Niko yang menjadikan game sebagai pengalih ke-overprotectivean keempat sahabatnya. Membuat alasan alasan masuk akal agar dirinya bisa bermain game seharian tanpa dilarang.
Niko si maniak game. Juga keempat sahabatnya yang ternyata sama gilanya pada...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*
"Gw pulang!"
Niko segera bergegas berlari kearah pintu apart untuk menyambut kehadiran Nilam, maksudnya menyambut pesanannya.
Nilam masuk, ia tersenyum melihat Niko yang menatinya. Nilam mengacak gemes rambut Niko, dibalas anak itu dengan menengadahkan kedua tangannya kehadapan Nilam. Niko berniat meminta pesanan miliknya.
"Apa, hm?"
"Ice cream dan mochi gw," pinta Niko.
Nilam terkekeh geli. Benar juga, anak ini pasti ingin menagih pesanannya, bukan menanti kehadiran dirinya. Nilam menyodorkan sekantong plastik berisikan pesanan Niko, Niko menerimanya dengan mata yang berbinar binar.
"Wooagh, makasi abang!"
"Di dalam ada susu pisangnya Marvel juga. Kasiin ke Marvel sekalian, ya."
Niko mengangguk. Ia lalu segera berlari kedalam hendak menyantap cemilannya siang ini. Kebetuan sekali diluar sedang panas banget, jadi cocok jika dirinya memakan ice cream saat cuaca panas begini.
"Oh, iya. Itu ice creamnya jangan dimakan sekarang, entaran aja. Di luar cuaca lagi terik banget, entar tenggorokan lo sakit. Simpan dulu ice creamnya di kulkas sana."
Perkataan Nilam itu membuat Niko yang tadinya semangat membawa belanjaan pesanannya jadi terdiam lesu kenatap kearahnya.
"Ko gitu?" ujar Niko sedih.
"Ga nerima bantahan apapun, letak ice cream itu ke dalam kulkas. Makan mochi aja, gw juga udah beliin lo susu coklat tuh, ice creamnya di makan entaran aja."
Niko menghela nafasnya kesal.
Huh, padahal dirinya sangat ingin ice cream.
***
"Marvel katanya bakal ada tanding basket minggu besok. Mau liat?"
Mata Niko berbinar senang. Ia lantas mengangguk setuju dengan tawaran itu. Tidak masalah, tidak masalah jika ia tidak ikut bermain, yang penting ia bisa kembali melihat pertandingan basket yang sangat ia sukai itu.
Sekedar info saja, Niko itu dulunya merupakan mantan pemain basket disekolahnya. Tapi semenjak naik kelas 11, Niko berhenti. Terkadang Niko kangen bermain basket seperti dulu karena sekarang Niko tidak lagi bisa melakukannya dengan leluasa. Lebih tepatnya, keempat sahabatnya melarang Niko untuk melakukannya.
"Baiklah, minggu depan kita akan melihat pertandingan Marvel bersama. Oh, katanya mantan kapten basket lo dulu juga ikut main. Dia menjadi salah satu lawan tim sekolah kita besok."
Niko terdiam. Ia tidak mengerti kenapa Marvin tiba tiba membahas itu. "Lalu?"
"Gw ga aneh. Gw beneran cuma pengen ngasih tau lo doang kalau kapten lo itu juga ikutan main besok."
Niko kembali membalas perkataan Marvin. "Terus apa? Reaksi seperti apa yang lo pengenin dari gw setelah bilang itu? I dont even care. You know me that well, Vin."
"Gw ga ngarepin reaksi apapun dari lo."
Niko menghela nafasnya. Benar, tudak ada gunanya ia berdebat tentang ini. "Hah, serah lu aja deh."
Marvin disini. Kemana Marvel?
Jika kalian bertanya seperti itu, makanya jawabannya Marvel sedang latihan tanding sekarang. Tadi, saat lagi enak enaknya menikmati susu pisang yang ia minta titip kepada Nilam, tiba tiba coach basket sekolah meneleponnya, mengatakan kalau sekarang ada jadwal latihan. Karena sebentar lagi akan ada peryandingan persahabatan antar sekolah, Marvel akhirnya dengan ogah ogahan pergi untuk latihan. Kalau bukan seminggu lagi ada tanding basket antar sekolah, Marvel ogah pergi latihan, mending ia bolos terus turu dirumah.
Nilam dikamarnya, mengerjakan tugas.
Lalu Saga, bahkan keberadaannya sampe saat ini masih belum diketahui. Entahlah, entah kemana si kulkas itu perginya, Niko tidak tau.
"Taruhan yok."
Niko menatap Marvin bingung, tiba tiba saja dia nyeletuk ngajak taruhan. Mana mukanya santai banget ngajaknya.
"Apa?" Niko menanggapi saja.
"Bet 10 juta, tim Marvel menang skor diatas seratus."
"Parah lo, kembaran sendiri dijadiin taruhan."
Marvin sekali lagi menggedikkan bahunya acuh. Manusia satu ini memang sangat cuek sekali, bagaimana ia bisa dapat pacar kalau modelan sikapnya aja kayak gini. Yah, tapi Marvin ganteng si, ketos lagi, siapa sih cewe yang ga bakal tergila gila sampe rebutan gara gara dia. Minusnya memang cuma di sikap yang mirip dajjal aja sih.
"Lagian gw ga tau kegunaan Marvel apa lagi selain ditaruhin."
Niko menggeleng heran melihat kelakuan Marvin. "Parah bener."