HBA • 01

505 95 13
                                    

HAPPY READING

○●○

  AGATHA mengerjapkan matanya beberapa kali guna menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke indera penglihatannya.

Ia bangkit terduduk. Saat kesadarannya benar benar terkumpul, matanya membulat sempurna. Tubuhnya lemas seketika, saat ia melihat tak ada sehelai pakaian pun yang menutupi tubuhnya.

Agatha meringis pelan merasakan area kewanitaan nya yang sakit. Ia mengusap kasar air matanya yang belum sempat menetes. Sekarang bukan saat nya untuk menangis.

Detik berikutnya, dengan cepat ia mengambil pakaian nya yang berserakan dilantai, lalu memakainya.

Setelah selesai memakai pakaian nya kembali. Agatha berjalan perlahan menuju kearah pintu.

"Tolong selamatkan aku kali ini, tuhan." lirihnya, sembari membuka pintu itu secara perlahan.

Deg!

Jantungnya seakan ingin berhenti saat ini juga. Seorang pria dengan tubuh paling kurus dari pria pria yang lain, menatap tajam kearah agatha.

Dengan sigap pria itu mencengkram kuat pergelangan tangan agatha. Hingga membuat gadis itu meringis pelan.

"Tolong, lepasin aku ... "

"Main dulu sama saya!" pria itu menarik kasar pergelangan tangan Agatha.

Bugh!

Agatha menendang kemaluan pria itu kuat. Hingga membuat pria dengan kumis tebal itu melepaskan cengkraman nya.

Tanpa aba aba, Agatha langsung berlari sekuat tenaga menjauhi gudang tua itu. Hingga beberapa meter.

Agatha menghentikan langkahnya, dengan kedua tangan yang berada dilututnya. Ia menarik nafas dalam dalam lalu menghembuskan nya perlahan.

Agatha berjalan menghampiri pos ronda yang berada tak jauh darinya. Ia mendudukan dirinya dengan kepala yang bersandar pada tiang pos ronda itu.

Ia menatap kagum bintang yang masih setia berada didekat bulan. Ia juga menatap kagum langit yang tampak begitu cantik hari ini.

Dunia yang indah menurutnya,

Tapi tidak dengan dunianya.

Matanya terpejam, kali ini ia membebaskan air matanya untuk keluar tanpa berniat untuk melarangnya.

Air suci itu lolos begitu saja dari mata indah milik Agatha. Tepatnya, mata indah yang terluka. Dadanya terasa begitu sesak, hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas.

Agatha memeluk tubuhnya. Hawa dingin pagi ini berhasil menusuk kulit hingga menembus jantungnya. Tubuhnya menggigil kuat. Wajahnya dibenamkan diantara kedua lututnya. Agatha kembali terisak.

"Cucumu hancur, nek." suaranya bergetar hebat. Tangisnya semakin pecah.

Tes

Tes

Gerimis kecil kembali mengguyur kota bandar lampung pagi ini, ia yakin hujan nya akan awet hingga siang nanti.

Agatha mengangkat kepalanya. Wajahnya basah dipenuhi air mata yang terus mengalir hingga kini.

"Terimakasih hujan, telah menemani setiap isak tangis yang aku lantunkan." lirihnya. Dengan satu tangan yang menampung tetesan air hujan dari atap pos ronda.

"Mulai saat ini kita berteman, hujan." Agatha mengukir senyum yang sedikit dipaksa diwajahnya. Rasanya untuk tersenyum saja sangat berat untuk ia lalukan.

Allahu akbar.. allahu akbar..

Suara adzan subuh terdengar jelas ditelinga Agatha. Agatha mengucapkan alhamdulilah dalam hati.

Alhamdulilah karena ia masih diberikan kesempatan untuk terus mendengarkan suara adzan.

Agatha menatap kosong kejalanan, sembari menunggu adzan selesai. Setelah selesai, ia beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju ketengah jalanan.

Matanya terpejam merasakan tetes demi tetes air hujan yang kini menjadi temannya. Kedua tangannya ia rentangkan, lalu berputar secara perlahan.

Selang beberapa menit, Agatha menghentikan aksinya. Lalu meraup kasar air hujan yang membasahi diwajahnya. "AGA CAPEK! AGA MAU PULANG!" jeritnya sembari menatap langit hitam diatasnya.

"Istirahat bisa kan? Kenapa harus pulang?" Agatha membalikan badannya. terlihat seorang pria yang hanya mengenakan kaos putih polos dengan celana jeans hitam dan satu payung ditangan kirinya berjalan menghampiri agatha.

"Mati nggak seenak yang lo kira," pria itu kembali membuka suara.

Agatha hanya diam. Ia malas untuk memperdebatkan masalah sepele seperti ini.
Pria itu menyodorkan payung yang ia bawa kehadapan Agatha. "Pake!"

Agatha menerima payungnya. Lalu tersenyum, kemudian berjalan kembali menuju pos ronda. Diikuti pria itu dibelakangnya.

Setelah sampai pos ronda, Agatha meletakan payung itu ke tanah. Lalu mulai mengusap usap telapak tangannya yang terasa begitu dingin.

Pria itu menatap Agatha, lalu mulai mengulurkan telapak tangannya kehadapan Agatha. "Elgara, Kalo lo?" Agatha menerima uluran pria dengan nama Elgara itu. "Agatha, biasa dipanggil aga."

Elgara tersenyum simpul. "Nama yang bagus."

"Emang ada nama yang jelek?" tanya Agatha mencoba untuk tetap acuh.

"Ada. Setiap nama, bakalan jelek kalo pemilik nama itu malah hujan hujanan nggak jelas kaya bocah."

Agatha mengangkat bahunya acuh. Tak ingin terlalu ambil pusing dengan perkataan yang keluar dari mulut pria itu.

"Lo ngapain disini? hujan hujanan lagi. Lo nggak takut sakit?"

"Aku mau kemana kalo nggak disini, apa aku harus tidur dikolong jembatan?"

"Jadi lo nggak punya rumah?"

Agatha memutar bola matanya malas. "Diusir,"

"Sorry,"

"Nggak papa."

"Lo mau ikut gue? Dirumah ada bunda, lo bisa tinggal dirumah dan bantu gue untuk jaga bunda." Agatha berfikir sejenak. Lalu mengangguk mengiyakan saran yang pria itu katakan.

Elgara mengajak Agatha ke kediaman nya yang tak jauh dari pos ronda itu. Agatha berjalan santai bersama Elgara, sembari menceritakan semua musibah yang terjadi padanya akhir akhir ini. Agatha terisak selama perjalanan, Elgara hanya diam tak tahu harus berbuat apa. Karena menurutnya gadis ini sudah terlalu sakit, sebuah motivasi kecil mungkin tidak akan membuat gadis itu kehilangan rasa sakitnya.

♡♡♡

HUJAN BULAN AGUSTUS (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang