“Soobin, apa masih lama? Kita udah di sini berjam-jam.”
“Sebentar lagi, Ji. Lagian bukannya tadi kamu sendiri yang pengen ikut?” Aku melirik Yeji sekilas sebelum kembali menekuni buku sketsaku.
“Iya, soalnya aku suka nemenin kamu ngelukis, tapi ini udah mulai mendung, kita pulang aja.” Setelah memasukkan sisa makanan ke dalam keranjang piknik yang ia bawa, Yeji beranjak mendekatiku yang tengah duduk bersandar pada sebatang pohon.
Aku menutup buku dengan cepat sebelum Yeji sempat mengintip. “Oke, ayo kita pulang.”
“Soob!” Yeji menatapku, lengkap dengan pout andalannya. “Aku mau lihat apa yang kamu gambar.”
“Jangan, aku nggak mau nanti kamu marah.”
“Kenapa aku harus marah?”
“Soalnya aku … gambar pengunjung taman yang narik perhatianku,” jawabku sambil menunduk.
“Hah? Pengunjung yang mana, coba aku lihat!” Yeji mengambil buku sketsa di tanganku kemudian mencari karya yang baru saja kuselesaikan.
Menahan senyum, aku menunggu reaksinya saat menemukan gambar dirinya yang sedang duduk bersila di rumput dengan wajah menengadah, memandang daun-daun yang berguguran. Sedikit tersipu, Yeji mengembalikan buku sketsa itu padaku. “Nyebelin,” ucapnya pelan.
“Apa kubilang, kamu pasti marah. Nggak usah cemburu gitu, Ji, kalian sama-sama cantik,” aku menggodanya.
“Uh, Choi Soobin bodoh!” Yeji berdiri dan memalingkan muka.
Melihat telinga Yeji yang memerah, aku tak bisa menahan tawa. “Ji.”
Yang dipanggil pura-pura tidak mendengar.
“Ji,” aku kembali memanggilnya. “Yeji baby, cintaku, sayangku ....”
Kali ini Yeji menoleh. “Apa sih, geli tau.”
“Bantuin dong, kelamaan duduk bikin kakiku kebas.” Aku mengulurkan tangan.
“Kamu ini.” Meski menggerutu, Yeji tetap meraih tanganku, berniat membantuku untuk bangun. Gadis itu memekik ketika aku tiba-tiba menariknya dengan cukup kuat sehingga ia terjatuh.
Yeji menopang tubuhnya dengan kedua lutut serta satu tangan. “Soobin! Kamu ngapa—mmph ....”
Tanpa menunggu Yeji selesai bicara, aku membawanya mendekat, mengeliminasi jarak hingga bibir kami bertemu. Bibir Yeji selalu terasa lembut dan manis, satu kecupan saja tidak akan membuatku puas.
Sadar jika sedang berada di ruang publik, dengan berat hati aku pun menyudahi ciuman kami. Tersenyum lebar, aku berkata, “Dari dulu aku pengen ngelakuin itu, kayak di manga yang pernah aku baca.”
“Raksasa konyol.” Yeji memukul lenganku, masih dengan semburat merah muda di kedua pipinya. “Kadang aku kangen kamu yang dulu, yang ngerasa gugup dan salah tingkah tiap berhadapan sama aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOOT!
Fiksi PenggemarDrabbles, oneshots, scenarios, anything featuring Hwang Yeji with +×+'s Choi Line. [bxg, but it will probably contain a little bit of bxb and gxg as well, Bahasa Indonesia]