chapter 1

253 32 32
                                    

Raidan's pov

***

Mengawali pagi hari dengan gerakan terburu-buru, bahkan aku tidak berpikir untuk memilih dasi karena singkatnya waktu yang aku punya pagi ini. Salahku memang karena tadi malam hanya sempat tidur selama dua jam karena sebelumnya aku banyak memghabiskan waktu di meja kerja. Dan ini lah akibatnya, waktu tidurku menjadi berantakan hingga membuat awal pagiku kacau.

Aku melangkah besar melewati semua penjuru rumah, tak terkecuali melewati ruang makan yang memang harus aku lintasi sebelum sampai di pintu rumah. Awalnya aku merasa tidak peduli dengan kegiatan yang ada di sana, tidak memedulikan apa yang sedang menyambutku di pagi hari, tetapi suara itu membuat langkahku berhenti, terpaksa berhenti lebih tepatnya.

Tatapan yang kuberikan padanya pagi ini cukup berbeda dari pagi sebelumnya. Biasanya aku cuek dan berusaha tidak menimbulkan kontak mata padanya, tetapi pagi ini aku berusaha untuk menatap matanya dengan tatapan tajamku yang begitu menyakitkan saat melihatnya.

Nampaknya tatapan berserta ucapanku begitu tajam hingga membuatnya tertunduk dengan takut. Aku tidak menyangka jika pagi ini moodku akan semakin rusak dengan adanya kejadian ini. Maka, segera aku meninggalkan rumah tanpa berkata apa-apa lagi, sebelum hatiku semakin memanas jika terus bersama dengannya.

Ya, begitu lah aku saat bersama istriku sejak enambulan lalu. Dan aku memutuskan untuk menyudahi ikatan yang aku pikir tidak ada gunanya itu siang ini.

***

"Dan, gue gak terima komplain lagi habis ini, pokoknya lo harus selesaiin dalam minggu ini."

Aku menerima berkas portofolio yang Huda berikan dengan helaan napas berat. Sudah ketiga kalinya Huda mendatangi ruanganku untuk membicarakan klient yang memakai jasaku untuk membangun rumah, dan entah apa yang salah dengan kinerjaku hingga terus menerus mendapatkan komplain dari mereka.

"Kalau kerja lo begini terus, yang ada klient kita pada kabur, tau gak? Ini perumahan udah tigapuluh persen pembangunan loh Dan, lo gak sadar kalau kerjaan kita banyak kacaunya? Mulai dari material yang gak sesuai opsi, pekerja yang gak profesional, belum lagi lo yang gak pernah konsen sama proyek ini! Lo serius sama kerjaan ini gak, sih?"

Huda sepertinya tidak tahan lagi untuk tidak memgeluarkan perasaan jengkelnya di depanku. Jika biasanya ia masih bersikap tenang, kali ini Huda yang kukenal sudah benar-benar kehabisan kesabaran. Aku pun masih berpikir keras untuk menyelesaikan permasalahan pekerjaanku yang sedang kacau sejak kemarin.

"Kamis depan gue kasih lo porto yang baru, gue janji bakal gue perbaiki, Hud." Aku hanya bisa memberikan janji yang mana sebenarnya tidak bisa kupastikan akan membawa hasil baik.

Lalu, Huda di sana menghela napas berat seraya menatapku. Kini ia tak lagi marah, tatapannya terlihat miris saat melihatku.

"Dan, lo kalau punya masalah, lo bisa tenangin diri lo dulu. Jangan lo paksa kerja kayak gini, yang ada hasilnya bakal kacau. Gue tau, lo punya masalah di rumah tangga lo, 'kan?" tanya Huda seakan mengerti apa yang aku rasakan, tapi sayangnya aku tidak akan membeberka secara jelas mengenai permasalahan yang aku hadapi.

Aku hanya diam seakan tidak menggubris ucapannya dan malah menyibukan diri dengan membuka laptopku, mengerjakan pekerjaanku yang nyatanya tidak sama sekali membuatku fokus. Dan Huda kembali berdecak, mungkin merasa pasrah atau lelah melihat sikapku.

"Ya udah gue gak bisa apa-apa kalau lo emang gak mau terbuka sam gue. Yang jelas gue cuma mau bilang, lo harus fokus sama kerjaan lo, karena ini gak cuma ngelibatin lo sama gue, banyak orang yang butuh hidup dari pembangunan perumahan itu, Dan. Gue harap lo ngerti," katanya lagi sebelum akhirnya menyudahi pertemuan kami dan memilih keluar dari ruanganku.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang