BAB 7

268 20 1
                                    

Livia masih menatap langit-langit kamarnya dengan menerawang. Debaran keras di balik rongga dadanya tidak dapat Livia lepas dan lenyapakan meski berkali-kali dia beranjak dari tempat tidur, berjalan mondar-mandir di kamarnya, atau apapun yang telah di lakukannya, tetap saja Livia tidak dapat tidur maupun menghentikan senyum kecilnya yang muncul akibat lagu yang dinyanyikan oleh Four.

Menyadari dirinya telah terbuai oleh keberadaan Four, membuat Livia tidak dapat memejamkan matanya. Sama sekali! Apalagi kenyataan bahwa dirinya sekarang menggunakan sweater panjang milik Four. Meski sweater hitam itu kebesaran, dan panjangnya selutut, tapi Livia tidak dapat berhenti membiarkan imajinasinya berkelana dengan sendirinya. Misalkan dirinya mulai berandai, seperti apa sweater ini jika melekat di tubuh Four? Seperti apa hangat tubuh Four? Membayangkannya membuat Livia segera menggelengkan kepalanya dan mulai mengenyahkan bayangannya mengenai Four.

"Oh, tolonglah, hilang dari fikiranku.." Bisik Livia pelan sambil terduduk di atas ranjangnya. Matanya memindai keluar balkon kamarnya yang saat ini menampakkan langit gelap bertabur bintang yang membingkai deburan ombak.

Livia menghembuskan nafasnya dengan pelan, kemudian ia melangkahkan kakinya kearah balkon. Angin pantai berhembus sedang, mengosongkan pikirannya sesaat. Ya, angin selalu dengan sukses menenangkan pikirannya. Livia memindai seluruh keindahan alam di sekitarnya sampai matanya tertumbuk dengan sepasang mata Four, yang kini tengah menatap Livia dengan senyum di matanya, bukan di bibirnya, sebab salah satu tangan Four tengah menutupi bibirnya. Dan mata mereka saling terpaku satu sama lain, tanpa kedipan, bahkan sampai beberapa menit lamanya.

Four mengakhiri kontak mata mereka berdua terlebih dahulu, membuat Livia menghembuskan nafasnya dengan lega, sebab selama dirinya menatap mata Four dengan lama, ia merasakan sensasi aneh di dalam dirinya. Seakan hati, dan fikirannya dengan kompak berseru bahwa Fourlah orangnya, Fourlah yang tepat untuk dirinya. Dan hal itulah yang membuat Livia segera duduk bersimpuh di lantai balkon, dengan air mata mulai menggenang di balik bulu matanya yang lentik.

•°•

Tok.tok.tok... Livia mengerang sambil mengeratkan selimutnya yang tebal. Ia belum ingin bertemu dengan Four saat ini. Selain karena hatinya yang selalu merasa bersalah pada Rafael setiap matanya tidak dapat berpaling dari Four, juga kenyataan bahwa matanya yang sembab akibat kurang tidur dan menangis semalaman membuat penampilannya jauh dari kata baik untuk bertemu dengan Four.

"Livia, buka pintunya?" Suara Four yang serak membuat Livia mengerang di tempat tidurnya.

"Livia buka pintunya, atau aku paksa masuk." Bisik Four pelan, membuat Livia segera terduduk di ranjangnya, kemudian berlari ke kamar mandi untuk melihat seberapa jelek bentuk wajahnya. Livia nyaris memekik ngeri saat melihat matanya yang sembab dan berlingkaran hitam, tidak lupa rambutnya yang kusut dan kacau balau.

Cekrekk. Bunyi pintu terbuka membuat Livia segera mati kutu. Refleks Livia menutup pintu kamar mandinya, dan membasuh wajahnya cepat-cepat.

"Liv," panggil Four dari kejauhan, ada suara cemas dari caranya memanggil, membuat Livia merasa tidak enak hati. Livia menautkan alisnya saat tidak mendengar suara apapun setelahnya. Buru-buru Livia meraih handuk dan mengeringkan wajahnya dengan handuk putih yang sengaja Four siapakan untuk tamunya yang menginap.

Dengan handuk di wajahnya yang digunakan sebagai pelindung, Livia berjalan keluar kamar mandi. Matanya memindai setiap sudut ruangan dengan teliti, sampai ia mendapati Four tengah duduk di atas tempat tidur Livia, dengan posisi membelakangi pintu kamar mandi.

Livia memilih untuk tetap berdiri di tempatnya-berdiri di depan pintu kamar mandi- karena Livia bingung harus bagaimana. Sampai Four menyerongkan tubuhnya, dan menatap Livia dengan alis berkerut samar.

The Warm SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang