"Asing, satu kata itu sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana keadaanku."
—Auristela Aninditha
Date; 19 September
Pagi ini aku sudah siap, duduk rapi di kursiku. Kelas masih lumayan sepi, karena waktu di jam dinding kelas menunjukkan pukul 06.21 WIB. Baru beberapa aku dan tiga temanku yang lain yang sudah duduk di kursi kelas.
Aku sama sekali tidak dekat dengan teman kelasku. Aku kira, hanya Nadine satu-satunya teman dekat yang aku miliki. Nadine satu-satunya teman mengobrol yang aku punya di kelas ini. Padahal, ini tahun ketiga aku berada di kelas, muridnya tidak banyak yang baru. Namun, teman yang aku miliki hanya Nadine seorang.
Memang benar, aku sangat fokus pada tujuanku ke sekolah, yaitu belajar, memperoleh materi, dan meraih posisi tinggi. Namun, saat aku berpikir pagi ini, tidak kusangka apa yang aku rasakan ini cukup hampa. Rasanya aku iri saat tatapanku tak sengaja bertubrukan dengan teman di kelasku dan mereka asyik mengobrol. Berbeda denganku yang hanya diam dan fokus pada buku.
Rasa hampa dan kesendirian ini ... bukankah sudah biasa? Kenapa pagi ini aku merasa sesak mendapati fakta yang ada?
Kalau aku pikir-pikir, sepertinya memang aku terlalu asing berada di kelas ini. Lihat, bagaimana mereka yang baru saja datang, bisa dengan mudah disapa dan balik menyapa. Kenapa aku tidak merasakan itu? Nadine memang selalu datang lebih lambat dibanding aku. Jadi, aku sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya ditunggu lalu diajak bergabung dalam obrolan yang ada. Sepertinya cukup seru.
Ah, sudahlah. Tidak seharusnya aku berpikir dan iri dengan itu semua. Bukankah ini adalah jalan yang aku ambil, aku harus mengerti konsekuensi dari apa yang aku pilih. Namun, ini semua juga ... bukan pilihan dan keinginanku.
Cepat-cepat aku mengambil napas dalam, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran negatif ini di pagi hari. Aku harus fokus pada tiap materi dan penjelasan yang diberikan nanti. Pikiranku tidak boleh terbagi. Ya, aku harus bisa menjernihkan pikiran ini.
"Assalamu'alaikum, guys! Good morning, semua!"
Kepalaku yang menunduk, terangkat kala mendengar suara yang sudah tidak asing lagi, itu suara Nadine. Entah kenapa, aku merasa sudut bibirku terangkat akan kedatangannya.
"Hai, Auri!" sapa Nadine padaku, dia meletakkan tasnya di kursi sebelahku.
Aku masih tersenyum. "Hai, Nad!"
Senyumku surut saat dia berkata, "Aku ke sana ya, dah!" Dia pergi, meninggalkanku yang mengawasi langkahnya menuju kumpulan siswi di kelas ini.
Benar. Aku asing. Aku terlalu asing untuk dapat bersama mereka. Aku terlalu serius untuk bercanda tawa dengan mereka. Aku selalu menolak ajakan Nadine untuk bergabung dengan yang lainnya, sampai Nadine sendiri lelah untuk mengajakku karena tahu jawaban apa yang dia dapat.
~ Tears In January ~
Guru biologi datang. Guru perempuan bernama Bu Syila itu tersenyum ramah pada kami. Beliau menyapa kami dan kami membalasnya dengan semangat.
"Oke, semua. Untuk sekarang, kita beralih ke materi baru ya, materi kemarin sudah selesai. Sekarang, kita lanjut ke materi pewarisan sifat."
Kami semua mendengar dengan baik penjelasan dari Bu Syila.
"Untuk materi kali ini, kalian akan dikelompokkan, ya. Ibu mau kalian saling berdiskusi dan membuat laporan serta power point untuk dipresentasikan minggu depan. Untuk apa saja yang harus kalian buat, nanti setelah pembagian kelompok, ya."
"Izin bertanya, Bu." Seseorang menginterupsi, mengangkat tangannya dan membuat pandangan kami semua teralih padanya. Dia Kalya.
"Iya, silakan, Kalya." Banyak dari kami yang berada di kelas ini, dikenal oleh guru-guru. Munkin, ini salah satu keuntungan dari murid Kelas Terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears In January
Genç KurguAuristela Aninditha adalah sosok perempuan dengan definisi cantik yang sesungguhnya. Dia pintar, wajahnya imut dan manis, kulitnya putih bersih tanpa ada noda sedikit pun. Perempuan yang biasa dipanggil Auri itu juga merupakan putri tunggal kaya ray...