BAGAS turun dari mobil dan melihat tempat yang mereka datangi. Sebuah kafe yang memasang banyak pernak-pernik lampu berkilauan dan membentuk kata "Kenangan". Ia sedikit bingung dengan semua yang terjadi. Bahkan selama perjalanan pun, Feri tidak memberitahunya apapun, pria itu sibuk mengemudikan kendaraan dan tidak sekalipun meliriknya.
Ia menghela napas pendek, perjalanan mereka cukup jauh, Bagas sudah lelah duluan bahkan sebelum memasuki kafe tersebut. Ia sebenarnya hendak bertanya, tetapi Feri terlihat sibuk mengobrol dengan istrinya. Iya, dia si mantan playboy itu berhasil memikat hati wanita baik-baik dari sekolah tetangga mereka.
Ah, berhenti membicarakan topik tentangnya Feri, lihat dia bahkan tersenyum lebar ke arah istrinya.
"Ayo, masuk." Feri mengajak keduanya, ia melangkah duluan. "Yang lainnya sudah datang, kita adalah orang terakhir yang datang."
"Yang lainnya? Memangnya siapa?" Bagas bertanya demikian. Siapa tau, Feri akan memberikan sedikit penjelasan tentang acara apa ini. Sungguh, pertanyaan itu terus berputar di benaknya sampai-sampai ia tidak bisa berpaling dari jawaban itu. Ia bahkan menduga-duga.
"Dasar tidak peka! Kau lihat tulisan di atas kafenya, Kenangan! Masa masih tidak mengerti?"
Si istri menyikutnya. "Ih, Mas. Jangan kayak gitu ngasih taunya. Kak Bagas kan nanyanya baik-baik, jawabnya juga baik-baik dong."
"Eh, iya-iya, maaf ya, Gas. Habisnya sih, nggak pekaan banget jadi orang." Feri memang sering sarkasme terhadap sekitarnya. Tetapi ketika istrinya menegurnya, ia akan langsung meminta maaf dengan cepat saat itu juga. Sebegitu ngaruhnya peran istrinya saat ini.
"Udahlah ah, yuk masuk." Ajak istrinya. "Katanya tadi udah telat, kan?"
Feri mengiyakan. "Yuk, Gas, nanti di dalam pokoknya lo bakal paham sendiri deh."
Bagas mengekori mereka, ia benar-benar tidak sabar dengan acara yang sedang mereka hadiri ini. Namun, setelah tiba di dalam kafe, ia langsung menyadari acara tersebut.
ACARA MAKAN MALAM ALUMNI!
Ia mengenali setiap wajah yang berpesta di sana. Dengan berbagai fashion yang mereka pakai, tidak mengubah fakta bahwa Bagas mengenali semuanya. Matanya langsung tertuju pada Ikbal, teman seperjuangannya dulu. Setelah tamat dari SMA, keduanya berpisah dan tidak berkabar hampir 10 tahunan. Wajahnya tidak berubah sama sekali, masih menampilkan senyum indah yang bahkan bisa membuat siapa saja takjub padanya.
Seolah memiliki insting, Ikbal membalas tatapannya dan sama terkejutnya dengan Bagas yang berdiri di tempat, ia segera menemui teman lamanya itu.
"Yo, Bagas! Best friend-ku." Ikbal langsung memeluknya sesaat dan menampilkan senyuman khasnya. "Apa kabarnya? Gila, gak terasa udah 10 tahun aja kita nggak ketemu."
"Iya nih." Bagas tersenyum canggung. "Gimana kabarnya? Pasti tambah sukses kan?"
"Iya, dong. Kabar gue baik, seperti yang terlihat. Kalo soal sukses sih, gue cukup melarat, Gas, gegara nikah muda jadi kebutuhan serba kurang." Ikbal menunduk, ia sedih jika mengingat kondisi keluarganya yang masih dibawah garis standar perekonomian. Ia sedikit menyesali kenapa mengambil resiko sebesar itu di usia muda.
"Aku turut berduka, Bal. Semua akan teratasi dengan sendirinya. Terus berjuang ya."
Ia mengangguk. "Pasti, Gas, oh ya lo gimana kabarnya? Pasti udah sukses dan anaknya lo udah gede-gede. Iya nggak sih?"
Dengan perubahan topik yang berputar padanya, Bagas terkekeh kecil. "Emang mukaku setua itu, ya?"
"Hem, nggak sih. Papa Muda banget tuh muka. Eh, lupa, gue tinggal dulu ya, baru ingat kalo ada urusan lain."
"Oh, iya, silahkan." Bagas memberikan jalan. Ia bernapas lega begitu menyudahi obrolan itu. Hampir saja ia terpojok. Tidak mungkin juga jika dia berterus-terang pada orang yang sudah lama tidak ia temui.
Semua orang mengobrol pada pasangannya masing-masing, beberapa ada yang membawa anak kecil bahkan menggendong dua bayi kembar. Feri berada di antara obrolan itu bersama istrinya. Semasa sekolah dulu, Bagas tidak terlalu memiliki banyak teman. Hanya sekedar kenal dan saling menegur sapa saja.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang, Bagas memutar tubuhnya dan mendapati perempuan berambut coklat sebahu itu tersenyum tipis ke arahnya.
"Sela?" ucapnya spontan. Seluruh tubuhnya bergeming tidak menentu. Kenapa wanita ini harus muncul di sini? Ah, sial sekali. Bagas baru ingat jika mereka seangkatan. Ia pikir Sela telah tinggal diluar negeri dengan suami bulenya. Namun, pada realitanya, ia hadir dihadapan Bagas saat ini.
"Iya, ini aku, Sela Agustina, mantan kamu dulu." Dengan suaranya yang lembut dan halus seperti penampilannya, hal itu membuat Bagas menjadi salah tingkah sendiri.
"Kau tidak perlu mengatakannya, itu hanyalah kenangan masa lalu."
"Tentu." Sela memiringkan sedikit kepalanya. "Tapi, bukannya justru itulah yang harus kita lakukan di sini?"
"Apa maksudmu?"
"Seperti namanya, Kenangan, harusnya kita mengenang segala kenangan kita di sini, Bagas. Bukankah itu inti dari acara Alumni ini? Aku tidak menyangka juga jika kau akan datang pada acara seperti ini."
Bagas memutar matanya malas. "Jangan salah paham, aku dijebak ke sini. Feri memaksaku untuk ikut dan aku berakhir di sini."
"Kau masih sama seperti dulu ya, Gas? Walau penampilanmu cukup jauh berubah. Yang kuingat, kau dulu hanyalah pria berkacamata dengan kepribadian aneh. Tapi, lihat penampilanmu sekarang, memakai kemeja mahal dengan jam tangan mewah dan juga beraroma parfum high class."
Bagas merasa risih dengan setiap kata yang diucapkan oleh Sela. "Berhentilah mengusikku, Sela. Kau menjadi sosok yang berbeda setelah perpisahan kita. Bahkan sampai sekarang kau menjadi sosok menyebalkan itu, kenapa? Apa kehidupanmu selama 10 tahun ini tidak kunjung menyadarkanmu bahwa berperilaku seperti itu merupakan kesalahan?"
Sela menurunkan alisnya, berkerut. "Apa maksudmu? Aku adalah aku, aku tidak mengubah perilakuku sedikit pun. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau katakan."
"Berhenti pura-pura bodoh, aku yakin kau seratus persen paham soal ini. Katakan padaku alasannya, Sel. Kau tidak mungkin berubah seperti ini tanpa alasan."
"Dan kau pun seratus persen tau apa yang menjadi sumbernya, Gas. Kau menuduhku pura-pura bodoh sedangkan kau sendiri...."
Sebuah telepon berdering, menghentikan ucapan Sela. "... Itu bukan handphoneku, periksa punyamu."
Bagas langsung memeriksa sakunya dan benar itu adalah sebuah panggilan dari ponselnya.
"Angkatlah, aku tidak keberatan."
Bagas memperhatikan layar, terdapat nama Intan di sana. Saat hendak ia angkat, tiba-tiba telepon sudah berakhir. Bagas segera menyimpan ponselnya kembali.
"Dari istrimu?" Lirik Sela sedikit penasaran. "Kenapa? Kau ragu mengangkatnya?"
"Kubilang, berhenti sok tahu soal kehidupanku." Bagas menegaskan rahangnya, ia sedikit kesal dengan tingkah Sela yang semakin menjadi-jadi.
"Kalau begitu..." Telepon kembali berdering. "... Sebaiknya kau angkat, istrimu pasti orang yang tidak sabaran."
Bagas mengangkatnya, ia menatap kesal ke arah Sela dan menempelkan ponsel itu ke telinganya. "Ada apa?"
Raut wajah Bagas berubah seketika. Yang tadinya ia terlihat cukup kesal, berubah menjadi datar dan matanya bergetar kecil. Tangannya juga mengepal kuat. Bagas menyimak dengan serius dan tidak begitu mempedulikan sekitar yang sejak tadi memanggilnya.
"Tunggu, aku segera ke sana!" Ia mematikan ponsel. Bergegas cepat dan mengabaikan Sela begitu saja.
"Kenapa Bagas? Apa istrimu sudah ingin melahirkan?" Ejek Sela berteriak, namun tidak ada tanggapan dari Bagas, pria itu bergegas pergi dari acara begitu saja. "Dasar pria menyebalkan, selalu saja pergi tanpa kejelasan."
***
Chapter 2.
Sinopsisnya nanti ya. Lagi dibikin, buat sementara baca aja dulu. Semoga suka🥰🥰
Emon.
![](https://img.wattpad.com/cover/343733082-288-k414064.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melajang
RomanceBagi Bagas, menikah bukanlah keharusan! Baik kebutuhan lahir dan batinnya sudah ia bisa penuhi dengan bermodalkan gaji standar pekerjaannya. Ia rajin menabung dan bersih-bersih. Namun, setelah kedatangannya pada Acara Alumni, semuanya berubah kacau...