1. Tentang

82 10 0
                                    

Jessika menaruh secangkir susu jahe di meja depan sofa. Tangannya dengan cekatan mengetik pada ponsel pintar digenggamnya.

"Huft"

Gadis itu menghela nafas pelan, setelah merasa sesuatu menyesakkan pernapasannya.

Papi (sumber duit)

|udah papi transfer
|papi lebihin juga
|jangan sampai nenek atau mami kamu tau

siap papi!|

I Love you!|

——

Jessika menaruh ponselnya dan mulai meminum susu jahe buatannya.

Hanya Ayahnya yang masih peduli padanya, terkadang Ayahnya menelepon dirinya jika malam hari tiba atau Ayahnya sedang tidak dirumah. Ini semua karena kebencian keluarga terhadap dirinya yang dituduh membunuh adiknya sendiri.

Adik laki-lakinya yang saat itu berusia tujuh tahun sangat nakal dan nekat, sedangkan Jessika sendiri berumur 10 tahun. Adiknya melompat dari balkon kamar Jessika dan terjatuh mengenaskan. Semua orang menyalahkan Jessika, padahal gadis itu berada di kamar mandinya saat itu. Jessika sama sekali tidak membenci Adiknya, ia membenci neneknya yang terus mengompori kedua orang tuanya dengan mengatakan Jessika iri pada adiknya hingga melakukan hal itu. Ibu Jessika mempercayai bualan neneknya dan berakhir meninggalkan gadis itu disini, sedangkan mereka menetap di negara lain.

"Ngapain sih lo pake lompat segala?"gumam Jessika melihat foto adiknya yang ia jadikan wallpaper ponsel.

"Gue kesepian, Ar. Kita punya adik lagi, tapi gue gak bisa ketemu dia. Mami takut gue nanti ngebunuh anaknya lagi."

Jessika menghapus jejak air matanya. "Gue harus kuat! Gue tahu lo selalu disamping gue. I love you my little brother."

"Kak, maafin Arkan. Arkan cuma penasaran rasanya terbang, makanya Arkan lompat. Ternyata bener kata Kak Jessika. Manusia gak bisa terbang."

----★----

"Sean!"

"Stop woi!"

Sean tidak mendengarkan, ia terus memukul samsak di depannya dengan brutal. Pikirannya berkecamuk tentang apa yang ia dengar kemarin.

"Kamu itu udah numpang hidup, gak usah belagu."

"Gak tau diri banget."

"Kamu itu bukan anaknya Jennie."

"Vendra dan Jennie cuma punya dua anak."

"Kamu itu di pungut."

"Seharusnya tau diri dong."

"Cari keluarga kamu sana!"

"Beban doang belagu."

"Kamu beban, anak pungut yang gak tau diri."

"SEANDRA!"

"WOII!"

"ANJENG STOP WOII."

"SEAN TANGAN LO JINGAN!"

Teman-teman Sean dari tadi menarik laki-laki itu agar menjauh dari samsak yang ia pukul dengan brutal tanpa menggunakan pelindung tangan. Tapi Sean sama sekali tidak berkutik dari tempatnya.

"Kamu gak percaya? tanya sendiri sama Daddy mu itu."

"Kamu anak yang gak diharapkan, pergi jauh-jauh!"

"Kenapa? sakit hati?"

"ARGHHHHHH"

Sean menjerit, ia tidak tahan dengan suara yang terputar bagai kaset rusak dalam kepalanya. Laki-laki itu menatap lemah kedua tangannya yang memerah.

"Za, ambilin es batu."titah Dean.

Reza datang dengan es batu seukuran kepalan tangan yang dibungkus plastik. Dean membungkusnya lagi dengan sapu tangan dan mengompres tangan Sean.

"Lo kenapa bos?"tanya Martha.

Sean tidak menanggapinya, ia menatap Dean yang sedang mengompres tangannya, menunduk dan menggeleng.

"Pulang woi, udah malem!"peringat Farel.

"Alah rel, rajin amat. Baru jam sebelas ini."

"Besok sekolah cok, liburan udah abis."

"Males banget."

"Pulang."titah Sean.

Semua menatap Sean dan mengangguk. Perintah Sean itu mutlak, mereka akan menurut tanpa ba-bi-bu lagi.

Dean hendak mengingatkan Sean untuk mengobati tangannya dengan salep karena laki-laki itu sudah hampir satu jam memukuli samsak dengan brutal tanpa pelindung tangan. Tapi Dean tidak melakukannya, karena Sean itu tidak bisa diperintah.

"Gak ada yang bisa nyuruh gue, gue ngelakuin apapun sesuai kehendak sendiri. Dan gak ada seorang pun yang bisa buat gue berhenti"

Itu yang pernah Sean katakan, dan semua orang yang mengenalnya mengetahui hal itu.

Saat semua sudah pergi Sean mengunci markas mereka dan naik keatas motornya. Laki-laki itu tidak langsung pulang, ia pergi ke lapangan dekat rumahnya. Ia berjalan di sekitar lapangan dan berhenti di depan sebuah pohon.

Sean menatap pohon itu, awalnya hanya menyentuh, kemudian memukulnya pelan tapi lama-kelamaan pukulannya menjadi brutal dan kasar. Sean tidak memakai pelindung apapun pada tangannya. Ia tidak tahu bagaimana cara melampiaskan perasaannya saat ini selain memukuli sesuatu.

Setelah puas, Sean meninggalkan lapangan dan kembali pulang.

Sean masuk ke dalam kamar mandinya, mengguyur dirinya dengan air shower yang dingin. Padahal tubuhnya masih menggunakan pakaian, ia menatap tangannya yang berdarah.

"Gue harus cari tahu sendiri."

JEANDRA (About Loneliness and Happiness) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang