3

59 8 3
                                    

"BAGAS mau kemana, Sel?" Feri menghampirinya tepat setelah kepergian buru-buru pria itu, ia juga meliriknya sesaat.

"Tau tuh." Sela merespons ringan. "Habis dapat telepon dari istrinya, langsung buru-buru gitu."

Feri tertegun, dari mana dia bisa menyimpulkan informasi palsu itu? Apa Bagas sendiri yang mengatakan padanya? Menurut Feri, dia bukanlah tipe pria yang akan dengan sengaja memberikan informasi palsu, apalagi soal sensitif seperti ini. Jadi, pada akhirnya, dari mana Sela dapat informasi itu?

"Istri?" Beo Feri akhirnya, terlihat raut kebingungan di wajahnya. "Jika Bagas memiliki istri, Ibunya nggak bakal sulit-sulit menjodohkan dia dengan banyak perempuan." Feri memutuskan untuk memancing emosi Sela, ia ingin melihat apakah wanita ini akan terusik dengan fakta itu.

Namun, di luar dugaan, Sela tampak memaklumi kondisi itu, ia hanya mengangguk beberapa kali. "Jadi, begitu. Mungkin pacarnya yang telepon."

Feri tersenyum. Sekarang ia tau dari mana kesimpulan itu berasal. Sela memang dikenal suka menyimpulkan sesuatu semasa sekolah dulu. Bagaimana Feri bisa lupa akan hal itu?

"Oh, ya, bagaimana persidanganmu? Apakah sudah mencapai proses akhir?" Feri mengalihkan pembicaraan.

"Kami sudah sah bercerai, Feri." Sela memberitahunya enteng. Setelah berkali-kali menjalani persidangan, akhirnya ia resmi berpisah dengan pria bule yang berasal dari Australia itu. Selama menjadi istrinya, tidak ada satu kebahagiaan pun yang Sela dapatkan. Sehari-hari ia hanya menjalani kehidupan bak pembantu. Bahkan ia tidak diijinkan untuk memakai perhiasan. Sela menelan salivanya setelah puas mengibas kilas masa lalu.

"Baguslah, kudengar kau tidak begitu bahagia. Semoga kau cepat menemukan penggantinya." Feri menyemangatinya, ia memberikan sentuhan ringan pada bahunya. "Kalau begitu, aku menemui yang lain dulu."

Ia menatap kepergian pria itu. Dari dulu, Feri tidak berubah sedikit pun. Ia bisa terlibat dalam masalah tanpa membahayakan posisinya. Sejak sekolah, selalu dia yang melerai jika Sela terlibat adu mulut dengan teman sebayanya.

Bagas sesegera mungkin melajukan mobil, bahkan ia mengambil kuncinya tanpa ijin dari Feri. Keadaannya benar-benar gawat, seluruh dunia Bagas terasa bergoyang dan tangannya bergetar hebat. Ia bahkan membunyikan klakson tanpa henti, ia selalu meminta jalan pada kendaraan yang melaju di depannya.

Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk datang ke rumah sakit tempat Intan berada. Di dekat meja resepsionis, terlihat Intan bersama suaminya terduduk di kursi tunggu. Ia lantas menemuinya.

"Intan." Panggilnya, adiknya itu segera menatapnya gelisah, ia terus mengigit kukunya tanpa henti. Melihat situasi ini, ia meminta suami Intan untuk menjelaskan situasinya.

"Begini, Mas, tadi saat kami baru datang berkunjung, Ibu udah tergeletak di lantai, kami panik dan membawa Ibu ke sini." Suaminya menjelaskan dengan cukup tenang, ia sesekali menggosok punggung istrinya. Ia tau persis apa yang istrinya rasakan saat ini. Ia juga turut bersedih.

"Lalu, apa kata dokter?"

Suami Intan menggeleng pelan. "Dokternya belum keluar sejak menangani Ibu, Mas. Sepertinya kondisi Ibu sedang gawat."

"Gimana ini, Bang?" Keluh Intan pada suaminya, ia terus meneteskan air matanya tanpa henti. Matanya bahkan memerah dan kulitnya putih pucat.

"Intan, dengar Kakak." Bagas berjongkok, berusaha menghibur adiknya yang penuh kekhawatiran itu. "Ibu pasti baik-baik saja. Ada dokter yang menanganinya, kita percayakan semuanya pada dokter, ya?"

Meski Bagas terlihat santai, namun dari dalam ia sangat goyah. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih tentang jalan keluar dari masalah ini. Hanya ia yang bisa diandalkan setelah Ayahnya pergi dengan wanita yang bahkan seumuran dengannya. Ia begitu kesal saat tau hal itu, dan memutuskan untuk tidak akan menemui pria yang biasanya ia panggil "Ayah" itu.

"Haruskah kita panggil Ayah saja, Kak?" Sepertinya Intan sudah kehabisan akal. Ia bahkan mengatakan hal yang tidak mungkin terjadi.

"Intan, aku tau kau sedang panik. Namun, cobalah untuk tenang, aku sedang memikirkan solusinya. Untuk saat ini, mari kita berdoa untuk kesembuhan Ibu."

Dia menuruti kemauan kakaknya untuk tetap tenang di situasi yang sangat menggemparkan ini. Bagaimana tidak, Intan sangat bergantung pada sosok ibunya yang selalu memberikannya perhatian penuh, bahkan saat dia sedang menghadapi masalah kecil sekalipun. Itu sebabnya, Intan tidak akan bisa menerima kenyataan bahwa Ibunya sedang tidak baik-baik saja.

Selagi Intan mencoba menenangkan diri, Bagas terus memutar otaknya untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Namun, di tengah kesibukannya, tiba-tiba dokter keluar dari ruangan Ibunya.

Terlihat wajah Dokter itu amat serius dan dia segera mengajukan pertanyaan padanya. "Apa kalian keluarganya?"

Tengkuk Bagas menegang seketika, bulu kuduknya berdiri tegak dan ia merasa panas-dingin menyelimuti seluruh tubuhnya. Mulutnya pun terasa keluh. "Iy—iya, apa kondisi Ibu saya baik-baik saja?"

Dokter itu membuka masker medisnya. "Syukurlah, Ibu kalian sudah sadar sekarang..." Namun, Bagas tak kunjung tersenyum tak kala dokter itu masih terus meneruskan perkataannya dengan cepat. "Tapi, dia terus memanggil satu nama sejak sadar. Apa ada diantara kalian yang bernama 'Sela'?"

Intan beranjak, ia mendekat dengan wajah yang seolah menemukan secercah harapan untuk kesembuhan Ibunya.

"Kak Bagas, kakak tahu kan apa yang harus kita lakukan?" Intan bertanya demikian, ia menggoyangkan bahu Bagas yang tetap berdiam diri dan tidak merespons apapun. "Kakak, kenapa diam saja?"

"Maaf menyela, apa Anda tahu seseorang yang bernama Sela itu? Ah, sekali lagi maaf, ini terlihat terlalu ikut campur, tapi bisakah kalian mendatangkan ke sini? Begini, kondisi Ibu kalian sedang dalam masa darurat, mungkin seseorang yang bernama Sela itulah yang akan sedikit membuat keadaannya menjadi lebih baik." Dokter itu memberitahu dengan pelan-pelan soal kondisi Ibu mereka yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

"Apa hal itu mungkin, Dok?" Intan maju, ia menepis pertanyaan kenapa Kakaknya tidak bersuara setelah mendengar nama itu. Yang terpenting sekarang, ia harus mengusahakan semua usaha yang ia bisa untuk membuat Ibunya tersenyum kembali.

Dokter itu mengangguk ringan. "Dalam kondisi tertentu, hal itu mungkin saja. Kalau begitu, kami tunggu kedatangan sosok Sela ini. Namun, kami tidak bisa menjamin kondisi Ibu kalian akan stabil dalam jangka waktu yang lama. Permisi."

Sampai dokter itu pergi menjauh pun, Bagas tetap diam membisu di tempat. Intan cukup kesal dengan respons kakaknya yang hanya berdiam diri tidak ikut sedih dengan kondisi Ibunya yang mengkhawatirkan.

"Apa yang kau lakukan, Kak Bagas? Kenapa hanya diam saja?"

"Iya, Mas, kenapa hanya diam sejak tadi?" Suami Intan menambahi.

Bagas tersadar dari lamunan panjangnya. "Ah, bukan apa-apa."

"Lalu apa? Ayo panggil Kak Sela ke sini, Kak." Intan menggenggam tangannya. "Apa Kakak tidak khawatir tentang kesehatan Ibu?"

"Tentu, tentu saja aku khawatir, Intan. Tapi ...." Bagas menggantung kalimatnya, membuat Intan berkerut dahi dengan banyak pertanyaan yang muncul.

"Tapi apa, Kak?"

"Kau tahu sendiri kan, Kakak sudah lama tidak berkontak dengannya. Bagaimana caraku untuk menyuruhnya ke sini?"

Bagas berbohong, padahal ia baru saja bertemu dengan Sela beberapa saat yang lalu. Ia hanya tidak ingin perempuan itu terlibat lagi dalam hidupnya yang mulai sempurna ini. Ia pikir, ia akan bisa membujuk ibunya untuk tidak memaksanya menikah. Namun, jika tahu kondisinya akan seperti ini, Bagas tidak punya pilihan lain. Ia harus menghadapi kenyataan yang membuat kehidupannya yang nyaris sempurna menjadi hancur berantakan.

"Mari kita tanya Kak Feri." Intan memberi ide, ia benar-benar memikirkan apa yang harus dilakukan. Sebuah jalan telah terbuka, ada kesempatan di dalamnya yang mana kesempatan itu akan mengembalikan kondisi Ibunya menjadi sehat kembali.

"Kau percaya bahwa hal itu akan memengaruhi kesehatan Ibu, Intan? Bagaimana jika hal itu hanyalah bualan dokter semata?" Bagas mencoba menolak hal itu secara halus.

"Apa maksudmu, Kak?

***

Sorry baru update. Seperti biasa, kesibukan menghalangiku untuk menulis.

MelajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang