Ini baru awal, masih pagi tapi Arsen sudah terlibat pertengkaran dengan Gian lagi, dan ini sudah kesekian kalinya ia tidak bisa menahan emosi jika melihat Gian, apa lagi saat Gian membawa bawa nama ibunya di masalah mereka.
BRUK.
"Mampus lo, sialan" gumam Gian saat berhasil menjatuhkan Arsen ke lantai.
Arsen yang jatuh hanya meringis merasakan kakinya yang sakit, bahkan luka kemarin belum sembuh permanen apa ia akan lumpuh setelah ini?
"Gian ada pak budi!" Teriak salah satu temannya, yang membuat Gian dan teman teman lainnya berlari untuk pergi dari sana meninggalkan Arsen yang masih meringis karena kakinya.
Sementara Arsen yang masih di sana mencoba untuk menggerakkan kakinya walaupun terasa sangat sakit karena mungkin lukanya juga besar.
"Arsen!"
Jayandra yang mendengar bahwa Arsen terlibat perkelahian lagi bergegas pergi ke belakang sekolah, namun sepertinya ia terlambat, Arsen sudah meringis kesakitan dan Gian pun sudah pergi dari sana.
"Kenapa Lo ngga bilang gu—"
"Ngga usah nanya nanya dulu, kaki gue sakit Jaya" sentak Arsen yang merasa bahwa Jayandra sangat berisik jika mengomel.
Jayandra yang melihat itu mencoba untuk membangunkan Arsen dan membantunya untuk berjalan ke UKS agar di beri pertolongan pertama. Ia membantu Arsen duduk di kasur UKS dan ia mengambil kotak p3k yang tak jauh dari sana dan mencoba untuk mengobati luka di kaki Arsen.
"Jelasin ke gue kejadian tadi" ucap Jayandra meminta penjelasan untuk kejadian kali ini.
"Bukan gue yang mulai, Gian ngeled—"
"Ngeledek Tante Indira? Itu lagi kan?" Jayandra menghela nafas lelah, ia benar benar bosan melihat Arsen yang bertengkar dengan masalah yang sama. Ia berdecak kesal kemudian berbicara "Sekali aja lo tahan emosi lo bisa, sen?" Tanya Jayandra "gue ngga mau lo dapet luka baru setiap harinya, cuman gara gara belain tante indira"
Arsen yang mendengar itu menatap Jayandra bingung bagaimana bisa ia berkata seperti itu jika ibunya di hina begitu saja dengan kata kata yang tidak sopan? Arsen kali ini tidak terima dengan perkataan Jayandra.
"Lo gila? Kalau ibu Nina yang di gituin lo bakalan terima ngga Jay?" Tanya Arsen sembari menepis tangan Jayandra dari kakinya.
Jayandra yang merasa bahwa perkataannya kali ini salah mencoba untuk menjelaskan dan meminta maaf "Sen, ngga git—"
"Lo gampang nyuruh gue nahan emosi, tapi lo ngga pernah tau rasanya jadi gue Jay" ucap Arsen memotong perkataan Jayandra "Hidup lo udah sempurna dari lahir, sementara gue? Anjing" Arsen tertawa remeh di akhir kalimatnya "Ngga ada yang bisa gue percaya selain ibu"
Setelah mengatakan itu Arsen keluar dari ruang UKS dan memaksa untuk berjalan ke kelasnya walaupun kakinya yang sedang pincang.
Jayandra yang melihat itu mengendus kesal lalu mengacak rambutnya frustasi, lagi lagi ia merasa bersalah.
ʕっ•ᴥ•ʔっ
Hingga bel pulang sekolah berbunyi Arsen bergegas untuk keluar dari area sekolah, bahkan ia tidak peduli dengan Jayandra yang berusaha meminta maaf atas kejadian di UKS tadi siang.
Namun seperti biasa Arsen tidak langsung pulang ke rumahnya, ia ingat bahwa ia memiliki janji di dengan seseorang di pantai kemarin sore. Tanpa berfikir panjang Arsen bergegas pergi ke pantai dan menghampiri gadis yang sudah ada di pinggir ombak yang tidak terlalu jauh dari sana.
Arsen tidak menyapa ataupun tersenyum, ia duduk di sebelah Amerta yang berada di kursi rodanya.
"Arsen? Kamu kenapa?" Tanya Amerta.
Arsen yang merasa di tanyai pun menengok dan melihat Amerta yang kebingungan dengan sikapnya sekarang, Arsen hanya menggeleng sebagai jawaban "Gue ngga apa apa" jawabnya dengan wajah datar.
"Aku tau kamu bohong" ucap Amerta, Amerta menyentuh bahu Arsen dan mencoba berbicara "boleh bantu aku buat lebih dekat sama ombak?" Tanya Amerta.
Arsen yang mendengar itu mengangguk kemudian membantu Amerta untuk turun dan mendudukkannya di dekat ombak, bahkan kaki putihnya yang kini terkena ombak membuatnya basah.
"Sini duduk" ucap Amerta sembari menepuk pasir di sebelahnya.
Arsen saat itu hanya menuruti perintah Amerta, ia menatap bingung ke arah gadis itu, sementara Amerta hanya menatap ke arah langit sembari tersenyum lembut.
"Lihat ombak!" Amerta menunjuk ombak yang mulai datang ke arah mereka "Anggap ombak yang pergi sebagai masalah kamu yang sekarang, pergi jauh ke tengah lautan" ucapnya dengan lembut lalu menatap ke arah Arsen yang terus menatapnya "Kalau butuh tempat cerita, aku selalu siap dengerin cerita kamu"
Arsen yang melihat itu mengangguk lalu tersenyum tipis.
Mereka berdua sama sama menatap langit yang cerah siang ini, hingga tak lama Arsen melihat ke tengah laut dan teringat sesuatu "Mau main air?" Tanya Arsen pada Amerta.
Amerta yang mendengar itu menatap Arsen bingung, bukan kah ia tidak bisa berjalan? Mengapa Arsen bisa mengajaknya bermain air.
Arsen yang paham saat melihat wajah Amerta tertawa perlahan kemudian mengangkat tubuh Amerta dan menggendongnya ala bridal style dan membawanya ke tengah yang tidak terlalu jauh dari sana.
Walaupun kakinya sedikit sakit karena terkena air tapi ia masih bisa menahannya karena ia hanya ingin melepas masalahnya saat ini.
"Arsen jangan jauh jauh!" Ucap Amerta yang takut karena merasa mereka sudah cukup jauh.
Arsen yang mendengar itu hanya tertawa kemudian menyengaja untuk berpura pura menurunkan Amerta di tengah tengah hingga ia akhirnya mendapat pukulan di bahunya, bukannya merasa sakit Arsen malah merasa geli karena ia tidak merasakan apapun dari pukulan tadi.
Hingga akhirnya Arsen menurunkan Amerta tidak jauh dari sana kemudian ia duduk di sebelah Amerta.
Amerta terdiam sejenak saat merasa tubuhnya mulai terkena air, karena ini merupakan kali pertamanya bermain air, karena sebelumnya ia tidak pernah di perbolehkan bermain air oleh bundanya.
"Kenapa diem?" Tanya Arsen yang merasa bingung.
"Terakhir aku main air laut, waktu papa masih ada" Ucap Amerta yang masih tidak percaya.
Arsen yang mendengar itu tersenyum "Sekarang gue yang gantiin papa lo, Amerta" jawab Arsen.
Hari itu mereka lewati dengan bermain air di sana, benar benar membantu Arsen untuk melupakan masalahnya untuk sementara, karena ia merasa bebas jika berada di pantai, apa lagi dengan hadirnya seorang Amerta yang seakan akan mewarnai hari hari hitam putih Arsen yang kini mulai berwarna karena hadirnya seorang Amerta.
Sementara itu tak jauh dari sana Jayandra yang memang sudah mengikuti Arsen sedari tadi hanya menatap mereka dengan tatapan hangat, ini pertama kalinya Jayandra melihat Arsen tertawa lepas, ia benar benar merasa gagal menjadi seorang saudara.
"Bahagianya Arsen bukan di rumah" gumam Jayandra sembari menatap mereka dengan tatapan lembut, ia tersenyum melihat pemandangan itu kemudian kembali ke parkiran karena merasa bahwa Arsen baik baik saja jika di sana.
TO BE COUNTED
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM
Fiksi Remaja"Hidup itu tentang putih atau hitam, baik atau buruk, berusaha atau menyerah, dan tiada di antara keduanya"