BAB 8

236 18 1
                                    

"Faaaa...." Teriak Livia begitu dia turun dari taksi. Rambutnya sangat kusut dan berantakan, sedangkan bajunya masih setengah basah. Rafael berdiri di depan pintu kantor menatap Livia dengan dingin, jauh berbeda dengan pancaran mata yang disorotkan oleh Hana atau orang-orang yang berada di sekitar perusahaan. Tampang mereka terlihat penasaran dan ingin tahu.

"Maafin aku Fa.." pinta Livia dengan bersedih. Ditatapnya bentuk wajah Rafael lekat-lekat, berharap menemukan secercah ekspresi yang memaafkan. Dengan santai, Rafael menuruni satu persatu tangga, membiarkan dirinya semakin dekat dengan Livia. Begitu mereka sudah dekat, Rafael mengulurkan tangan kanannya, dan menelungkupkan tangannya di pipi Livia.

"Aku sayang kamu Liv. Setiap malam, aku selalu berdoa, berharap, ada masa dimana aku kembali lagi bersamamu." Aku Rafael dengan getir. "Aku bahkan sangat merindukanmu, berharap, baik aku dan kamu, tidak akan bernasib seperti kelopak bunga sakura yang gugur dan tidak pernah kembali." Bisik Rafael sambil tersenyum pahit.

Livia menatap Rafael dengan nanar. Sekelebat bayangan masa lalunya bersama Rafael memenuhi kepalanya. Tawa yang selalu muncul diantara mereka, Rafael yang selalu berada di sampingnya, membela Livia, dan berjanji bahwa akan saling mencintai sampai tua nanti. Apa, apa Livia setega itu membiarkan akhir cinta mereka seperti ini?

Livia menggeleng perlahan, sambil meraih tangan Rafael dari pipinya, dan menggenggam tangan tersebut. "Engga Fa, kamu salah. Kisah kita akan berakhir seperti angsa. Aku dan Four hanya terbawa suasana. Itu saja, tidak lebih. Aku dan Four tidak ada hubungan apapun selain rekan kerja. Percayalah." Bisik Livia sambil menatap Rafael erat-erat.

"Baguslah." Suara dingin dan berat menusuk ulu hati Livia dari arah belakang. Livia kenal betul suara itu, suara berat yang sedikit serak tetapi terdengar indah. Suara Four. Livia memilih tetap menggenggam tangan Rafael, menatap pria di hadapannya tanpa memalingkan wajah sedikitpun ke arah Four. Dari kejauhan Livia mendengar bunyi pintu mobil yang dibanting dengan kasar, dan sekali lagi hatinya terasa begitu nyeri.

Kenapa, kenapa hatinya begitu sakit? Padahal tindakannya telah ia pikirkan matang-matang sebelumnya, tindakannya telah disepakati oleh hati dan logikanya. Lantas mengapa harus nyeri yang ia rasakan di hatinya? Perlahan air mata mulai membasahi matanya, tetapi buru-buru Livia menahan tangisnya dan menelan bulat-bulat rasa sakitnya.

"Fa, maafin aku ya?" Pinta Livia dengan suaranya yang gemetar. Senyum pahit dengan jelas terpampang di wajahnya. Livia tidak menyadari bahwa ekspresinya telah disalah artikan oleh Rafael.

"Udah, jangan nangis lagi. Ku maafin kok." Bisik Rafael sambil perlahan merengkuh tubuh Livia yabg rapuh, membuat tangis Livia segera pecah. Sebab kini ia baru menyadari bahwa dirinya telah mendustai dan menyakiti hati kecilnya sendiri.

•°•

Four melajukan mobilnya sambil menyetel musik keras-keras. Break even- The Script berlantun keras, menyarakan isi hati Four yang terasa nyeri.

She finally met a man that's gonna put her first

While I'm wide awake she's not trouble sleeping

Cause when a heart breaks in it don't break Even... even... noo

What am I supposed to do when the best part of me was always you?

And what am I supposed to say when I'm all choked up and you're ok?

I'm falling to pieces, yeah

I'm falling to pieces

Apakah benar ini keputusannya? Membiarkan Livia pergi begitu saja? Rafael menghembuskan nafasnya dengan berat. Ia bisa saja membaca Livia berbohong atau tidak, tetapi Four memilih tidak ingin membacanya. Sebab berbohong atau tidak baginya sama saja. Yang ia inginkan adalah Livia mencintainya, dan ingin di sisinya tanpa beban. Ia tidak ingin Livia mencintainya tetapi hati gadis itu telah di renggut oleh Rafael meski hanya sedikit saja.

Four tidak sanggup berhadapan dan menatap Livia dengan kenyataan bahwa Livia tidak lagi miliknya, Livia bukan miliknya. Four memikirkan kembali suatu ide berat yang baru saja terlintas di otaknya. Sudah beberapa menit Four menimbang resiko dan akibatnya jika ia mengambil tindakan ini. Akhirnya Four mencapai suatu keputusan dan menelepon asistennya. "Tolong siapkan pesawat untuk ke Amerika 3 hari lagi." Printah Four kemudian.

•°•

Livia pulang kerumah dulu untuk ganti baju, dan beristirahat, sebab nanti malam Rafael akan menjemputnya untuk makan bersama. Pikirannya menerawang jauh, sebagian besar malah berisi tentang Four. Perlahan Livia menguatkan tekadnya. Ya, memilih Rafael dan meninggalkan Four adalah keputusannya sejak awal. Ia harus tetap memilih Rafael meski hatinya akan terkoyak dan kebas pada akhirnya.

"Loh, Liv? Mau pergi sama Four lagi?" Tanya Monica sambil berjalan kearah meja makan. Matanya menatap Livia yang baru saja keluar dari kamar mandi dan telah menggunakan gaun merah yang indah.

"Engga ma." Jawab Livia sambil tersenyum kecil. Monica menautkan alisnya keheranan.

"Kalau bukan, kamu mau pergi sama siapa?" Tanya Monica bingung. Ditatapnya Livia lekat-lekat, seakan ingin melihat semua yang disembunyikan gadis itu.

"Sama Rafael Ma. Four, bukan siapa-siapa Livia." Bisik Livia sambil menatap Monica dengan matanya yang berkaca-kaca. Sebab setiap kali Livia mengucapkan bahwa Four bukan siapa-siapanya, sekali lagi hatinya terasa begitu berat dan sakit.

Monica menatap Livia dengan bingung, bibirnya terbuka seakan hendak berkata sesuatu, tetapi buru-buru Monica menutup bibirnya kembali. Monica menghelakan nafasnya dengan pelan, kemudian mengulum senyum prihatin. "Sini sayang, duduk dulu. Ada yang mau mama pastikan ke kamu." Ucap Monica sambil menunjuk bangku di hadapannya. Dengan enggan Livia duduk di bangku yang ditunjuk Monica.

"Kamu serius sama omonganmu sendiri?" Tanya Monica sambil perlahan menopangkan dagu diatas punggung tangannya. Livia menganggukan kepalanya dengan perlahan. "Hati kecilmu? Apa dia mendukung juga?" Tanya Monica kembali membuat Livia menatap Monica dengan bingung. Perlahan air mata berjatuhan dari kelopak matanya, tanpa bisa Livia tahan kembali.

"Ma, apa aku salah jika memilih Rafael dan meninggalakan Four?" Tanya Livia dengan suaranya yang bergetar. Perlahan Monica mengangkat dagunya, dan meremas tangan Livia yang dingin.

"Livia, ikuti hati kecilmu." Gumam Monica. "Mama tidak menyuruhmu untuk segera mengikutinya, hanya dengarkan baik-baik, sebab hati kecilmu akan segera terdengar saat kamu mengingkarinya." Jelas Monica sambil menatap putrinya sedih.

"Kamu bisa bilang tidak saat ini Livia. Tetapi tidak untuk selamanya. Semakin kamu menipu hati kecilmu, semakin kamu akan menyiksanya di kemudian hari. Mama tidak ingin kamu merasakan apa yang Mama rasakan saat kehilangan kamu." Terang Monica sambil perlahan bangkit berdiri, dan menelungkupkan kedua telapang tanganya di pipi Livia. Kemudian perlahan Monica mengecup puncak kepala Livia.

"Dengarkan Mama baik-baik ya." Pesan Monica kemudian. Livia mengangguk kecil sambil mengelap sisa-sisa air matanya, bersamaan terdengarnya bel rumah mereka.

"Mama rasa, Rafael sudah datang." Gumam Monica kemudian sambil berjalan kearah ruang tamu, sementara Livia masih mematung di tempat duduknya, berusaha mencerna segala kalimat yang baru saja ia terima.

"Livia," panggil Monica lembut sambil perlahan menepuk kedua bahu Livia. "Ayo keluar." Ajak Monica sambil menarik lengan Livia dengan pelan, menuju ruang tamu. Begitu sudah tiba di ruang tamu, Monica melepaskan genggaman tanganya, membiarkan Livia berjalan mendekati Rafael.

"Ayo Fa." Ajak Livia kemudian saat Rafael sedang duduk di sofa, dan tengah mengamati Livia masuk ke ruang tamu.

"Ayo." Sahut Rafael. Perlahan Rafael berdiri, pamit kepada Monica kemudian berjalan keluar, yang diikuti oleh Livia dari belakang dengan langkah lemas.

The Warm SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang