PROLOG

46 6 0
                                    

Sebelum membaca, ada rules untuk cerita ini, mohon dipahami ya.

1. Cerita ini murni hasil pemikiran sendiri, jangan samakan cerita ini dengan cerita yang lain.

2. Plagiat dalam bentuk apa pun tidak diperbolehkan. Tolong kesadaran dan kerja samanya.

3. Cerita ini murni fiksi dari pemikiran sendiri.

4. Bila ada kesamaan dalam cerita ini dengan cerita lain, itu murni ketidaksengajaan.

5. Jika tidak suka dengan cerita ini, silakan pergi dan cari cerita yang disuka tanpa meninggalkan jejak di cerita ini (komen negative)

6. Jangan bawa-bawa cerita dan karakter lain ke lapak ini, hargai penulis ya.

7. Menerima kritik dan saran. Tolong, beri kritik dan saran yang membangun, bukan menjatuhkan.

8. Vote dan komen cerita ini jika kalian menghargai penulis. Voment juga bentuk apresiasi dan semangat untuk penulis😊

~ Tears In January ~

Harum makanan yang tersaji di meja makan begitu menggugah selera. Berbagai aneka ragam lauk pauk di meja itu tersedia. Siapa saja yang melihat dan mencium makanan itu akan mendecakkan lidah, tidak akan sabar mencicipi berbagai hidangan itu. Termasuk aku. Senyumku mengembang sempurna, rasanya sungguh tidak sabar mencicipi semuanya, apalagi sambal merah yang terlihat begitu menggoda. Lidahku bahkan seakan sudah dapat merasai nikmatnya hidangan mala mini.

Pandanganku terarah pada sepasang paruh baya yang tak lain orang tuaku. Keduanya sudah duduk dan menunggu diriku untuk ikut bergabung. Tanpa kata aku segera menarik salah satu kursi yang masih kosong, duduk dengan tenang dan menunggu intruksi untuk menyantap berbagai makanan ini.

Aku tak tahu entah ini sebuah budaya, adat, ritual, atau hanya kebiasaan semata, tetapi tiap kali akan makan bersama, Sang Kepala Keluarga yang akan membuka sesi makan ini. Ayahku akan memberi titah pada kami dan kami selalu harus menunggu kata pembuka itu.

"Ayo makan."

Ya, dua kata itu adalah kalimat pembuka dalam sesi makan malam hari ini. Aku menunggu ibuku yang menyendokkan makanan untuk ayahku lalu dilanjut dengan beliau. Kemudian, baru aku yang segera menyendok makanan untuk diriku sendiri.

Aku menyendok nasi dengan porsi yang sedikit lebih dari biasanya. Namun, hal itu lebih dulu dihentikan oleh suara ibuku. Beliau menegurku.

"Kurangin lagi nasinya. Makan kayak porsi biasa kamu makan. Kamu bisa kekenyangan kalo makan pakai porsi kayak begitu, kamu nggak akan bisa fokus nanti."

Teguran dari ibuku itu membuatku menelan ludah kecewa. Dengan senyum kecut yang kulempar padanya, aku menggerakkan tangan untuk mengembalikan kelebihan nasi yang sudah telanjur ada di piringku. Aku tidak ingin berdebat dengan ibuku, jadi aku hanya akan menurut. Rasa kecewa tentu menghampiriku. Bahkan, sepertinya lima puluh persen dari nafsu makanku menyurut begitu saja.

Namun, saat melihat merahnya sambal di salah satu piring, nafsu makan itu kembali naik. Tanganku ingin menggapai piring berisikan sambal merah itu, sebelum ada tangan lain yang mendahului, menjauhkannya dari jangkauanku. Aku mendongak, ibuku yang mengambilnya.

"Aku mau makan pakai sambel, Ma." Aku mencoba bersuara.

"Biar Mama ambilin. Kamu pasti akan ambil sambelnya banyak-banyak. Kalo kebanyakan makan sambel, nanti perut kamu sakit, kamu nggak akan bisa fokus habis ini."

Kecewa kembali aku telan mendengarnya. Dengan pasrah aku menyodorkan piringku. Nafsu makanku menyurut sepenuhnya. Aku ingin sekali mencoba berargumen, tetapi suaraku akan tertelan begitu saja sebelum dapat berkata-kata.

Aku makan dengan sangat terpaksa, dengan nafsu makan yang sudah lenyap. Rasa senang saat melihat berbagai hidangan tadi sudah hilang sepenuhnya karena larangan dari ibuku.

Sebenarnya, adalah hal yang biasa untuk segala aturan dalam hidupku. Akan tetapi, lama-kelamaan aku merasa muak dan tertekan. Hal kecil saja, diatur oleh mereka. Aku sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengambil keputusan. Seperti makanan contohnya, orang tuaku yang selalu menentukan.

Di sela makanku yang hanya dihiasi dengan keterdiaman, aku tersenyum miris. Aturan sudah biasa aku dapatkan sejak kecil dan aku selalu berusaha untuk mematuhi tiap aturan itu. Namun, apakah memang selamanya aku harus terpenjara dengan aturan ini?

Saat-saat sekarang ini, aku mulai bisa merasakan perasaanku. Aku mulai merasa lelah dengan tuntutan orang tuaku, kesal dan muak karena semuanya harus teratur dan sesuai dengan yang mereka perintahkan. Aku sama sekali tidak dibiarkan untuk mengambil keputusan, bergerak bebas, dan menyuarakan keinginanku.

Mereka bilang, ini adalah yang terbaik untukku? Kenapa aku justru merasa bahwa ini adalah tekanan yang tidak ada baiknya sama sekali untukku? Aku tidak bisa memilih jalan mana yang aku inginkan. Semua jalan yang akan aku ambil harus sesuai dengan arahan orang tuaku. Itukah yang dinamakan 'terbaik'?

~ Tears In January ~

nav_nocwnb

20/07/2023

Tears In JanuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang