yang begitu dekat aku mengakhiri kompres pada lukanya dan mengoleskan salep pereda memar. Setelah mengembalikan semua itu ke tempat semula, aku duduk kembali di hadapan Hyunsuk dengan jarak yang lebih banyak. Lagi-lagi kami bersinggung tatap sedikit canggung dan aku segera menghindar.

"Sekali lagi terima kasih, Hanni."

Aku mengangguk pelan, merespon kalimatnya. Kemudian bertanya,

"Apalagi yang ingin kamu bicarakan?"

Hyunsuk berdeham, tangannya mengelus tengkuk beberapa kali, mungkin bingung akan memulai dari mana. Lima sekon terlewat dia masih diam, memutar bola mata kesana-kemari. Aku jadi ingat pesan lama ibu. Entah kenapa tiba-tiba itu muncul kepermukaan otakku, dia bilang,

"Jangan pernah berjanji saat senang dan jangan pernah mengambil keputusan saat marah." Itu membuatku jadi lebih tenang sedikit. Dia mengajari ku untuk bersikap lebih dewasa dan objektif.

Agaknya sudah cukup mengumpulkan banyak kesiapan, Hyunsuk menatapku dengan serius dan berkata,

"Aku benar-benar minta maaf atas perbuatan ku. Sungguh, aku tidak sadar. Seingat ku, malam itu sedang bercinta denganmu, Sayang. Tapi begitu pagi datang aku benar-benar terkejut melihat wanita itu bukan kamu." Dia menelan ludah, sedikit tidak bernai menatapku. Takut mendapat respon burtal. Tapi aku memilih diam menunggu kalimat selanjutnya.

"Pikiran ku cukup kacau. Sebelum itu terjadi... setelah beberapa tahun, ibuku menelepon dan dia tiba-tiba bilang akan mengawasi mu. Aku benci tindakannya. Aku sangat takut akan terjadi sesuatu padamu, aku sengaja menghancurkan ponsel itu. Karena khawatir, mereka bisa melacak keberadaan mu lewat nomer ku."

Dahiku berkerut, bingung. Muncul tanda tanya besar atas tuturan itu. Aku menerka, mungkinkah dia memiliki masalah dengan keluarganya?

"Sudah lama aku tidak berhubungan lagi dengan mereka. Mungkin sudah sekitar enam tahun, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Sejak kecil aku diperlakukan tidak adil, hanya karena kemampuan ku tidak sebanding dengan kakak. Mereka selalu menuntut ku untuk menjadi lebih dari kata sempurna. Tapi, aku hanya lah manusia biasa yang mempunyai banyak kekurangan," lanjutnya sembari menunduk layu.

Mataku terbeliak, tak menyangka. Ternyata dugaanku benar tentang itu. Hubungan mereka buruk, pantas saja waktu ibu memberi pelukan, Hyunsuk nampak begitu tersentuh. Waktu itu, rautnya terlihat sangat mendambakan dekapan dan belaian tangan seorang ibu. Aku turut prihatin.

Hyunsuk kembali memandang ku dengan sorot mata yang redup.

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menuruti keinginan mereka. Kerapkali menemui kegagalan, tangan mereka tidak segan untuk memukul, lalu mengatai ku tidak berguna dan ucapan kasar lainnya." Gelak kecil penuh getaran pahit terdengar, itu membuat kedua alisku tertaut dalam. Pasti sekarang ingatan masa kecilnya sedang muncul dipermukaan. Tentu berhasil menumbuhkan rasa simpati yang cukup besar.

Soft Serve || Choi HyunsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang