SELA dan Bagas banyak bercakap, mengingat masa lalu yang bahkan hampir Sela lupakan, dia sendir tidak tahu jika hal itu pernah terjadi. Semuanya terasa begitu singkat sampai ia sendiri tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"... Benar, kan? Kupikir julukanku tentang si pelupa itu tidaklah benar."
Di tengah kesibukan keduanya, tiba-tiba Bagas mendapatkan panggilan dari seseorang. Ia melirik kepada Sela, seperti ingin meminta ijinnya untuk menjawab telepon tersebut. Sela mengangguk cepat, ia tidak tahu kenapa Bagas harus menatapnya untuk mengangkat panggilan itu.
"Permisi." Ia kemudian menempelkan ponsel itu ke dekat telinganya. "Iya, Intan?"
"Kak, gimana? Kak Selanya udah ketemu belum?"
"Udah kok. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit."
"Kak Sela mau kan datang menjenguk Ibu?"
"Iya, dia mau kok." Walau harus sedikit mengikis rasa ibanya.
"Syukurlah. Tapi Ibu pesan, Kak, Kak Selanya hiasi dulu baru ke sini. Datang aja ke salon langganan Ibu." Intan memberitahu dengan cepat.
"Hah? Mau ngapain ke salon?"
Mendengar kata "Salon" membuat Sela yang tidak begitu mempedulikan telepon itu, melirik sesaat. Kata itu terdengar ambigu dan ia tidak tahu apa maksudnya. Bukannya jelas-jelas mereka hendak ke rumah sakit? Lalu, kenapa malah menyuruh pergi ke sebuah tempat Salon?
"Udah, Kak, ini perintah dari Ibu. Kakak jangan membantah lagi. Ibu lagi nggak baik-baik saja. Untuk kali ini aja, Kak, tolong ikuti kemauan Ibu." Intan memohon dengan sangat.
"Ibu udah sadar ya? Boleh kakak bicara dengan Ibu?" Bagas meminta dengan sangat.
"Ibu bilang, nanti aja setelah kakak sampai ke sini. Kalau begitu, udahan dulu ya, Kak. Bye!"
Telepon diputuskan begitu saja. Bahkan Bagas tidak sempat untuk menanyakan apapun. Ia terlihat kecewa dengan sikap Intan kali ini. Namun, ia curiga jika Ibunya lah yang menyuruh untuk mematikan telepon tersebut. Tapi baguslah jika memang benar begitu, artinya Ibunya sudah sedikit membaik.
Bagas meletakkan kembali ponselnya. Sela yang melihat sikap Bagas yang menjadi lesu setelah semangat menggebu-gebu, lantas menanyakan sebabnya. "Kenapa, Gas?"
Bagas menepis ekspresi sedihnya dengan cepat, ia tersenyum tipis. "Ah, nggak, bukan apa-apa. Tapi, Sel, kita ke salon dulu ya. Kamu nggak keberatan, kan?"
Sela menggeleng. "Nggak, kenapa memangnya? Ada yang mau kau ambil di salon itu?"
"Kurang tau juga, ini perintah langsung dari Ibu soalnya. Aku pun nggak paham kenapa kita harus ke salon dulu, padahal ini sudah dekat dengan rumah sakit."
Sela diam, ia ragu untuk memberikan solusi pada Bagas. Memangnya siapa dia? Hanya seorang janda yang kebetulan dibutuhkan oleh Ibu mantan pacarnya, tidak lebih. Sela harus sadar posisinya saat ini. Ia orang luar, tidak baik untuknya ikut campur masalah keluarga orang lain.
"Maaf ya. Aku tahu, kau terpaksa mengiyakan permintaanku karena rasa kasihan. Aku tahu itu." Bagas meliriknya sesekali setelah memutar jalan. "Aku tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan cara apa, tapi yang pasti, aku akan membalasnya dengan cara apapun."
"Kau kenapa, Bagas? Cara bicaramu mendadak jadi kaku seperti itu. Sudah, santai saja. Meski harus kuakui, aku memang mengiyakan karena rasa kasihan." Sela merasa risih dengan sikap Bagas yang lantas berubah secara tiba-tiba. Ia pikir, sekarang bukan saatnya untuk berterima kasih padanya. Ia bahkan belum melakukan apapun.
Bagas memarkirkan mobilnya di depan pintu salon yang ternyata masih buka. Bagas mematikan mesin mobilnya dan bergegas turun. "Mohon menunggu sebentar, atau kau mau ikut masuk?"
"Ah, tidak perlu." Sela menolaknya cepat. Ia tidak punya keperluan apapun di dalam salon itu. "Masuklah, aku akan menunggu di sini."
"Baiklah, terima kasih atas pengertiannya."
Sela mengamati pria itu yang mendorong pintu salon dan menghilang di dalamnya. Ia bernapas lega, entah kenapa sejak berada di mobil ini ia kesulitan untuk bernapas. Udaranya juga tiba-tiba saja berubah menjadi panas.
Tak lama setelahnya, Bagas segera kembali ke mobil dengan buru-buru, ia mengetuk kaca di sebelah Sela. Sela pun menurunkan kaca. "Ada apa, Gas?"
"Aku ragu mengatakannya. Tapi bisakah kau juga ikut masuk?"
"Kenapa? Apa ada masalah di dalam?"
Bagas mengusap tengkuknya untuk merilekskan diri. Ia tidak bisa mengatakan ini, tapi apa boleh buat. "Kau dan aku harus di rias di dalam."
"Di rias?" Beo Sela yang semakin tidak mengerti dengan keadaan yang ia alami sekarang.
"Iya. Aku pun tidak begitu mengerti, tapi katanya ini sudah pesan Ibu. Apa kau keberatan?" Bagas bahkan tidak menunggu respons Sela terlebih dahulu. "Ah, sudahlah, kita langsung ke rumah sakit saja."
"Bagas," panggil Sela menghentikan langkah Bagas yang hendak memasuki mobil. Ia segera beranjak keluar. "Aku sudah bersedia menolong, jadi kurasa ini bukan masalah besar. Mungkin saja ini akan memengaruhi kesehatan Ibumu."
"Kau yakin?" Bagas mendekatinya, ia tahu dari raut wajah Sela yang masih begitu membingungkan. Dari kerutan dahinya yang menginginkan banyak jawaban atas pertanyaan.
"Iya, ini bukan masalah."
"Kujamin ini tidak akan memakai uang pun sedikit pun."
"Bagas." Sela memanggilnya tegas. "Hentikan kebiasaan burukmu itu. Jangan selalu berpikir soal uang, itu bukanlah prioritas utama yang harus dipikirkan. Lakukan saja yang terbaik, oke? Soal uang dan segala macamnya itu bukanlah hal yang sulit untuk diselesaikan."
Bagas tidak berubah sejak dahulu. Masih saja suka memikirkan keuangan. Segala macam sesuatu yang ia kerjakan, pasti uanglah yang dijadikan prioritas. Sama seperti mereka pacaran dulu, untuk hadiah anniversary hubungan mereka, Bagas meminjam uang temannya. Padahal, Sela tahu betul jika Bagas mempunyai uang santai yang lebih dari cukup untuk membelikannya sepasang cokelat.
"Ah, maaf." Sama seperti dahulu, Bagas langsung meminta maaf begitu Sela menegurnya soal uang. Bagas dulu ingin menghentikan kebiasaan ini, tetapi terhalang oleh sesuatu sehingga ia menghentikan usahanya dan berakhirnya hubungan mereka.
"Maaf, Kak, untuk pelanggan dipersilahkan masuk." Suara pegawai salon itu terdengar keluar. Menghentikan perdebatan konyol keduanya.
"Liat, karenamu pegawainya menjadi kerepotan. Sudah, mari kita masuk." Sela sontak bersikap kesal sendiri. Ia menahan rasa malunya karena sudah memperintakan Bagas seperti pacarnya. Itu hanya kebiasaannya saat mereka pacaran dulu, dimana Sela lebih dominan ketimbang Bagas yang lebih sering mengiyakan segala bentuk permintaan dari Sela. Dasarnya, Bagas tidak memiliki inisiatif untuk hubungan tersebut, Sela lah yang berperan lebih dominan dan selalu melakukan yang terbaik. Terbalik dengan Bagas, ia hanya mengikuti alur yang sudah Sela tentukan sebelumnya. Ia tidak berniat sedikit pun untuk menyamai rasa semangat Sela dalam berpacaran. Bagi Bagas, asal Sela mendapatkan apa yang ia inginkan, itu sudah lebih dari cukup, tanpa Bagas tahu, jika Sela juga menginginkan perhatian Bagas....
***
Bingung mau ngetik apa. Tapi intinya Emon mau minta maaf karena belum bisa update konsisten. Smg dipahami ya. Lagi ada Festival juga
![](https://img.wattpad.com/cover/343733082-288-k414064.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melajang
عاطفيةBagi Bagas, menikah bukanlah keharusan! Baik kebutuhan lahir dan batinnya sudah ia bisa penuhi dengan bermodalkan gaji standar pekerjaannya. Ia rajin menabung dan bersih-bersih. Namun, setelah kedatangannya pada Acara Alumni, semuanya berubah kacau...