chapter 2

181 31 20
                                    

Raidan's pov
***
Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk berpikir panjang setelah mendapat panggilan dari nomor asiny tersebut. Segera kuputar balik kemudi mobil menuju rumah sakit yang berlawan arah dari tujuan awalku. Pikiranku jelas kacau, jantungku semakin berdetak lebih kencang, hatiku tidak berhenti bergemuruh pertanda kecemasanku yang sudah di luar batas.

Hakikatnya, aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya. Walau aku sudah menetapkan hati untuk berpisah, tidak bisa membuatku tidak peduli atas apa yang menimpanya saat ini. Aku sangat takut, sangat cemas dengan keadaan dia. Aku berharap kecelakaan itu hanya kecelakaan ringan yang tidak harus membuatnya berbaring lama di rumah sakit.

Maka, sesampainya di rumah sakit, orang pertama yang kutemui adalah orang yang menolong dia saat kecelakaan terjadi. Sepasang suami isteri paruh baya yang nampak jelas kekhawatiran akan kondisi dia, namun sedikit lega saat melihat kedatanganku.

"Pak Raidan, ya?" tanya lelaki yang entah mengapa mengetahui namaku, mungkin ia melihat dari ponsel dia yang digunakan untuk menghubungi tadi.

Aku mengangguk cepat, dan bertanya dimana dia sekarang pada dua orang itu.

"Istri bapak lagi ada di ruang operasi, sedang ditangani sama dokter. Pokoknya bapak yang tenang, banyakin doa biar istri bapak selamat dan bisa sadar kembali," kata sang perempuan paruh baya dengan nada lirih, seakan menenangkanku di sana.

Aku hanya diam dengan perasaan yang sama seperti sebelumnya. Melihat reaksi dari dua orang itu pun membuatku yakin jika kecelakaan yang terjadi bukan hanya kecelakaan ringan yang aku harapkan. Aku seakan tidak bisa menahan berat tubuhku sendiri saat itu dan membuatku harus jatuh terduduk.

Pikiranku mulai melayang dengan pertanyaan buruk. Bagaimana jika dia tidak selamat? Bagaimana jika dokter menyerah menyelamatkanya? Bagaimana jika itu semua terjadi? Aku memang tidak menangis, tetapi hatiku yang melakukannya. Ketakutan, tangisan, kecemasan, menjadi satu di sana.

Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau dia meninggalkan aku secepat ini.

"Raidan!"

Dan suara yang tak asing di pendengaranku muncul, bersama dengan suara derap langkah yang semakin mendekatiku saat ini. Aku hanya bisa mengangkat wajahku dengan tatapan kosong saat melihat Papah mertuaku di sana.

Aku tahu, Papah memiliki perasaan sama denganku saat ini.

***

Kadang hal-hal seperti ini jarang terpikirkan olehku. Sikap tidak peduliku berhasil menguasai pikiran dan perasaanku. Tidak pernah aku bertanya tentang keadaanya sejak enambulan terakhir. Bagaimana kemampuan menyetirnya, yang terakhir aku tahu belum cukup baik saat itu.

Aku tidak tahu jika dia belum mahir mengendarai mobil. Aku kira ia sudah pandai, melihat dia sering berpergian menggunakan mobil sendiri selama enambulan ini. Tetapi, dia tetap lah dia. Masih membutuhkan mentor yang terus mengajari dan mendampingi di setiap kegiatan yang dia lakukan.

Aku baru diberi tahu dari orang yang menyaksikan kecelakaan itu, jika mobil yang dikendarainya melaju bebas menerobos lampu lalu lintas. Kemungkinan dia sedang tidak fokus saat itu dan menginjak rem secara mendadak hingga terjadi benturan antara dua mobil yang cukup keras. Dia terluka dengan cedera kepala akibat benturan keras, sementara pengendara yang ikut serta dalam kecelakaan tersebut tidak terluka sedikit pun selain mobilnya yang mengalami kerusakan cukup berat.

Intinya dari cerita mereka, dia lah yang tertabrak saat kejadian berlangsung oleh mobil yang melaju. Aku mendengarnya hanya bisa menghela napas berat, membayangkan jika kejadian itu pasti terasa sangat mengerikan. Aku tidak tahu apa yang dirasakannya saat itu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya saat kecelakaan itu menimpanya.

Sekali lagi aku merasa hati teriris saat mengingatnya lagi.

"Dan," panggil Papah menghampiriku yang saat ini masih berada di area tunggu, namun agak jauh dari ruang operasi. Sengaja aku lakukan untuk menenangkan diriku dari orang-orang yang menunggu dia di sana.

"Operasi Saski udah selesai. Sekarang dia akan dipindahin ke ruang rawat," lanjut Papah lagi memberikan pernyataan yang ia kira bisa membuat rasa cemasku memudar.

Tidak ada raut wajah yang bisa kuprediksikan dari laki-laki itu tentang keadaan dia. Aku tahu jika aku tidak boleh memasang harapan tinggi akan keadaannya saat ini, karena aku pun tahu dia belum sadar, belum siap membuka mata mungkin, untuk melihatku.

***

Aku melihat dua orang adiknya yang setia menunggu di rumah sakit sejak awal hari di mana kejadiaan berlangsung. Begitu pula Papah yang tidak pernah lengah sedetik pun untuk menemani di sampingnya. Dan aku, melakukan hal yang sama, namun aku tidak merasa jika kehadiranku dibutuhkan. Aku hanya merasa semakin kacau saat melihat dia terbaring di ranjang rumah sakit, tidak sadarkan diri dengan alat bantu rumah sakit yang membantunya kondisinya agar tetap stabil di sana.

"Bang, makan dulu."

Sebuah teguran dari Sina, adiknya yang menghampiriku, membawakanku makanan yang ia beli dari luar bersama istirnya tadi. Aku bahkan tidak ingat, kapan terakhir aku menyentuh makanan, seingatku aku tidak makan sejak kemarin dan menelantarkan makan siang yang dibuatnya di kantor.

"Gue tau lo sedih, Bang. Kita semua sama kayak lo, tapi seenggaknya lo harus punya energi biar bisa nunggu Saski sadar. Makan ya, ini gue bawain makanan favorit lo."

Sina seakan tahu jika keadaanku yang tidak memungkiri akan bertahan sampai besok jika aku tidak memberikan makanan ke dalam lambungku. Aku pun menurut. Walau makanan yang masuk sama sekali tidak berguna untuk kondisi hati dan pikiranku, setidaknya akan berguna untuk energiku untuk menjaga dia.

"Makasih, Sin."

Hanya gumanan kecil dariku pada Sina yang sedang memandangku nanar di sana.

"Saski pasti sebentar lagi sadar. Gue yakin itu, Bang." Memberikan semangat kecil yang mungkin akan berguna untukku, aku hanya mengangguk tanpa daya hanya terus menyuap masuk makananku ke dalam mulut.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara Papah yang memanggil nama dia. Aku langsung menyudahi makanku dan bersama Sina segera menghampiri ranjang rawatnya. Benar saja, hal yang membuat Papah menyerukan namanya itu ialah kesadaran dia yang sudah mulai terlihat.

Aku bisa melihat jari tangannya yang mulai bergerak satu per satu, matanya yang mulai terbuka dengan berat, begitu pula tatapannya yang pertama kali mengarah padaku saat itu juga.

Dia sadar. Istriku telah bangun dari tidur lamanya.

Bersambung

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang