Arsen menghela nafas panjang saat sampai di depan pintu rumahnya, sebetulnya ia sangat benci tempat ini, ini bukanlah rumah, ini neraka.
Ia mulai membuka kenop pintu rumahnya dan melihat isi rumah yang kosong. Arsen menghela nafas lega karena ia tidak perlu repot-repot menghadapi papanya untuk saat ini, karena energinya sudah habis saat di pantai tadi.
Namun sepertinya Arsen salah, papanya sudah menunggu di sofa ruang tamu sembari menatapnya dengan tatapan tajam.
Arsen yang melihat itu mengendus kesal dan mulai melanjutkan langkahnya.
"Habis darimana jam segini baru pulang?" Tanya Haris sembari bangkit dari duduknya.
Arsen yang mendengar itu menghentikan langkahnya dan hanya diam di tempat tanpa menjawab pertanyaan Haris tadi.
Haris yang melihat itu berjalan ke arah Arsen dan berdiri tepat di hadapannya, ia menyodorkan kertas kertas hasil ulangannya yang sudah ia sembunyikan di kamar namun tetap ketahuan oleh papanya.
"Ini nilai atau sampah?"
"Mau jadi apa kamu?!" Sentak Haris tepat di wajah Arsen "Coba kamu lihat Jaya, dia—"
"Dia pintar, dia berprestasi, dia bisa banggain papa" lanjut Arsen memotong perkataan Haris yang akan mengatakan hal yang sama "Iya Arsen tau pah, Arsen bosen dengernya" ucap Arsen sembari menatap ke arah papanya.
Haris yang mendengar itu mengendus kesal "Besok besok kamu ngga usah sekolah, anak kayak kamu itu ngga ada masa depannya!" Bentak Haris tiba tiba.
Seakan tak memikirkan perasaan Arsen sekarang Haris seenaknya berbicara seperti itu. Sementara Arsen yang mendengar itu mengepalkan tangannya mencoba untuk tidak meluapkan emosinya sekarang.
"Papa ngga berhak ngomong kayak gitu, iya Arsen memang bodoh, Arsen tau! Tapi Arsen juga punya masa depan, Arsen bakalan buktiin ke papa kalau Arsen bisa jadi apa yang Arsen mau!" Teriak Arsen lalu pergi meninggalkan Haris yang terdiam di sana, Arsen membanting pintu kamarnya dengan kencang hingga Nina—ibu tirinya keluar dari kamar dengan wajah khawatir.
Haris yang melihat itu kembali duduk di sofa menghela nafas kasar, ia meremat kertas ujian milik Arsen.
Nina yang melihat suaminya itu bergegas menghampirinya dan mulai menggenggam tangannya lembut "Ngga seharusnya papa bilang kayak gitu ke Arsen.." ucapnya halus.
"Papa keterlaluan ya Bu?" Tanyanya sembari menatap wajah istrinya "Papa cuman mau Arsen serius dalam belajar, papa ngga mau nasib Arsen sama kayak papa" lanjutnya dengan suara serak.
Nina yang mendengar itu menggeleng "Aku tau perasaan kamu, tapi kamu ngga bisa maksa Arsen buat jadi apa yang kamu mau, Arsen juga punya pilihan, Arsen juga punya kebebasan" ucapnya.
Haris yang mendengar itu mulai merenungkan perkataan Nina sembari menenangkan diri di sana.
ʕっ•ᴥ•ʔっ
Sementara Arsen yang sudah berada di kamarnya hanya bisa menaruh kepalanya di tumpukan tangan yang berada di meja belajarnya, wajahnya terlihat lelah di sertai dengan bekas luka yang mulai mengering.
Hingga tak lama seseorang membuka pintu kamarnya, Arsen tidak perlu menebak nebak siapa yang membuka pintu itu, sudah pasti Jayandra.
Jayandra yang mengetahui kejadian tadi bergegas menghampiri Arsen dan menepuk pundaknya namun Arsen tidak menggubris tepukan itu.
"Arsen maaf.." ucapnya sembari memegang pundak Arsen "lagi lagi papa banding bandingin lo sama gue, maaf sen" lanjutnya dengan nada bersalah.
"Gue bilang ini bukan salah Lo, jayandra"
Arsen mengangkat kepalanya dan membenarkan posisi duduknya "Ini salah gue, gue ngga bisa jadi apa yang papa mau" lihirnya lalu menatap ke arah Jayandra, setelah itu ia tersenyum getir.
"Kadang gue iri sama Lo Jay.." ucapnya lalu berdiri dan berjalan untuk duduk di kasurnya agar Jayandra bisa duduk di sebelahnya "Lo pinter, Lo ketua OSIS, Lo hebat di semua bidang di sekolah, lo punya banyak temen, lo di sayang papa, dan—"
"Arsen udah, jangan di lanjutin" potong Jayandra yang semakin merasa bersalah "Gue tau perasaan lo—"
"Ngga, Lo ngga tau Jaya" Arsen memotong kembali perkataan Jayandra "Lo udah beruntung dari lahir, lo beruntung tentang segala hal, Lo ngga tau perasaan gue" lanjutnya lalu merebahkan diri di kasurnya.
Jayandra yang mendengar itu hanya bisa diam, karena ia tidak mau mengganggu Arsen yang kini perasaannya sedang tidak baik.
"Jayandra"
"Kalau gue mati, papa seneng ngga ya?"
Jayandra yang mendengar itu menengok ke arah Arsen tidak percaya dengan apa yang ia katakan tadi "Anjing, jangan ngomong kayak gitu" tegas Jayandra dengan suara yang sedikit tinggi.
Arsen yang mendengar respon Jayandra hanya tertawa sembari menutup matanya dengan pergelangan tangan kanannya "Gue bercanda" ucapnya lalu kembali ke posisi duduk dan menatap ke arah Jayandra "Gue cuman penasaran, tapi respon lo serius banget" lanjutnya dan tertawa di akhir kalimat.
"Candaan lo ngga lucu, Sen" ucap Jayandra kesal "Ngga usah ngomong aneh aneh, udah malem juga" lanjutnya.
Jayandra berdiri lalu menatap ke arah Arsen yang masih melihat ke arahnya "Gue balik ke kamar, takut papa nyariin" ucapnya dan bergegas untuk keluar dari kamar Arsen.
Arsen yang melihat itu menghela nafas berat, apa ia salah bicara? Tapi entah kenapa kata kata itu tiba tiba saja keluar dari mulutnya.
TO BE COUNTED
![](https://img.wattpad.com/cover/343655727-288-k182717.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM
Fiksi Remaja"Hidup itu tentang putih atau hitam, baik atau buruk, berusaha atau menyerah, dan tiada di antara keduanya"