SAAT Bagas hendak menjelaskan alasannya, tiba-tiba Intan mengerang kesakitan di perutnya yang sudah sangat besar itu.
"Intan!" Suaminya dan Bagas sama-sama panik tak kala melihat Intan yang perlahan terduduk kembali ke lantai. Sepertinya kondisi Intan tidak memungkinkan untuk mengurusi hal rumit seperti ini. Kesehatannya langsung terganggu, dan yang paling parah, akan memengaruhi kesehatan janin yang ada di dalam kandungan.
"Sudahlah." Bagas menghela napas berat. "Biar aku saja yang mengatasi masalah Ibu. Intan cukup diam saja, ya? Kasihan kamu dan bayimu itu. Niko, tolong jaga Intan ya, sepertinya dia sangat terpukul dengan kondisi Ibu."
Niko sebagai suami yang baik langsung mengangguk paham. "Iya, Mas, aku pasti jaga Intan."
Ia seperti tidak begitu memperdulikan rasa sakit yang teramat luar biasa. "Kak, tolong cari Kak Sela. Aku mohon sekali, biarkan Ibu dan Kak Sela ketemu, Kak. Aku yakin itu bisa menyembuhkan Ibu."
Mustahil, Intan. Tapi apa boleh buat!
"Iya, Kakak usahakan. Sudah ya, tenangkan dirimu, kakak akan berusaha semaksimal mungkin. Kalau begitu, kakak berangkat sekarang."
Setelah mengatakan itu dengan cepat, Bagas segera berlari ke luar rumah sakit. Ia kembali ke kafe Kenangan yang dalam waktu sekejap saja sudah mulai sepi pengunjung. Di parkiran, mobilnya sudah berkurang drastis bahkan hanya menyisakan beberapa mobil saja.
Sial, apa jangan-jangan acaranya sudah selesai?
Bagas bergegas masuk, begitu mendobrak pintu, terlihat Feri yang mengobrol dengan istrinya, bersantai ria.
"Fer." Bagas mendekat.
Feri cukup terkejut dengan kedatangan Bagas yang acak-acakan seperti ini. "Kenapa, Gas? Lo kok kayak panikan gitu."
"Iya, Mas Bagas, mukamu pucat gitu, mana banjir keringat lagi." Istirnya menambahi.
"Nanti aku ceritakan ya. Tapi sekarang aku lagi nyari Sela. Dia masih ada di sini, kan?" Bagas menghela napasnya yang mulai tidak beraturan, ia juga tidak begitu memperhatikan keringat yang sudah membasahi seluruh lekuk tubuhnya.
"Sela?" Feri merespons. "Dia udah pulang, bareng gengsnya dulu."
Bagas menampilkan raut kecewa, ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menemui wanita itu. Dan juga, ia tidak pernah tau dimana Sela tinggal. Dia pun cukup terkejut bisa melihatnya lagi di negeri ini.
"Kalian tau rumahnya, nggak?" tanya Bagas lagi, ia benar-benar sudah di ujung jalan, tidak ada solusi lagi untuk membawa Sela ke hadapan Ibunya.
"Oh, kalau rumahnya ada di pertigaan jalan, Mas Bagas." Istri Feri memberitahu.
"Loh, kamu tahu rumahnya sayang?" Tanya Feri polos.
Ia mengangguk. "Soalnya Sela pernah ngajak ketemuan, aku kan mantan gengsnya, Mas."
"Oh, iya, Mas lupa, kamu kan mantan gengsnya. Maaf, maaf, Mas lupa banget saking lamanya."
"Di pertigaan jalan ya? Oke, terima kasih. Aku berangkat dulu." Bagas bergegas, tidak mempedulikan Feri yang memanggil-manggilnya berulang kali.
Ia membuka pintu kasar, dengan lampu rumah yang padam, ia mulai menyalakan lampu ruangan demi ruangan. Ia melempar sembarang sling bag-nya dan merebahkan tubuhnya ke sofa tamu.
Ia memijat keningnya, mencoba merilekskan pikiran yang selama ini menumpuk penuh di otaknya. Ia ingin membuang semua kenangan masa lalunya bersama mantan suaminya. Selama menjadi istrinya, ia hanyalah budak seks yang harus siap melayani pria itu kapan saja. Tidak ada hubungan spesial selama pernikahan mereka. Ketika mengingatnya, darah Sela seperti mendidih dan siap menikam siapa saja yang ada di dekatnya.
Notifikasi handphonenya berbunyi. Ia meliriknya dengan ujung mata malas. Di grup chat alumni, banyak yang mengirimkan foto-foto bersama saat acara berlangsung. Ia menghela napas panjang, tiba-tiba pikirannya beralih pada sosok Bagas yang ia temui tadi.
Meski tidak ada perubahan pada hubungan keduanya, tetapi Sela merasakan hal aneh ketika berbicara lagi dengannya. Secara mengejutkan, ia ingin tahu bagaimana kondisi Bagas terakhir ini. Terlepas bagaimana mereka dulu bisa usai dengan suasana yang buruk, Sela terus memikirkannya.
Pintu di ketuk, menghancurkan ketenangan singkat yang Sela miliki. Ia tahu siapa itu, siapa lagi jika bukan mantan suaminya yang terus saja mendatanginya untuk dilayani.
Sela membuka pintu cepat dan menyambar. "Udahlah, Mas, aku capek terus-terusan jadi bud—"
Ia mendapati jika itu bukan suaminya, melainkan Bagas yang entah bagaimana bisa ada di depan pintu rumahnya saat ini. Pria itu tampak pucat dan sangat kacau, berbeda jauh dengan sebelumnya.
"Bag, Bagas? Apa yang kau lakukan di sini?" Sela merespons kaget dengan kehadiran pria itu.
"Hai, apa kab—"
Sela segera menutup pintunya cepat, tetapi lebih cekatan Bagas yang menahan sepatunya di sela pintu. Sekilas dunianya terasa runtuh, tubuhnya membeku saking besarnya guncangan yang ia hadapi saat ini.
"Aku tidak berniat jahat, Sela, tolong dengarkan aku walau sesaat."
"Dari mana kau mendapatkan alamatku, Gas? Ini rumah baruku setelah menikah, aku tidak merasa pernah memberitahukanmu alamat rumah ini."
"Aku mendapatkannya dari Natasya, istri Feri. Apa kau lupa jika dia mantan gengsmu dulu?"
Sela melepas tekanannya pada pintu. Ia bernapas lega setelah mendengar penjelasan itu. Ia awalnya berpikir jika Bagas pura-pura pergi dari acara Alumni dan diam-diam mengikutinya kemari. Namun, apa alasan Bagas datang menemuinya? Bukankah mereka sudah tidak ada urusan lagi, satu sama lain?
"Maaf jika kedatanganku tidak sopan." Bagas merapihkan bajunya. "Aku ke sini karena terdesak keadaan."
Sela menghela napas ringan. "Kalau begitu, masuklah dahulu."
Bagas mengekorinya masuk ke dalam sebuah rumah yang bisa dibilang cukup sederhana itu. Sela menyuruhnya duduk dahulu sembari ia menyiapkan beberapa makanan. Meski Bagas sudah menolaknya secara halus, Sela tetap bergegas ke dapur dan meninggalkannya sendirian di ruang tamu itu.
Dinding rumahnya dominan putih, minim dekorasi dan hanya memberikan kesan simple bagi para tamunya. Entah apa alasan Sela hidup di rumah seperti ini, seperti tidak ada kehidupan rumah tangga dalam rumah ini.
"Maaf, aku hanya mempunyai beberapa roti murah dan teh. Aku belum sempat belanja." Sela menyajikan makanan dan minuman itu ke depan Bagas yang tidak keenakan dengan kedatangannya yang mendadak.
"Terima kasih. Maaf, jika merepotkanmu, padahal kau tengah lelah."
Sela tersenyum tipis menanggapinya, ia duduk berhadapan dengan Bagas. "Bukan apa-apa, sudah kewajibanku sebagai tuan rumah untuk memanjakan tamuku. Oh, iya, mau pinjam berapa?"
Bagas yang mendengar itu langsung mengkerutkan keningnya kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Kau tergesa-gesa pergi setelah Istri atau pacarmu itu telepon. Dan kemudian kau menemuiku, apa lagi jika bukan masalah uang dan hutang-pihutang?"
"Aku tidak mempunyai alasan sedikit pun untuk meminjam uang darimu. Lagi pun, jika memang aku terdesak dengan masalah uang, Feri siap membantuku kapan saja. Aku tidak akan repot-repot kemari."
Sela seolah mengerti dengan alibi tersebut, padahal dalam benaknya ia masih meyakini jika kedatangan Bagas kali ini pastinya tentang uang. Sama seperti masa sekolah dulu, Bagas selalu perhitungan dan pelit bahkan untuk dirinya sendiri. Walau dia mempunyai uang sekalipun, dia lebih memilih untuk meminjam uang temannya dibandingkan dia mengambil uang tabungannya.
"Lantas, dalam hal apa kau mendatangiku, Bagas? Apa hal yang bisa kubantu jika tidak berkaitan dengan uang?"
***
Minal aidzin semuanya. Maaf telat pake banget ngucapinnya, tapi be better ketimbang nggak sama sekali. 30 menit before berganti tanggal.
Tau lah ya, kesibukan Emon kalo Lebaran itu kayak gimana. Tamunya beh ... sampe cape sendiri. Haha.
Eh, sorry, malah berkeluh-kesah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melajang
Lãng mạnBagi Bagas, menikah bukanlah keharusan! Baik kebutuhan lahir dan batinnya sudah ia bisa penuhi dengan bermodalkan gaji standar pekerjaannya. Ia rajin menabung dan bersih-bersih. Namun, setelah kedatangannya pada Acara Alumni, semuanya berubah kacau...