5

38 9 3
                                    

"IBUKU ingin bertemu denganmu."

Sela menampilkan ekspresi tidak mengerti. Kenapa Ibu Bagas ingin bertemu dengannya? Sejak kapan juga mereka terlihat dekat? Ia hanya pernah menemui Ibu Bagas sekali saat berpacaran dengan pria itu semasa sekolah dulu. Ia bahkan sudah cukup lupa dengan wajah dari wanita yang melahirkan Bagas.

"Dalam hal apa? Untuk memanas-manasiku?"

"Sela, berhenti melakukan itu sekarang. Aku sedang serius saat ini." Bahu Bagas menegang tak kala mendapati respons Sela yang begitu meremehkan dirinya. Namun, sayangnya ia tidak bisa langsung berterus terang, inilah penyakit yang selalu menghalangi Bagas selama ini. Ia tidak bisa berterus terang kepada orang lain. Ia sekuat tenaga menyimpan masalahnya sendiri dan akhirnya merasa tidak membutuhkan sosok orang lain dalam hidupnya.

Ia menyadari ketegangan yang langsung melahap seluruh jiwa Bagas saat ini. Mungkinkah memang kondisinya separah itu? Awalnya, ia pikir Bagas hanya menjadikan Ibunya sebagai alasan untuk bertemu dan mempermalukannya.

"Kau masih sama seperti dulu, Bagas. Aku bahkan tidak mengerti dengan arah pembicaraan kita. Kau sebenarnya mau apa? Membalas dendam padaku atau apa? Katakan dengan jelas, jika kau masih seperti ini, maaf aku tidak bersedia untuk mendengarkan omong kosongmu."

Ia beranjak, Bagas terlihat gelisah dan mengatakan sesuatu dengan cepat. "Ibuku sakit, aku tidak tahu apa yang terjadi sehingga kondisinya separah itu, ia bahkan dalam kondisi darurat, dia menyerukan namamu berulangkali."

Sela kembali berfokus pada pria itu. "Kenapa aku? Kita sudah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya, kenapa Ibumu bisa ingat dengan nama wanita yang hanya pernah ia bertemu sekali seumur hidup?"

"Aku tidak tahu!" Bagas menaikkan nada bicaranya, marah besar. "Sudahlah, jika kau tidak bersedia membantu, aku akan ...." Sebuah air mata menetes, membasahi pipi Bagas yang masih menegang tak terkendali.

"Kau menangis? Bagas, aku tidak bermaksud untuk...." Rasa bersalah menyelimuti perasaan Sela dan ia benar-benar menyesal telah mempermainkan Bagas sampai pria itu seputus asa ini. Ia menghela napas kasar sampai ia bersumpah serapa untuk dirinya sendiri.

Sekarang bukan waktu yang tepat untuk terlihat keren di depan Bagas, Sela.

"Permisi." Bagas menghapus sisa air matanya dan hendak pergi dari sana.

Ketika jemarinya sudah menggenggam gagang pintu, Sela memanggilnya. "Aku benar-benar meminta maaf jika sudah menyakitimu seperti ini. Aku hanya ingin kau—"

Bagas menoleh padanya. "Kau hanya ingin membalas dendam padaku, kan? Baiklah, mungkin ini saat yang tepat untuk melakukannya. Kau menang, Sela, kau berhasil membuat hidupku hancur, seperti aku menghancurkan hidupmu dulu. Bahkan sampai aku mengemis memohon pun, kau akan tertawa bahagia melihat keputusasaanku."

Bagas tahu, tapi dia tidak punya pilihan lain. Kondisi Ibunya bisa saja semakin parah jika ia tidak berhasil memenuhi keinginannya, dan ia sudah cukup merasa bersalah karena terus mengecewakan wanita yang telah menyayanginya sepenuh hati. Setidaknya, walau harus mengemis dan memohon sekalipun, ia ingin kondisi Ibunya kembali pulih seperti sedia kala.

Bagas melangkah keluar rumah. Sela segera mengejarnya di teras rumah dan berteriak. "Benar, Bagas, awalnya aku ingin terlihat keren di matamu, aku juga ingin membalaskan rasa sakit yang sudah kau buat di masa lalu. Tapi ... Tapi aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menghancurkan hidupmu sampai ke titik terendah seperti ini. Kau ingin aku datang menemui Ibumu, kan? Baiklah, aku bersedia, tapi hanya untuk kali ini saja."

Langkah Bagas terhenti.

"Kuharap kau benar mau membantuku, Sela, karena jika tidak, kau mungkin tidak akan melihatku lagi."

Sela mengerti dengan apa yang hendak Bagas katakan. Di titik terendah dalam hidupnya, Bagas tidak segan-segan untuk melakukan hal nekad sekalipun. Ia sudah sering melihatnya membahayakan diri hanya karena ia tidak bisa menuntaskan masalah pribadinya.

"Benar, aku tidak berbohong kali ini. Aku akan membantumu." Sela mendekatinya, Bagas yang masih berlinang air mata menghela napas kuat-kuat, ia berusaha tegar.

"Maaf, tapi kita harus putus!"

Sela yang saat itu masih berseragam putih abu-abu berhadapan dengan seorang pria di depannya. Yang awalnya ia tersenyum lebar tiba-tiba mendapat sebuah kata-kata yang langsung meledakkan seluruh tubuhnya. Ia tidak mengerti, apa alasannya. Kenapa kalimat sakral itu keluar begitu saja dari mulut pacarnya? Apa yang salah? Apa dia melakukan kesalahan? Kenapa dia memutuskannya begitu saja tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri?

Mulut Sela terasa kaku dan matanya membelalak besar. Ekspresinya datar, pria itu melepas begitu saja genggaman tangan mereka dan bergegas pergi meninggalkannya sendirian.

"Kenapa?!" Sela berteriak kencang, namun itu tidak memengaruhi langkah kaki pria itu. "Apa salahku? Kenapa tiba-tiba? Tolong jelaskan! Apa aku seburuk itu di matamu? Apa tidak ada yang bisa kulakukan agar kamu tetap mau mempertahankanku? Bagas, Bagas!!!"

"Sela."

Ia segera tersadar dari lamunannya. Duduk di samping kursi pengemudi, Bagas baru saja memanggilnya. Entah sejak kapan ingatan itu terlintas di benaknya, ia bahkan tidak ingat jika sudah berada di dalam mobil bersama Bagas.

"Kau melamun, ya? Maaf, aku tetaplah pria yang sama seperti dulu. Si Cupu berkacamata yang tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Tidak seperti dirimu, kau pasti sudah sangat dewasa dalam menghadapi kondisi seperti ini. Maaf jika sebelumnya aku terlalu bersikap kekanak-kanakan."

Sela menatap pria yang tengah berfokus pada jalanan itu. Memang benar, tidak ada yang berubah darinya, ia masihlah pria cengeng yang ketika menghadapi jalan buntu hanya akan menangisi keadaan.

"Tidak, kau pernah membuat keputusanmu sendiri, Gas. Sebuah keputusan besar yang akhirnya keluar dari mulutmu sendiri." Sela melukis senyum di bibirnya.

"Benarkah? Aku tidak ingat pernah membuat keputusan seperti itu."

"Tentu saja, kau kan pria pelupa. Sepertinya sampai sekarang kau masih suka bersikap seperti itu. Asal tau saja, teman-teman Alumni menjulukimu 'Pria pelupa'."

Sebenarnya, acara Alumni sudah sering diadakan, tetapi untuk pertama kalinya, semua anak angkatan bisa hadir. Termasuk Sela yang selalu menolak untuk hadir pada acara seperti itu. Setelah proses perceraiannya yang begitu panjang, ia akhirnya mendapatkan kebebasannya. Jadi, dia memutuskan untuk menghadiri acara tersebut. Tidak ia duga, hal itu malah mempertemukannya dengan masa lalunya.

"Benarkah? Aku tidak pernah tahu jika dijuluki demikian."

"Tentu saja, karena kau pelupa."

Untuk sejenak, Bagas merasakan rasa tentram di hatinya. Ia bisa melupakan semua masalah yang ia hadapi. Saat ini, dia benar-benar bergelimang ingatan masa lalu yang ia sendiri tidak tahu apakah akan terus mengingat masa itu atau tidak. Di masa kerjanya, ia tidak terlalu terlibat dalam banyak hal. Dia terus mengulang siklus hidup yang sama setiap harinya. Namun, hari ini dunianya telah berbeda. Ini adalah awal dari semuanya....

***

Hallo, Emon disini!

Maaf karena lama update. Lagi sibuk setelah Lebaran.

MelajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang