"SILAHKAN dipilih gaunnya, Kak." Pelayan perempuan itu menunjukkan semua koleksi gaun pengantin yang salon tersebut miliki. Dari semua gaun yang berada di depannya, pandangan Sela langsung tertuju pada satu gaun yang langsung mencuri perhatiannya. Sebuah gaun berwarna persik dengan corak emas di hampir setiap jahitannya.
Namun, ia segera memalingkan wajahnya, apa yang barusan ia lakukan? Ini tidak akan seperti yang ia pikirkan. Mungkin saja Ibu Bagas hanya ingin melihat Bagas bergandengan tangan dengan pasangannya, lantas kenapa tidak panggil pacarnya saja? Bukannya dia punya? Sela beralih pandang pada pria itu.
"Bukankah ini gaun pernikahan? Kalian tidak salah memperlihatkan produk, kan?" Bagas sontak bertanya, ia tidak mengerti sama sekali dengan semua yang terjadi, apalagi ini. Yang Bagas tahu, ibunya tidak pernah bersikap seperti ini.
"Tidak, Kak. Ini sudah sesuai dengan perintah yang diberikan Client, kami sudah menyiapkan semua ini jauh-jauh hari." Pelayan itu menjelaskan dengan sopan, ia hanya mengikuti perintah atasannya dan memang benar inilah yang dipesan oleh Ibu Bagas.
"Tunggu, biarkan aku menghubungi Ibuku dulu." Bagas menjauh, menekan teleponnya dan memanggil seseorang, ia meletakkan handphonenya di dekat telinga.
Sementara Bagas menjauh, Sela mengigit bibir bawahnya pelan, ia menatap suasana luar salon yang tampak begitu sunyi. Menambah ketegangan dan memberikan fakta bahwa Sela semakin cemas memikirkan pertemuan kali ini. Jika memakai gaun semewah ini, itu berarti pertemuan ini akan begitu meledak. Ia tidak bisa membayangkan apa saja yang akan terjadi.
Benarkah semua yang terjadi saat ini? Dia sudah tidak bertemu pria itu hampir 10 tahun lamanya—
Sampai ia tidak sadar bahwa Bagas sudah menyudahi teleponnya, pria itu berkata. "Maaf jika aku pergi menelpon tanpa meminta ijin darimu. Tapi sepertinya memang diharuskan memakai gaun pengantin ini, aku tidak tahu alasannya."
Diam, tidak ada respons apapun.
"Sela?" Panggil Bagas lagi. Ia sedikit mengguncang bahunya.
Ia segera tersadar dari lamunannya dan melompat kecil ke belakang. "Ah, iya, tidak papa." Berusaha tersenyum selebar yang ia bisa.
"Bagaimana? Apa kau suka dengan gaun-gaun ini? Aku tidak terlalu mengetahui seleramu, jadi kuserahkan padamu. Oh iya, sepertinya warna Persik akan lebih cocok pada kulitmu."
Sela menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak melompat riang gembira mendengar pujian tak terduga tersebut. Ia merasakan keinginan kuat untuk melompat dan berlarian kecil. Semakin ia tahan, ketegangannya semakin memuncak, tidak tahu harus berbuat apa.
Ada apa dengannya?
Kenapa ia bisa seperti ini hanya karena satu pujian receh seperti itu? Ia harusnya bisa mengendalikan diri. Dan entah kenapa dia merasakan hal aneh ketika jemari Bagas menyentuh pundak kecilnya. Ia merasakan kehangatan di dalam jemari yang sudah lama tidak menyentuh dirinya.
Sela menggoyang-goyangkan kakinya, matanya melihat sekeliling, dadanya berdegup kencang. Ia sebenarnya ingin marah pada dirinya sendiri, kenapa ia merasakan hal ini lagi. Harusnya ia sudah terbebas dari perasaan ini sejak sepuluh tahun yang lalu.
"Baiklah, mungkin kau butuh waktu lebih untuk memilih, aku akan menunggu di luar."
"Tidak." Ia menghentikan langkah kaki Bagas dengan cepat. "Kurasa berdiskusi soal gaun adalah hal yang bagus. Aku tidak mengetahui gaun kesukaan ibumu. Jadi, bisakah kau tetap menemaniku memilih gaun ini?" Sela beralibi, sebenarnya ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang harus ia pakai, hanya saja hatinya mengatakan jika pria itu tidak boleh pergi jauh darinya.
Kenapa?!
Apa yang sebenarnya terjadi? Ia tidak paham tentang perasannya sendiri.
"Aku? Kau tau, Sela, seleraku sangat buruk." Itu benar, dan mereka harus mengakui hal itu. Bagas memiliki kualitas selera yang sangat rendah jika menyangkut barang yang identik dengan perempuan. Hal itu sangat payah, bahkan untuk waktu yang lama. Ia sendiri menduga jika Sela ingin mengetes apakah ada perubahan padanya atau tidak. Dan ya, dia mendapatkan sebuah fakta, dimana Bagas masih payah dalam hal itu.
"Anggap saja aku ini menantu idaman ibumu. Coba pikirkan saja selera beliau." Sela agak memaksa, walau dia tahu bahwa hal ini hanya akan mempermalukannya saja. Namun, ia tidak punya pilihan lain, bagaimana jika seleranya tidak cocok dengan pandangan ibu Bagas?
Tapi tunggu, kenapa juga ia harus repot-repot terlihat cantik di depan ibu Bagas? Memangnya mereka akan melakukan apa? Berkencan di depan orang sakit, begitu? Ada-ada saja. Dan ... ya sudahlah, Sela tidak ingin memusingkan itu sekarang, yang terpenting ia harus mempertahankan harga dirinya untuk tidak jatuh di hadapan wanita itu.
"Hem." Bagas memperhatikan dengan baik gaun-gaun mewah di depannya. Kemudian ia menunjuk satu buah gaun persik yang sempat dilirik oleh Sela. "Bagaimana dengan gaun itu? Kupikir itu akan cocok denganmu."
Lagi!
Sela merinding dengan pujian singkat itu. Sejak kapan Bagas bisa membuatnya merasa segugup ini sekarang. Ia bahkan tidak berani melihat ke wajah pria itu lagi setelah mendapati pujian tersebut.
Setelah menunjuknya, Bagas mengalihkan pandangannya. "Bagaimana, Sel? Dari ekspresi wajahmu, sepertinya pilihanku tidak sesuai seleramu ya. Tapi, terserahlah, aku tidak ingin ambil pusing. Tentukan pilihanmu sendiri." Bagas mendapati wajah Sela yang menghadap ke arah lain, membelakanginya, ia pikir itu karena Sela mengejek pilihannya.
"Begitu. Ya sudah, aku pakai gaun itu saja." Sela berkata cepat, ia segera mengambil gaun itu dan buru-buru pergi ke ruang ganti. Diikuti beberapa pelayan salon.
"Kalau kakak sendiri bagaimana? Apakah ada jas yang perlu kami perhatikan? Kami ada beberapa merk terkenal—"
"Tidak perlu. Penampilanku sudah lebih dari cukup." Bagas menolak, ia tidak perlu berganti busana lagi. Apalagi ia kurang menyukai setelan berjas seperti itu. Jika kantornya tidak mewajibkan karyawannya memakai jas, mungkin Bagas akan membakar semua jas yang ia punya.
"Maaf, sebelumnya, Kak, tapi di sini tertulis jika pesanan untuk sepasang kekasih. Kakak pasangan dari Mbak-mbak tadi, kan?" Pegawai itu memastikan kembali pesanan yang ia dapatkan.
Mendapati pertanyaan seperti itu, membuat Bagas bingung sendiri menjawabnya. Ia harus jawab apa?
Iya atau tidak?
Atau lebih baik jika dia mengaku sebagai ....
Tidak-tidak! Jangan bertingkah konyol Bagas. Mengaku-mengaku ada hubungan dengan orang yang sudah lama tidak ditemui adalah hal yang salah. Bagas tidak mau jika itu terjadi di hidupnya.
Kemudian rekan kerja pegawai itu langsung menyikutnya, ia berbisik mengomeli rekannya itu.
Bagas tidak mau ambil pusing, dia bisa terlepas dari pertanyaan maut itu saja sudah sangat bersyukur. Tidak perlu memusingkan hal yang tidak perlu, Bagas. Cukup bersikap santai dan biarkan semuanya berjalan tanpa melibatkan dirimu lebih jauh lagi.
Tabir ruang ganti tersingkap, di baliknya keluar sosok yang begitu menawan mengenakan gaun mewah Persik yang menyilaukan mata semua orang di ruangan itu. Dengan motif angsa emas di sekujur gaun tersebut. Warnanya begitu terang dan berkilauan.
***
Hallo, Emon Disini
Selamat menikmati, dan harap menunggu kembali. Karena Emon lagi sibuk-sibuknya 😭😭😭
![](https://img.wattpad.com/cover/343733082-288-k414064.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melajang
عاطفيةBagi Bagas, menikah bukanlah keharusan! Baik kebutuhan lahir dan batinnya sudah ia bisa penuhi dengan bermodalkan gaji standar pekerjaannya. Ia rajin menabung dan bersih-bersih. Namun, setelah kedatangannya pada Acara Alumni, semuanya berubah kacau...