"Bagaimana rasanya mendeskripsikan perasaan ini? Terasa asing dan mengganggu, tetapi di beberapa kesempatan aku juga merasa menikmatinya"
—Auristela Aninditha
Date; 23 September
SMA Darma Harapan merupakan sekolah menengah atas bergengsi di kota Jakarta. Sekolah swasta dengan masa depan yang menjanjikan—kata banyak orang termasuk alumni sekolah tersebut. Sekolah empat lantai dengan pekarangan luas itu menjadi favorit banyak orang berada, berlomba-lomba untuk dapat memasukkan anak mereka ke sana.
Lulusan SMA Darma Harapan banyak yang berhasil lolos universitas negeri terbaik di Indonesia ini, bahkan banyak dari murid mereka yang menembus universitas luar negeri. Nama baik SMA Darma Harapan ini tentu saja didukung oleh murid berkualitas yang bersekolah di sana.
Muid SMA Darma Harapan bersekolah selama lima hari, dimulai dari hari Senin sampai hari Jum'at. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur untuk istirahat para murid. Sekolah ini full-day, dimulai pada pukul 07.30 WIB sampai 16.00 WIB.
Hari Sabtu dan hari Minggu benar-benar diperuntukkan pada murid untuk beristirahat. Tidak ada kegiatan apa pun di sekolah di ujung pekan itu, bahkan untuk kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan ekstrakulikuler tidak diwajibkan untuk murid, dan seluruhnya harus memiliki jadwal di hari-hari sekolah, tidak boleh mengganggu hari libur pada murid.
Namun, untuk hari Sabtu ini, aku tidak berdiam di rumah seperti biasanya di ujung pekan. Kerja kelompok yang dijadwalkan adalah hari ini, membuatku harus keluar dari rumah. Aku sudah izin pada orang tuaku dan mereka menyetujui.
Nadine mengirim titik lokasi kerja kelompok hari ini di grup WhatsApp kelompok kami. Titik lokasinya tidak jauh dari rumahku, dan ya ... kami akan mengerjakan tugas ini di sebuah kafe, bernama Lily Café.
Kerja kelompok itu dimulai jam Sembilan, sedangkan saat ini masih jam tujuh. Aku sudah sarapan tadi, bersama orang tuaku sebelum mereka berangkat kerja. Aku memutuskan untuk berkemas, membawa beberapa buku pada tas gendongku dan alat tulis lainnya. Setelahnya, aku diam. Merenung.
Secara tiba-tiba pikiranku melayang pada kejadian dua hari lalu, tepatnya saat aku dan Azra mencari buku referensi di perpustakaan. Terputar secara otomatis dalam bayanganku bagaimana bentuk wajahnya. Dia memang tampan, aku akui itu.
Jantungku kembali berdebar tak nyaman. Tempo yang cepat ini membuatku merasa aneh. Aku belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Bahkan saat aku ketakutan dihukum Papa, bukan perasaan ini yang aku rasa, padahal saat itu jantungku sama-sama berdebar keras.
Aku tidak punya pengalaman apa pun tentang perasaan ini. Tidak nyaman, tetapi di beberapa kesempatan aku menikmatinya. Perasaan aneh ap aitu? Dan lagi, aku merasakan ini saat memikirkan atau berada di dekat Azra.
~ Tears In January ~
Aku yang datang pertama dalam perkumpulan kerja kelompok hari ini. Teman kelompokku yang lain masih di jalan, katanya. Nadine juga sempat mengabariku bahwa dia sedikit terlambat. Ada-ada saja, padahal dia yang mengatur jadwal ini.
Saat ini aku sudah duduk di dalam Lily Café, sebuah kafe bernuasa modern yang sepertinya didesain khusus menjadi tempat nongkrong para remaja. Aku bisa melihat banyak remaja di kafe ini, padahal hari masih pagi.
Tempat duduk yang aku pilih berada di pojok ruangan, dekat jendela yang memperlihatkan suasana di luar kafe ini. Aku pun bisa melihat mana kala temanku datang dari tempat dudukku saat ini.
Mengenai pesanan, aku belum memesan sama sekali. Aku memilih menunggu setidaknya ada satu orang lagi di sini.
Jantungku kembali berdebar tak karuan saat netraku menangkap Azra di luar kafe yang sedang memarkirkan motornya. Aku belum melihat temanku yang lain, itu artinya dia yang kedua datang dalam perkumpulan kerja kelompok ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears In January
Teen FictionAuristela Aninditha adalah sosok perempuan dengan definisi cantik yang sesungguhnya. Dia pintar, wajahnya imut dan manis, kulitnya putih bersih tanpa ada noda sedikit pun. Perempuan yang biasa dipanggil Auri itu juga merupakan putri tunggal kaya ray...