"Yok pulang."
Saga masih diam ditempatnya, entah tengah memikirkan apa.
"Kenapa?"
"Jangan kasih tau yang lain ya, Vel."
Marvel menghela nafasnya. Sampai kapan Saga akan terus menyembunyikan hal ini dari teman temannya. Marvel hanya takut keadaan Saga akan semakin memburuk. "Setidaknya kasih tau Nilam, ya?"
"Sama aja boong."
"Lo ga nyusahin mereka Saga."
Saga menghela nafasnya lesu, "yaudah."
"Yok pulang."
***
"Bos, tuan Marvel tidak sedang bersama tuan Marvin. Dia lagi bersama salah satu temannya, tuan muda Saga, putra tunggal bapak Dharma, perusahaan yang sebulan lalu bekerja sama dengan anda bos."
Pria berumur itu mengangguk paham.
Tapi jangan salah, walupun umurnya sudah diawal empat puluhan, wajah dari om om ini masih terlihat menarik. Masih ganteng layaknya sugar daddy. Mungkin itu penybabnya ia bisa menghasilkan dua anak tampan seperti Marvel dan Marvin.
"Kembalilah bekerja bob."
"Baik bos, saya permisi."
Salah satu pekerjanya itu keluar dari ruangan. Kini tinggal om om itu seorang. Ia memutar kursinya untuk menghadap ke jendela, disana dapat dilihat pemandangan padatnya penduduk kota. Om itu lantas menghela nafasnya.
"Sudah dua tahun ya mereka pergi. Dasar, apa anak anak sekarang tidak memiliki rasa rindu kepada papanya. Bahkan untuk menelepon saja mereka tidak pernah. Padahal papanya ini sudah kangen berat loh."
"Mungkin sudah saatnya menjemput mereka."
***
Disisi kedua kembar. Marvin menyenggol tangan kembarannya yang tadi entah kenapa bisa pulang bareng Saga.
"Lo habis dari mana? Kok bisa pulang bareng Saga? Kok lama banget, padahal pergi belanja doang?"
"Satu satu cok."
Marvin memutar bola matanya. "Kok bisa bareng Saga?"
"Untuk pertanyaan itu tanya sendiri sama orangnya noh. Lebih bagus dapet jawaban dari orangnya langsung, kan?"
"Ah, ga guna."
"Jangan mukul mukul gw mulu lo!" Marvel meringis, mengusap pelan bagian yang barusan kena sasaran pukuln Marvin. Untuk masalah pukul memukul, Marvin ga pernah bercanda.
"Lagian gw nanya lo gapernah jawab serius."
"Shhhh, gw jawab serius jing. Sana tanya sendiri sama Saganya. Nimbrung sama Nilam sana Niko noh. Lo nanya gw ngapain anjir." Marvel sedikit manjauh, takut takut Marvin akan memukulnya lagi. Sudah dibilang kalau pukulan Marvin itu ga pernah bercanda. Bunyinya aja keras, gimana sakitnya coba.
Marvin hanya diam.
"Sana tanya Saganya. Malah diem lu."
Marvin bangkit dari duduknya, "males."
Marvel melihat kepergian Marvel. Ingin rasanya ia menggigit kembarannya dengan gengsi setinggi gunung itu. Gengsi doang ditebelin, padahal aslinya Marvin itu juga khawatir sama Saga. Biarkan saja si gengsian itu, biar kenyang dia makan gengsi seumur hidup.
"Jadi bokap lo?"
"Iya, soalnya gw nolak dia dan bawa bawa mama. Gw ngerasa bersalah juga sih udah ngambing hitamkan mama, padahal mama ga salah apa apa. Makanya gw ga marah kalau dia nampar gw. Sorry ya bikin kalian khawatir." Saga tersenyum kecut. Ia pelan pelan menengok kearah Niko, hendak melihat reaksinya.
Belum sempat Saga mendongak, sebuah pelukan didapatnya. Saga belum sepenuhnya sadar kalau Niko memeluknya. "Syukurlah kalau lo ga apa," lirih Niko.
Tidak bisa dipungkiri kalau Niko sangat mengkhawatirkannya. Tapi dibalik semua kekesalannya mengenai Saga yang tidak berterus terang, Niko bersyukur setidaknya Saga pulang dengan keadaan baik. Memar dipipinya juga sudah berangsur pudar.
Nilam tersenyum lembut. Seseorang dengan hati yang paling hangat yang pernah ia temui, Nilam bersyukur saat itu ia bertemu dengan Niko.
"Oh iya, Vel. Tadi bokap lo nelpon ke gw, nanyain lo sama Marvin."
Marvel menatap Nilam bingung. "Hah, ngapain?"
"Ga tau. Tadi dia tiba tiba nelpon gw, nanyain lo sama Marvin. Waktu gw kasih teleponnya ke Marvin anak itu nolak, jadinya gw deh yang telponan sama bokap lo itu."
"Aneh banget si tua itu. Ngomongin apa aja kalian?"
"Dia nanya kabar kalian berdua doang si. Lo ga mau telepon balik bokap lu, Vel?"
Marvel merebahkan kepalanya pada sandaran sofa. Marvel tampak acuh setelahnya. "Ga ah. Ngapain? Mending turu."
"Katanya dia mau datang besok."
"Hah?!"
"Iya, dia mau jengukin kalian katanya. Dia kangen sama kalian."
"Ck, si tua itu bener bener ya. Terus lo kasih alamat kita?" tanya Marvel was was. Berharap saja Nilam tidak memberikan alamat apartemen mereka ke si tua itu. Males banget harus ketemuan sama orang lama, udah dua tahun ga ketemu.
"Ga sih."
Marvel menghela nafas lega.
"Tapi bokap lo tau dimana alamat kita, padahal ga gw kasih tau. Lo yang kasiin alamatnya ke bokap lu, ya?"
Wajah Marvel kembali berubah.
"Ya ga mungkin lah! Ah, sial. Gw kasih tau Marvin bentar."
"Ck, udah tua padahal masih aja nyusahin."
KAMU SEDANG MEMBACA
GAMERS BABYBOY || NIKO
Fiksi RemajaNiko yang menjadikan game sebagai pengalih ke-overprotectivean keempat sahabatnya. Membuat alasan alasan masuk akal agar dirinya bisa bermain game seharian tanpa dilarang. Niko si maniak game. Juga keempat sahabatnya yang ternyata sama gilanya pada...