11

5.6K 245 13
                                    

Cerita ini hasil pikiran dan buatan saya!

Kalau ada kesamaan tokoh, alur, latar, dll itu murni ketidaksengajaan.

Follow Instagram Tara juga yaa @Bumantara18

Happy Reading!!

🐒

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rasa kantuk Gasta belum kunjung datang hingga saat ini. Remaja itu memilih duduk sambil memainkan ponselnya di balkon kamar sembari menikmati hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Di tengah kegiatannya, penglihatannya tak sengaja menangkap Calvin yang hendak keluar dari rumah.

"Mau kemana tuh manusia aneh?" Gumamnya lalu menyimpan handphonenya.

Matanya terus saja mengawasi gerak-gerik Calvin hingga pria itu menjauh dari rumah dengan mobil miliknya.

"Ikutinlah, daripada bosen gak bisa tidur gini," pungkasnya lalu masuk ke kamar mengambil jaket dan kunci motornya.

Gasta segera berlari menuju garasi dan menyalakan motornya takut kehilangan jejak Calvin. Remaja itu mengendarai motornya dengan kecepatan penuh karena sudah tertinggal terlalu jauh. Dalam hatinya terus bertanya-tanya kemana kira-kira tujuan Kakak pertamanya ini.

Sekitar lima belas menit membuntuti Calvin, Gasta menyadari bahwa jalan di sekitarnya tak asing. Namun, Gasta harus menghentikan motornya karena terjebak lampu merah.

Remaja itu menatap mobil Calvin yang terus menjauh dari pandangannya. "Anjing! Pake lampu merah segala," umpatnya.

Sembari menunggu, Gasta mengeluarkan ponselnya berusaha menghubungi Aarav. Sayangnya, Kakaknya yang satu ini tak bisa dihubungi. Dia menggeram kesal lalu kembali menyimpan handphonenya.

"Ck! Gak bisa dihubungi lagi. Sialan! Jangan-jangan dia mau ke rumah Sheina," Gumamnya lalu tancap gas dengan kecepatan penuh begitu lampu sudah hijau.

🐒

Calvin menarik pisau lipat miliknya dari perut remaja perempuan yang tak pernah ia anggap sebagai adiknya. Bibirnya menyeringai melihat raut wajah Sheina yang menahan sakit.

Sheina menggigit kuat bibir bawahnya, setetes air matanya kembali turun. Sembari terus memegang lukanya berharap agar pendarahannya tidak terlalu banyak, gadis itu menatap sendu pria di depannya. "Kenapa tega lakuin ini Kak?"

"Gue bukan Kakak lo, berhenti panggil gue kayak gitu!" Desis Calvin memandang Sheina rendah.

"Hah, harusnya gue bunuh lo aja sejak dulu. Dengan begitu, Bunda masih ada di sini, hidup sama gue dan saudara gue yang lain," Lanjutnya sembari mengusap pelan wajah Sheina.

Sheina menatap pria itu tak percaya. Hatinya berdenyut nyeri mendengar kalimat yang diucapkan. "Salah gue apa sampai lo ngomong gitu?"

"Lo ada di dunia ini aja udah salah. Kehadiran lo menghancurkan kebahagiaan setiap orang, salah satunya adalah gue," Jelas Calvin menatap tajam Sheina.

Kini sakit yang dirasakan Sheina bertambah. Selain sakit yang teramat akibat lukanya, hatinya juga merasa sakit akibat penuturan Calvin. Gadis itu berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kesadarannya.

Nafas Sheina mulai tersenggal, dengan bibir bergetar dia bertanya satu pertanyaan yang sejak dulu belum pernah terjawab, "Apa Ayah juga benci gue?"

Calvin tertawa keras mendengar pertanyaan tersebut. "Ayah? Asal lo tau, dia bukan Ayah lo."

Bagai tersambar petir di siang bolong, kini Sheina mengetahui satu fakta mengejutkan lagi. Untuk kedua kalinya ia menertawai kebodohan dirinya. Jadi, apa yang gue harapkan selama ini?

Sheina tak kuat menahannya lagi, tubuhnya limbung ke lantai. Gadis itu lelah, hari ini terlalu banyak fakta mengejutkan yang tak bisa ia terima begitu saja.

Sheina menangis dalam diamnya, kenapa selama ini Bunda bohong sama aku?

"KAK CALVIN!"

Di ambang pintu Gasta berdiri menatap marah Calvin. Dia terkejut bukan main saat sampai dan melihat Sheina yang bersimbah darah dengan Calvin di sampingnya. Gasta mendekat, menarik Calvin lalu tanpa segan ia melayangkan pukulannya ke wajah Kakaknya.

"Apa yang Kakak lakuin hah?! Tindakan Kakak ini udah termasuk percobaan pembunuhan!" Teriak Gasta.

Calvin terkekeh pelan, dengan santai ia mengusap darah di bibirnya. "Gue udah bilang ke kalian, gue bakal bunuh dia kalau kalian berani ajak dia ke rumah. Lo tau? Ucapan gue gak pernah main-main."

"Daripada buang waktu, lebih baik lo tolong dia. Berdoa aja semoga dia bisa selamat," Lanjutnya menepuk bahu Gasta beberapa kali lalu melenggang pergi.

"Jangan pergi Kak! Bantu aku bawa Sheina ke rumah sakit!" Teriak Gasta tak dipedulikan Calvin.

Gasta mengacak rambutnya kasar. "Argh, bangsat!"

Pandangan Sheina mulai memburam, di ambang kesadarannya yang mulai menipis ia bisa mendengar seluruh perdebatan keduanya. Samar-samar ia bisa melihat Gasta mendekat ke arahnya.

Gasta menekan luka di perut Sheina dengan satu tangannya untuk menghentikan pendarahannya, sementara dengan tangan yang lain Gasta berusaha menghubungi Aarav. "Tahan sebentar ya, Dek. Jangan tutup mata kamu dulu."

Sheina merintih kesakitan, gadis itu meremas kuat tangan Gasta. "B-bunda, m-mau sama Bunda."

Gasta menggeleng kuat. "No, gak boleh sama Bunda. Sama Abang aja di sini."

Tangan Gasta bergetar hebat, hatinya dilanda panik yang luar biasa karena Aarav tak bisa dihubungi. Remaja itu akhirnya menelepon ambulans untuk segera datang.

"Sebentar lagi ambulans datang, tahan sebentar ya, tolong jangan pergi ke Bunda. Temani Abang di sini, oke?" Gasta berusaha mengendalikan dirinya untuk berpikir jernih. Remaja itu berusaha membuat kesadaran Sheina tetap terjaga.

"M-mau Bunda, gue gak pantes ada di sini," Lirih Sheina. Ia tak bisa menjaga kesadarannya lagi, perlahan matanya terpejam dan kegelapan langsung menelannya.

🐒

Aarav berjalan menelusuri lorong rumah sakit menuju ruangannya sesekali memijat lehernya yang terasa pegal. Tak ada satupun keluarganya yang tau jika saat ini dia ada di rumah sakit karena ia pergi tanpa sempat menghubungi siapapun. Ia mendapat panggilan darurat dari rumah sakit untuk menangani korban kecelakaan beruntun sesaat setelah ia keluar dari kamar Calvin.
Karena terburu-buru, ia langsung pergi tanpa berpamitan dengan keluarganya.

Sampai di ruangannya, Aarav langsung mengecek handphonenya yang memang sengaja ia tinggal. Dahinya mengernyit melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dari Gasta. Jemarinya bergerak menelepon Gasta, namun tak kunjung diangkat oleh anak itu. Hatinya mendadak gelisah, takut terjadi sesuatu pada adiknya.

"Ck! Kenapa lagi nih anak?" Gumamnya sembari mengambil kunci mobilnya dan keluar ruangan berniat pulang ke rumah untuk menemui Gasta.

Selama perjalanan menuju parkiran, Aarav tak berhenti berusaha menghubungi Gasta. Langkah pria itu terhenti di lobby rumah sakit karena mendengar suara sirene ambulans yang mendekat dan berhenti di depan rumah sakit ini. Awalnya ia berniat melanjutkan langkahnya menuju parkiran, namun niatnya ia urungkan setelah melihat Gasta yang keluar dari mobil ambulans tersebut.

Jantungnya seketika berdegup kencang melihat gadis yang terbaring tak berdaya di atas brankar yang di dorong oleh Gasta dan beberapa petugas medis. "Sheina?"

Tbc.

Sorry yaa kemarin gak langsung double up✌
Niatnya kemarin, malemnya mau langsung up. Tapi emang dasar matanya aja gak bisa diajak kerja sama, nempel bantal dikit langsung deh molor hehehe😁😁

SheinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang