6. TENTANG UPACARA

6 1 0
                                    

"Perasaan asing yang menyenangkan. Sebenarnya ini apa?"

—Auristela Aninditha

"Ini pertama kalinya kamu mau dianter, Ri. Biasanya kalo akua jak kamu suka nolak," kata Nadine dengan tatapan tak terima. Bibirnya maju dengan pipi menggembung. Nadine itu definisi lucu yang sebenarnya.

"Soalnya arah rumah kita 'kan, nggak searah, Nad. Aku nggak mau ngerepotin kamu," balasku seadanya. Itu benar, kok.

"Iya deh, iya deh," sahut Nadine pasrah yang membuatku mengukir senyum kecil.

"Lo kaya banget ya, Ri. Perumahaannya elit banget begini, bisa-bisanya kalo di sekolah biasa aja. Padahal, bisa banget buat pamer." Kini, Namira yang sedang menyetir mobil ikut bersuara.

Aku hanya menyengir, bingung menanggapi apa. Belum pernah ada yang berkomentar tentang kehidupanku sebelumnya. Jadi, ini terdengar aneh sekali.

"Yang mana rumah lo, Ri?" tanya Namira lagi.

Aku menjelaskan lebih rinci letak rumahku dan tak butuh waktu lama kami sampai di depan rumahku. "Makasih banget ya, Namira, Nadine. Nggak enak banget aku ngerepotin kalian." Aku menoleh bergantian pada Namira dan Nadine, dengan posisi masih berada di dalam mobil, duduk sendirian di belakang—sedangkan mereka di depan.

"Nggak apa-apa banget. Malah kalo lo mau minta jemput kalo mau berangkat sekolah biar kita bareng, gue terima banget lo. Rumah lo nggak sejauh omongan lo." Namira menanggapi dengan santai. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum pada mereka.

"Makasih banget pokoknya ya, kalian hati-hati pulangnya. Aku duluan ya, Assalamu'alaikum. Dadah!"

~ Tears In January ~

"Bagus ya, baru pulang. Kerja kelompok aja lama banget. Kamu inget waktu nggak, sih?"

Begitu baru saja menginjakkan kaki di lantai rumah, Mama sudah menyambutku dengan tatapan tajam dan tangan menyilang di depan dada.

Hanya menundukkan kepala yang aku bisa. Karena aku sadar, ini memang salahku kok. Ini adalah kali pertama aku keluar rumah lebih dari waktu yang ditentukan oleh orang tuaku, tanpa izin pada mereka terlebih dahulu. Seharusnya, aku sudah berada di rumah sejak jam 1 siang ini. Namun, karena aku juga tidak enak jika harus pulang lebih dulu—aku juga baru pertama kali merasakan bercengkerama dengan teman, aku mengundur waktu pulangku. Kini, hari sudah hampir Asar.

Orang tuaku seharusnya memang bekerja, tetapi bila mendapati laporan dari orang rumah mengenai aku, salah satu di antara mereka pasti akan pulang dan ya ... untuk memberikanku hukuman. Sedikit menyedihkan, sayangnya itu memang kenyataan. Aku tidak sepenting itu bagi mereka untuk menyambut pulang, kecuali jika ada hukuman yang harus dilalui.

"Jangan keluar kamar sampai besok malam! Itu hukuman kamu. Nggak ada jatah makan sampai besok malam! Kamu, Mama tinggal sebentar aja tanpa pengawaasan udah begini ya, Auri!"

Pasrah. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Memangnya, aku bisa apa?

~ Tears In January ~

Date; 25 September

Senin kembali tiba. Awal minggu pertanda segala pekerjaan atau kegiatan belajar di sekolah kembali dilaksanakan. Aku sudah siap dan rapi dengan seragam khas sekolahku untuk hari Senin. Tidak lupa atribut juga tidak boleh tertinggal karena harus mengikuti upacara bendera pagi ini.

Kini, aku sudah tiba di sekolah. Kondisi sekolah masih lumayan hening. Di kelas pun hanya aku sendiri, walau ada tas murid lain—mereka keluar kelas. Aku membuka buku perlajaran. Fokus utamaku sekolah 'kan, memang belajara. Apalagi sebentar lagi akan diadakan olimpiade, aku harus berusaha semaksimal mungkin untuk itu.

Tears In JanuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang