Kapan kawin?
Sebuah pertanyaan yang terus saja dilontarkan kepadanya. Bagas Alvian, seorang pekerja kantor biasa yang masih melajang di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga.
Pertanyaan itu sering kali diajukan oleh para tetangga, orang tua temannya, bahkan sanak saudaranya sendiri. Ia sering kehilangan kendali saat dihadapkan dengan pertanyaan demikian. Bukannya tidak mau menjawab, tapi bagi Bagas memberikan jawaban untuk hal seperti itu bukanlah hal yang mudah. Dia harus mempertimbangkan banyak hal sebelum memuaskan rasa penasaran si penanya.
Masih sendiri aja nih.
Belum lagi dengan sindiran yang menghantuinya sepanjang karir. Dengan upah yang sudah lebih dari cukup, orang-orang merasa harus segera menikah. Namun, tidak untuk Bagas si pria putih berkumis tipis itu. Dia tidak mengidamkan sebuah pernikahan. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah pilihan hidup, bukan kewajiban. Dan dia memilih untuk tidak melakukannya.
Bagas tidak membutuhkan sosok perempuan. Dia bisa meng-handle semua masalah yang ia hadapi. Ia bahkan tidak pernah meminta pertolongan untuk hal apapun. Meski masalah yang ia hadapi sangat begitu sulit, ia tetap bekerja keras seorang diri.
Karena anak sulungnya tidak kunjung mau menikah, orang tua Bagas bahkan sengaja membawakan banyak wanita untuk diperkenalkan dengan Bagas. Namun, dia selalu menolak tentang perjodohan itu dan selalu pergi dari rumah.
Adiknya-si bungsu-Intan Permata, bahkan sudah melangkahi dirinya. Intan tengah hamil dan sudah masuk dalam tahap hamil besar. Karenanya, orang tua Bagas bersikeras untuk segera menjodohkan Bagas.
"Nggak, Bu, Bagas nggak mau nikah." Dengan rahang tegasnya ia menolak mentah-mentah tawaran perjodohan itu kesekian kalinya.
Ibunya yang sudah mulai ubanan pun hanya bisa menghela napas panjang mendengar jawaban putra sulungnya. "Kenapa sih, Gas? Sudah banyak wanita yang Ibu bawa kemari, tapi kok kamu nolak terus. Ibu bingung, selera kamu tuh kayak gimana."
"Ini bukan soal selera, Bu, ini soal keinginan nggaknya aku buat nikah. Ibu tuh paham nggak sih, kalau aku belum ada niatan buat nikah." Bagas mencoba menjelaskan seringan mungkin agar ibunya segera mengerti.
"Kenapa nggak mau nikah, Gas? Kamu nggak iri lihat teman-temanmu sudah gendong anak? Kamu nggak iri, liat mereka liburan keluarga dan bersenang-senang?"
Bagas menyenderkan punggungnya ke kursi. "Bu, apa Ibu pikir kebahagiaan itu cuma didapat dari pernikahan aja? Kan nggak, Bu, masih banyak kok cara bahagia selain pernikahan. Lagi pula, pernikahan itu bukan hal yang sepele, Bu, ada tanggung jawab dan komitmen yang harus dijalani. Dari pada aku menyiksa batin anak orang, mending aku sendiri selamanya, Bu."
"Bagas!" Ibunya berteriak cepat, matanya melebar tak kala mendapati jawaban itu. Apa maksudnya? Dia tidak akan membiarkan anaknya ini menjadi bujang tua selama hidupnya. Apapun itu, Bagas harus menikah dan punya keturunan. Walau ini terdengar egois, asal Bagas bisa bahagia, Ibunya tidak keberatan dipanggil Ibu yang jahat. Walau semisal nanti pernikahannya karena keterpaksaan, Ibunya ingin Bagas mencari arti kebahagiaan di dalam pernikahan itu nanti.
"Udahlah, ya, Bu. Bagas capek terus-terusan debat soal ini. Pokoknya Bagas tetap kekeh nggak bakal kawin."
Ia berniat beranjak tetapi Ibunya segera menahannya. "Kalau kamu nggak mau kawin, dengan terpaksa Ibu coret nama kamu dari daftar warisan."
Bagas menatap Ibunya pilu. "Ternyata Ibu seegois itu ya. Ibu pikir aku bakal nurut setelah diancam seperti itu? Nggak, Bu, aku malah tambah yakin buat nggak nikah selama hidupku."
Bagas tidak pernah berpikir jika Ibunya akan sebegitunya demi menyuruhnya untuk menikah. Padahal dia bukan anak kecil lagi, umurnya sekarang 27 tahun dan itu bukan umur anak remaja yang butuh tuntunan hidup. Ia tau mana yang harus ia lakukan dan mana yang harus ia tinggalkan.
Setelah berkata sedingin itu, Bagas melanjutkan kepergiannya. Ia keluar rumah dengan disusul oleh Ibunya yang sedikit kesulitan menyamai langka anaknya.
"Bagas, tunggu, Bagas, Bagas!"
Ia memilih untuk mengabaikan panggilan itu. Ia beranjak menaiki motor Touring-nya dan segera memasang helm. Ia menaikkan standar motor dan menyalakan mesinnya. Ia menatap Ibunya sesaat, kemudian meng-gas motornya, menjauh dari rumah tersebut.
Dari spion samping, ia melihat Ibunya terlihat kecewa dengan tindakannya barusan, tapi apapun itu, ia tidak ingin menyesal di kemudian hari. Keputusannya sudah bulat, ia tidak akan menikah, apapun yang terjadi.
Perjalanan dari rumah orang tuanya menuju kosannya tidak begitu jauh. Hanya beberapa ratus meter dan ia segera turun dari motornya begitu sampai. Ia meletakkan helm-nya di bodi motor dan membuka pintu kosan.
Sebuah ruangan yang sangat amat berantakan. Ia lupa jika mengadakan pesta kecil-kecilan semalam. Ia langsung berangkat karena bangun kesiangan dan membiarkan rumahnya seperti kapal pecah.
Tidak ingin membuang waktu, ia mulai memunguti sampah yang berserakan di lantai dan menyapu semua debu ruangan hingga bersih. Di dapur, ia melihat segunung cucian piring yang belum di bersihkan. Ia tidak mengeluh, tanpa rasa kesal ia mulai menyalakan keran air dingin dan membasuhnya satu per satu.
Ia beralih ke ruangan tidur. Terlihat sangat berserakan. Bahkan banyak sampah plastik di kasur tidurnya. Layar komputernya juga masih menyala karena lupa ia matikan semalam. Dengan sabar, Bagas segera mematikan komputernya dan memunguti sampah yang ada di ruangan itu.
Begitulah keseharian yang Bagas lakukan jika pulang dari kerja. Padahal awalnya ia kira bisa bekerja sama dengan Ibunya soal pernikahan, tapi nyatanya malah menjadi semakin kacau. Bukannya kesepakatan yang ia dapat, melainkan perdebatan tiada akhir.
Di tengah kesibukannya, tiba-tiba sebuah panggilan berdering di ponsel milik Bagas. Ia menghentikan pembersihannya dan segera mengangkat telepon itu.
"Ya, Fer?" Ia menempelkan ponsel itu ke telinganya.
"Lo bebas kan nanti malam?" tanya si Feri dari dalam telepon, ia seperti sedang berada di suatu tempat. Banyak suara masuk ke dalam telepon itu.
"Iya, bebas, kenapa emangnya? Lo lagi kumpul-kumpul ya?" tanya Bagas iseng.
"Nah, bagus!" Puji Feri kesenangan. "Entar malam dandan ya, yang rapih, kita pergi ke suatu acara."
"Acara apaan, Fer? Nggak kayak biasa aja, kumpul-kumpul gitu di kosan?"
"Halah, Gas, sesekali lah kita keluar. Yang lainnya setuju kok. Iya nggak, guys?" Sontak terdengar suara bergemuruh menanggapi Feri. Ternyata memang benar ia sedang nongkrong di suatu tempat.
Bagas melirik arlojinya. "Tapi, Fer, ini udah jam lima sore. Keknya nggak bisa dandan deh."
"Bisa itu, orang acaranya jam delapan malam. Udah ya, pokoknya lo harus ikut, titik. Gue juga mau siap-siap. Dah, entar gue jemput!"
"Tapi, Fe-"
Belum sempat Bagas melakukan menolakan, telepon sudah terputus begitu saja. Bagas menghela napas pendek. Sebenarnya ia malas untuk pergi ke acara seperti ini, apalagi jika banyak orang. Namun, si Feri akan marah jika dia tidak mengikuti kemauannya, apalagi tadi Feri sangat bersemangat.
***
Hello, Everyone.
Balik lagi sama aku, Emon🌚Ini novel kedua yang aku garap. Semoga bisa Khusnul khatimah ya ngerjainnya.
Untuk cover, keknya yang sederhana dulu aja deh, nanti kuganti kalo udah ketemu cover yang pas.
Oke, next chapter!

KAMU SEDANG MEMBACA
Melajang
RomanceBagi Bagas, menikah bukanlah keharusan! Baik kebutuhan lahir dan batinnya sudah ia bisa penuhi dengan bermodalkan gaji standar pekerjaannya. Ia rajin menabung dan bersih-bersih. Namun, setelah kedatangannya pada Acara Alumni, semuanya berubah kacau...