chapter 6

164 22 3
                                    

Raidan's pov

***

Hari ini Saski sudah diperbolehkan pulang setelah hampir dua minggu berada di rumah sakit. Dokter sempat berpesan padaku jika harus lebih sering memerhatikan kondisi Saski dan selalu berada disisinya, karena hal itu lah yang setidaknya bisa membuat perempuan itu mengingatku.

Ya, itu yang harus kulakukan jika ingin Saski kembali mengingatku dan pernikahan kamu. Sementara sebelumnya aku tidak pernah berada di rumah untuk menemaninya.

Jika dipikir lagi, bukankah aku tidak perlu melakukan hal itu melihat bagaimana rencana awalku yang ingin berpisah? Membuat Saski tidak perlu mengingatku lagi, bukankah itu adalah kesempatan bagiku untuk pergi darinya?

Aku memang berniat berpisah dengannya sebelum kejadian ini terjadi. Memang itu yang menjadi tujuanku, tapi rasanya aku tidak terpikirkan lagi apa yang menjadi tujuan awalku saat ini, yang kupikirkan hanya lah kondisi Saski. Entah bagaimana mengatakannya, saat ini aku ingin berada di sisinya, menemaninya hingga ia pulih seperti sedia kala. Itu yang mengisi perasaan serta pikiranku saat ini.

Kini aku pun telah berada di rumah Papah, yang mana aku ditinggali sementara oleh Saski selama beberapa hari. Papah bilang, untuk sementara Saski akan berada di rumahnya untuk memastikan kondisi yang akan lebih sering dipantau oleh keluarganya, juga termasuk aku yang juga akan berada di sini. Aku pun harus ikut andil dalam menjaga Saski walau tidak berada di rumah kami.

Aku membantu Saski turun dari mobil, membantu memegang sebelah lengannya sementara Julia berada di sisi sebelah. Saski hanya menyimpulkan senyum tipis padaku sebelum perhatiannya teralih menatap rumah.

"Ternyata rumah banyak berubah ya, udah jadi rumah nuansa barat, beda banget sama rumah di perumahan dulu, Li," ujar Saski yang terlihat agak asing dengan rumah yang memang sebelumnya tidak ia tinggali karena harus ikut tinggal bersamaki.

"Iya Ka, rumah ini baru satu tahun ditinggalin sama Papah dan aku, rumah yang di perumahan juga udah dikasih buat Sina," jawab Julia.

"Oh ya?" guman Saski agak terkejut mendengar hal itu. Lalu segera menengok ke arah Sina yang baru saja selesai memasukan mobil ke carport.

"Warisan lo gak main-main, Sin. Dapat rumah bersejarah!" seru Saski pada Sina yang langsung terheran-heran sendiri.

"Ye, lo juga dapat rumah tau, Ki. Cuma lo gak mau aja tinggalin dan lebih milih tinggal sama Bang Aidan!" balas Sina merasa tidak ingin dikucilkan karena warisan dari Papah.

"Kenapa jadi ngomongin warisan, sih?"

Aku dan Papah hanya menyaksikan ketiga saudara itu beradu mulut. Sudah lama aku tidak moment seperti ini, terutama Saski yang cenderung lebih pendiam selama enam bulan terakhir. Dan tak kusadari, aku tersenyum melihat dia, melihat Saski yang kembali menunjukan senyumnya setelah kemarin bersama Arias.

Walau aku tahu senyuman itu bukan karenaku, namun setidaknya kali ini aku senang mengetahui Saski cepat menyesuaikan diri dengan keadaannya yang masih belum sepenuhnya pulih.

"Ya udah, jangan buat hubungan persaudaraan kita jadi rusak cuma karena rebutan rumah ya. Mendingan kita masuk, terus lo istirahat, Ki. Atau mau gofood makananya dulu? Cireng? Mochi? Tahu walik? Gue bayarin deh kali ini!"

"Dih, cuma mampu beli cireng aja lo?"

Sina langsung berdecak sambil berkacak pinggang di depan Saski. "Ini kayaknya habis kecelakaan otak julit lo gak ngikut ngilang ya." Lalu seketika laki-laki itu menatapku, seakan kelepasan mengatakan sesuatu yang mungkin menurutnya menyinggung diriku.

"Ehem, ya udah masuk yuk masuk!"

Mencairkan suasana, Julia pun segera menggandeng Saski dan Sina agar segera masuk rumah, sedangkan aku masih diam di tempatku bersama Papah yang sejak tadi diam. Jika biasanya Papah akan ikut menimbrunh percakapan anak-anaknya, kali ini laki-laki paruh baya itu hanya diam dengan tatapan kosong. Sangat jarang aku melihat Papah bersikap seperti itu, tetapi aku tahu alasan Papah melakukan itu.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang