BAB 2

344 21 1
                                    

Yey, akhirnya bab 2 selesai juga..
Makasih ya yang setia menunggu sama kasih voment.
Jangan lupa vomentnya juga ya..
Selamat membaca..
===
"Paham?" Tanya seorang pria bersetelan mewah, yang terlihat dari betapa bagus bahan pakaian tersebut.

"Iya," Gumam Livia berusaha dengan nadanya yang ramah. Rambutnya yang terikat tinggi-tinggi telah acak-acakan karena berkali-kali dia garuk kepalanya yang tidak gatal.

Suasana sore itu tidak terlalu dingin, mereka duduk berhadapan di sebuah meja kafe yang dekat dengan jendela besar. Livia mengamati mata pria itu berwarna coklat pudar kebiru-biruan seperti menggunakan soft lens.

"Apa?" Tanyanya tiba-tiba yang langasung Livia balas dengan gelengan singkat.

"Haus. Pesen teh dulu ya." Pamit Livia.

"Aku juga, kopi hitam." Tambah pria itu membuat Livia menatapnya agak kesal. Memangnya pelayan? Demi menjaga relasi yang baik Livia tersenyum sopan dan perlahan berjalan ke arah meja pemesanan.

"Pesan kopi hitam dan lemon tea hangat." Ucap Livia begitu ia sampai di depan meja pemesanan. Pegawainya tersenyum besar dan mengangguk senang.

"Em, kakak pergi sama pacarnya ya?" Tanya pegawai itu dengan malu-malu. Livia menatap pegawai di hadapannya, dengan memincingkan sebelah alisnya. Kemudian dia mendengus geli sambil menggelengkan kepalanya. "Oh, saya kira pacarnya, serasi." Komentar pegawai itu membuat Livia menarik ujung bibirnya dengan kecil.

"Percayalah, tidak seperti kelihatannya." Gumam Livia sambil mengamati pegawai itu mengambilkan nampan berisi dua cup gelas dan dua sedotan ukuran sedang. Kemudian Livia berjalan kearah mejanya kembali, dan setelah meletakkan nampannya, Livia kembali lagi berkutat pada buku tebal, setebal kamus, dan kertasnya setipis majalah. Astaga, apa dirinya harus menghafalkan semua isi buku ini?

"Huftt.." Keluh Livia sambil melepas pandangannya dari buku menuju langit musim semi yang mendung. Pikirannya teralihkan sepenuhnya kearah bunga sakura yang masih berwarna merah muda pucat di hadapannya. Seakan sepucat isi hati dan kepalanya.

"Sudah hafal sampai halaman 11?" Tanya pria itu membuat Livia sekali lagi menatapnya dengan kesal. "Kalau belum hafal, baca lagi.." printah pria itu dengan entengnya sementara Livia mulai bosan dengan kalimat-kalimat yang hanya menari di kepalanya, tetapi tidak ingin tinggal dan menetap di sana.

"Apa tuan tidak pernah jenuh?" Sindir Livia dengan senyum miringnya, sementara matanya kembali menatap langit mendung yang perlahan menitikkan air mata.

"Kamu tahu istilah kuncup bunga sakura yang mengigil?" Tanya pria itu membuat Livia meliriknya sekilas, kemudian matanya kembali lagi kearah kuncup bunga sakura yang mulai terbasahi hujan. Mengira kediaman Livia memberinya peluang untuk bercerita, pria itu melanjutkan kalimatnya. "Kuncup bunga sakura, mengigil karena dinginnya hujan yang pilu. Sekan keindahannya tidak cukup untuk membuat langit menerang. Berusaha mekar, di tengah dinginnya hujan." Terang pria itu kembali membuat Livia mengamati kuncup bunga sakura yang setengah membuka. Di dalam hatinya ia mulai mempertanyakan, apakah nasibnya akan seperti kuncup bunga sakura?

•°•

Livia Malera sedang menyesap pelan lemon tea nya saat tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Livia melirik layar ponselnya sekilas kemudian dia menekan kembali key board yang berada di hadapannya. Merasa sedikit mengantuk Livia menguap pelan kemudian merenggangkan tubuhnya. Tanpa sengaja matanya menatap lekat pintu coklat yang berada di hadapannya.

Saat ini, Livia berada di dapur rumahnya, mengerjakan tugas kantornya yang menumpuk melalui laptopnya, sedangkan pikirannya nyaris seutuhnya menggembara ke tempat yang jauh berbeda dari tempatnya saat ini. Kira-kira seperti apa penampilan laki-laki itu sekarang? Livia nyaris tersenyum miris, saat menyadari banyak hal yang tidak ia ketahui mengenai laki-laki itu. Bahkan suaranya pun terasa samar di benaknya, lebih kearah tidak nyata. Seakan itu semua hanya mimpi. Mimpinya yang lama.

Livia menghembuskan nafasnya dengan berat, berusaha memfokuskan kembali pikirannya kearah tugas barunya yang menumpuk. Lagi pula kenapa harus dia yang mengerjakan seluruh tugas ini? Sekali lagi layar ponselnya berkedip. Livia melirik ponselnya dengan kesal. Matanya segera melotot memberikan permusuhan saat nomor asing memberikan pesan padanya yang berbunyi "segera lihatkan tugasnya besok".

Livia segera menghapus pesan singkat itu, dan menatap leptopnya kembali dengan putus asa. Sementara matanya, perlahan memberat, dan kerap beberapa kali nyaris terpejam.

•°•

"Nakamura," panggil Livia dengan was-was. Nakamura melepaskan pandangannya dari layar komputer, kemudian menancapkannya ke wajah Livia. Livia mengamati pintu dengan hati-hati, setelah merasa aman, ia menatap Nakamura dan memfokuskan pandangannya di manik mata pria itu. "Kau tahu pria berstelan mahal tetapi bekerja di lantai 4?" Tanya Livia kemudian. Nakamura menatap Livia dengan tatapan menyelidik.

"Lantai 4? Supervisor?" Tanya Nakamura sedikit heran, sebab setelan mahal yang Livia maksud pasti yang mewah, dan untuk supervisor kedengarannya agak membingungkan.

"Iya, apa kau tahu?" Tanya Livia penuh harap. Jujur saja ia bingung hendak memanggil pria itu apa, sehingga ia butuh informasi. Walau pada kenyataannya ia terlalu malas untuk menanyai orangnya secara langsung.

"Aku tidak pernah melihat supervisor menggunakan setelan mahal." Gumam Nakamura sambil mengamati wajah Livia lekat-lekat, seakan berusaha membuka apa yang sedang Livia pikirkan saat ini. Merasa jengah dengan tatapan yang dilontarkan oleh Nakamura, Livia berdeham dan mulai duduk ke mejanya, dan mencari berkas-berkasnya. Dari ekor matanya Livia dapat melihat wajah Nakamura yang di tekuk, dan sekali lagi Livia pura-pura tidak mengetahuinya.

Saat Livia hedak membuka folder berkas-berkasnya, bangku yang didudukinya diputar 180 drajat dengan sekali hentakan cepat membuat Livia terkejut, dan nyaris menumpahkan seluruh isi foldernya.
Matanya yang terbelalak segera menajam saat mendapati seorang pria bersetelan mewah berdiri di depannya. Dalam hatinya Livia meruntuki pria itu atas tingkah lakunya yang tidak sopan, atau atas sikapnya yang semena-mena.

"Asal kau tahu, aku sudah menunggumu dari tadi," Desis pria itu membuat emosi Livia semakin membesar. Livia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sementara rongga dadanya sedang berusaha menampung udara besar-besaran, hal yang selalu Livia lakuakn untuk mengendalikan emosinya yang memuncak. Walau logikanya saat ini ingin sekali memaki orang di hadapannya. Memangnya pangkatnya dengan pangkat orang itu tinggi siapa? Kenapa pula bisa seenaknya?

"Maaf, aku tidak tahu kalau kau sudah menungguku. Aku hanya mencari berkas yang kubutuhkan." Ungkap Livia dengan nadanya yang diusahakan terdengar ramah dan santai.

"Lebih baik kau tidak mencari berkasmu, dan temani aku ke suatu tempat." Gumam pria itu membuat alis Livia berkerut tidak percaya. Apa katanya? Temani?

"Emm.. aku sedang dalam masa bekerja saat ini." Terang Livia yang diharapkannya dapat menyadarkan pria ini dan jika bisa menendangnya jauh-jauh.

"Oh ya? Bagaimana jika aku bilang ajakanku juga termasuk surat penugasan CEO kita?" Tanya pria itu membuat Livia menatapnya dengan kesal. Sekali lagi Livia menghirup udara dalam-dalam. Hanya dua hari, tenang saja setelah dua hari ini segala urusannya dengan laki-laki ini akan berakhir.

Membayangkan jangka waktu kerja-tidak jelasnya-hanya tersisa satu hari lagi, membuat senyum Livia merekah dengan lebar. "Baiklah, kemana kita akan pergi?" Tanya Livia kemudian, ia menyadari sorotan heran dari orang di hadapannya, tetapi Livia memilih pura-pura tidak menyadarinya, dan menikmatinya diam-diam. Mumpung tinggal satu hari lagi ini, sudah selayaknya jika sekarang, Livia menikamti ekapresi terkejut pria di hadapannya.

The Warm SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang