3

6.8K 289 0
                                    

Cerita ini hasil pikiran dan buatan saya!

Kalau ada kesamaan tokoh, alur, latar, dll itu murni ketidaksengajaan.

Follow Instagram Tara juga yaa @Bumantara18

Happy Reading!!

🐒

Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Arkan dari rumahnya, Sheina masih duduk termenung menatap kosong televisi yang menyala di ruang tamu. Setelah puas melamun, Sheina memutuskan untuk pergi ke kamar yang biasa ditempati olehnya dan Nasyta tanpa mematikan televisinya.

Sampai di kamar, gadis itu membuka lemari dan mengambil satu pakaian milik Nasyta. Dia menghirup aroma khas sang Bunda untuk mengobati rasa rindunya.

"Belum ada seminggu Bunda pergi, tapi aku udah kangen banget sama Bunda," lirih Sheina.

Gadis kecil itu menghirup nafas panjang berusaha mengendalikan dirinya agar tidak menangis lagi. "Bunda yang tenang ya di sana. Aku akan jaga diri baik-baik di sini, aku juga akan tepati janji kalau aku gak akan sedih lagi."

Sheina menatap lamat foto Nasyta yang tersenyum sambil menggandengnya. "Bantu aku buat gak benci sama Ayah ya, Bun."

"SHEINA KELUAR KAMU!"

Sheina terkejut mendengar teriakan seseorang yang suaranya tidak asing. Gadis itu meletakkan kembali pakaian Nasyta ke lemari lalu melangkah keluar dengan tergesa.

"T-tante." Sheina terkejut melihat kedatangan Kian, kakak dari Nasyta.

Tubuh Sheina mulai gemetar ketakutan. Ia masih ingat jelas bagaimana perlakuan Kian pada ibunya setiap kali datang ke rumah. Perempuan itu datang hanya untuk mengambil paksa uang milik Nasyta, memaki Bundanya apabila tidak diberi uang, bahkan tak segan sampai melukai fisiknya.

Sheina menelan salivanya kasar melihat sorot mata Kian yang dipenuhi oleh emosi. Tubuh Sheina tersungkur ke lantai akibat Kian mendorongnya dengan kuat secara tiba-tiba.

Bunda tolong Sheina, batinnya ketakutan.

"DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!" Seru Kian dengan nafas memburu.

Sheina menunduk dalam, airnya mata meluruh, gadis kecil itu tak mampu lagi membendung air matanya. Gadis itu memekik keras saat tiba-tiba Kian menendang dan menginjak tubuhnya secara bertubi-tubi.

"Kenapa gak kamu aja sih yang mati?! Saya lebih rela kamu yang mati dibandingkan adek saya!"

"Argh! S-sakit, Tante! M-maaf, Tante. T-tolong berhenti, sakit..." Shina merintih, berusaha memohon meraih kaki Kian.

Seakan tuli dengan rintihan dan tangisan Sheina, kini giliran tangan Kian menjambak rambut Sheina agar gadis itu mendongak menatap wajahnya. "Saya heran, apa yang membuat perempuan bodoh itu mempertahankan kamu?"

"Jika saya jadi dia, saya lebih baik menggugurkan kamu daripada hidup menderita seperti ini," Ujarnya dengan sinis.

Sheina diam tak mampu menjawab, air matanya mengalir kian deras. Ia menggigit bibir bawahnya menahan sakit di seluruh tubuhnya akibat ulah Kian.

"Sejak kamu muncul dalam kandungan ibu kamu semuanya jadi berantakan! Kamu emang benar-benar pembawa sial! Harusnya Nasyta menggugurkan kamu agar nasibnya enggak sesial ini." Kian mendesis tajam sembari memperkuat cengkramannya di rambut Sheina.

Sheina meringis, tangisnya semakin keras. "M-maaf, Tante. A-aku minta maaf."

Kian melepas jambakannya dengan kasar, beralih mencengkram dagu Sheina. "Kamu harus tanggung jawab! Karena kamu, saya kehilangan sumber uang. Saya gak mau tau, kamu harus menggantikan posisi Bunda kamu itu."

"H-hiks... H-hiks... A-aku gak punya uang, Tante. Gimana caranya aku harus tanggung jawab?" Tanya gadis itu lirih.

Kian menyeringai. "Jangan khawatir! Saya tau apa yang harus kamu lakuin untuk saya."

"Ayo ikut saya!" Kian memaksa tubuh Sheina agar berdiri lalu menariknya keluar.

Belum sempat mencapai pintu, langkah Kian terhenti melihat Firsya yang berdiri sambil menenteng rantang berisi makanan tak jauh darinya.

"Sedang apa anda disini?" Tanya Firsya datar.

Pandangan Firsya beralih ke Sheina. Wanita itu terkejut melihat kondisi Sheina jauh dari kata baik. Tatapan Firsya menyorot tajam. "Berani-beraninya anda melukai Sheina!"

Kian menatap Firsya sinis. "Minggir!kamu gak perlu ikut campur urusan saya."

"Ayo kita pergi!" Sheina sedikit terhuyung karena sulit mengimbangi langkah Kian yang terlalu cepat.

"Mau anda bawa kemana Sheina?" Lagi-lagi Firsya menghadang langkah Kian.

"Sekarang saya adalah wali dari anak ini, kalau kamu terus ikut campur saya gak segan buat laporin kamu ke pihak berwajib," Desis Kian.

Firsya tersenyum remeh mendengarnya, wanita mengangkat tinggi dagunya lalu membalas, "Silahkan! Maka saya akan melaporkan anda balik atas kasus kekerasan pada anak di bawah umur."

Cengkraman tangan Kian di lengan Sheina makin kuat. Gadis kecil itu hanya mampu menggigit bibirnya menahan agar suara ringisan tak keluar dari mulutnya. Mata Sheina menatap Firsya seakan memohon untuk segera menolongnya.

"Lepaskan Sheina dan pergi sekarang atau saya akan benar-benar melaporkan anda ke pihak berwajib!" Ancam Firsya tak main -main.

Kian melepaskannya secara kasar, lalu membalas, "Saya tidak akan melepaskan anak ini begitu saja!"

Setelah mengatakan itu, Kian pergi dari kediaman Nasyta. Kaki Sheina melemas, tubuhnya meluruh begitu saja, tangisnya pecah kembali. Firysa langsung membungkuk lalu memeluk Sheina agar gadis itu tenang.

"T-takut, Tante. H-hiks a-ku takut dia datang lagi. D-dia jahat, a-aku salah apa, Tante? K-kenapa d-dia benci sama aku dan Bunda?" Sheina menangis sesegukan dalam pelukan Firsya.

Firsya mengusap punggung Sheina. "Sttt tenang ya sayang, Tante gak bakal biarin kamu ketemu sama dia lagi. Kamu jangan takut ya?"

Sheina mendongak menatap wajah Firsya. "M-makasih ya, Tante. Kalau tadi Tante gak datang, aku gak tau apa yang akan dia lakuin ke aku."

"Tinggal sama Tante mau ya? Tante beneran gak tenang biarin kamu tinggal sendirian kayak gini," Ujar Firsya menatap Sheina penuh harap.

Sheina menggigit bibir bawahnya, dia tidak ingin merepotkan Firsya, namun dia juga takut nanti Kian tiba-tiba datang lalu menyeretnya entah kemana.

Sheina mengangguk pelan. "Iya, aku mau Tante. Tapi, aku gak bisa tapi aku gak bisa tinggal lama, gak papa Tante?"

"Gak masalah, kamu bisa pergi saat kamu ingin. Tapi, untuk saat ini tinggal sama Tante lebih baik." Firsya tersenyum seraya mengusap puncak kepala Sheina.

"Makasih Tante, makasih banyak." Sheina langsung memeluk Firsya lagi.

Di balik pelukan Firsya, mata Sheina tak sengaja menatap siaran televisi yang kini tengah menyorot Ayahnya. Air mata Sheina turun tanpa sadar, sorot matanya menunjukkan kebencian terhadap pria yang kini tengah tertawa tanpa beban.

Mulai sekarang aku gak akan cari Ayah lagi, Bunda. Aku masih terima kalau Ayah gak datang sampai sekarang karena mungkin gak mengharapkan aku, tapi aku gak terima Ayah gak datang ke pemakaman Bunda dan malah tertawa kayak gitu di depan media, batin Sheina lalu tangannya terulur untuk mengusap air matanya dengan kasar.

Tbc.

SheinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang