29 : Demam?

1K 96 18
                                    

Sudah dua Minggu berlalu bulan madu kami berakhir. Sejak dari sana aku terserang demam berulang, sehari demam dan sehari sembuh. Kadang beberapa hari normal, beberapa hari kemudian demam kembali. Sebenarnya Hyunsuk sudah mengajakku ke Dokter, tapi aku menolak. Ku pikir ini hanya demam ringan, mungkin karena perubahan iklim.

Hujan deras di hari Sabtu sore benar-benar membentuk gumpalan disonasi dalam diri. Dari jendela kamar dapat ku lihat miliyaran tirta turun dari cakrawala yang padat dan menggelap. Atmosfer berhembus dingin, tapi tubuhku terasa menguapkan hawa panas. Bahkan wajahku sedikit memerah, plester penurun panas yang sudah menempel di dahi belum bekerja.

Seharusnya kami sedang jalan-jalan sekarang, karena ini adalah akhir pekan. Tapi aku terbaring di ranjang sendirian. Setelah mengurus ku, Hyunsuk pamit untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa sedikit dan dia bilang akan menonton pertandingan sepakbola dipertengahan malam. Aku hanya mengangguk, memilih untuk istirahat.

Pukul setengah dua dinihari, aku terbangun mendengar suara Hyunsuk yang begitu heboh, bersorak sangat antusias untuk tim favoritnya. Lama terdiam, aku yang berusaha tidur kembali mendapati kegagalan, memutuskan untuk keluar kamar. Menghampirinya diruang tengah.

"Suki~" seru ku saat membuka pintu, sarat akan nada manja.

"Iya Sayang." Dia menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Begitu sampai di depannya, aku mendapati tiga kap kopi starbucks dimeja bersama beberapa junk food yang sedikit berserakan disana.

"Kenapa Sayang?" Dia bertanya, memekarkan tangan supaya aku menjatuhkan diri ke dalam pangkuannya. Kebetulan waktu aku datang pertandingannya sedang jeda babak pertama, jadi fokusnya bisa terpecah begitu saja.

"Bagaimana keadaan mu, Hanni? merasa sedikit lebih baik?"

Aku menggeleng, kemudian menjatuhkan diri padanya. Meminta pelukan dengan manja lalu menyandarkan dagu pada pundaknya.

"Kenapa plesternya dilepas, hm? Izinkan aku mengecek suhu tubuhmu."

Aku menurut. Mengendurkan pelukan, menghendaki hal yang ingin dia lakukan. Hyunsuk menempelkan dahinya pada dahiku. Membiarkan irisku yang  layu bertemu dengan netra cerahnya. Kami bertahan dalam posisi itu cukup lama, membiarkan hembusan napas saling bersahutan. Hyunsuk mengatupkan bola matanya, beberapa kali menggesekkan ujung hidung kami dengan lembut, saat itu dia kelihatan sangat manis tapi aku tidak memiliki tenaga untuk bergerak lebih banyak.

"Bagus, sudah tidak terlalu panas," simpulnya, kemudian menjauh dan menyelipkan suraiku ke belakang telinga.

"Ingin makan pizza dua boks." Aku menyeletuk lirih.

Hyunsuk yang sedang mengelus satu pipiku berhenti seketika dengan kedua alis yang terangkat.

"Hm, tiba-tiba? tapi Sayang, satu boks saja sudah cukup untuk kita berdua."

Kepalaku menggeleng lemah, entah kenapa ingin sekali menangis jika permintaan itu tidak dituruti.

"Mmm~ tidak, Suki... mau dua. Tolong belikan itu Sayang, aku kelaparan," rengek ku bagaikan anak kecil berusia enam tahun.

Mendengar isakan kecil yang menyertai, Hyunsuk menghela napas panjang lalu berujar, "Iya-iya Hanni, tidak perlu menangis. Ya, ampun... kamu manja sekali kalau sedang sakit."

Mendengar itu, bibirku yang semula mengerucut perlahan membentuk ukiran bulan sabit yang menawan.

"Terima kasih, Sayang. Kamu terlihat sangat tampan pakai jersey ini." Aku memberi pujian dengan kedua tangan yang mengelus pundaknya pelan, menyadari dia memakai kaus bola bercorak garis biru dan hitam. Kalau tidak salah dia pernah bilang itu adalah tim Inter Milan. Agaknya sangat cocok dengan tubuh Hyunsuk, kelihatan sangat pas. Melihat arloji digital yang selalu melingkari pergelangan tangannya, itu menambah kesan keren. Diam pun benar-benar terlihat berkharisma.

Soft Serve || Choi HyunsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang