chapter 5

156 23 9
                                    

Raidan's pov

***

Aku menatap Saski yang masih belum mau berbicara padaku. Mungkin perempuan itu masih kaget atas kebenaran yang sebenarnya terjadi saat ini di mana Saski bukan lah seorang perempuan berusia duapuluh tiga tahun lagi, melainkan seorang istri yang sudah berumah tangga selama dua tahun. Ya, lebih jelasnya bukan Arias yang menjadi pendamping perempuan itu saat ini, melainkan aku. Aku yakin hal itu yang membuat Saski masih belum bisa percaya dengan keadaannya.

"Ki, mungkin memang sulit buat kamu percaya, tapi kamu memang sudah menikah sama Raidan, Ki."

Papah berkata lagi begitu meyakinkan Saski, juga berusaha tidak membuatku sedih karena kondisi yang dialami putrinya.

"Mungkin kamu bisa percaya nanti kalau kamu sudah ada di rumah," lanjut Papah lagi yang setelahnya memilih untuk keluar meninggalkan aku dan Saski berdua di ruangan rawat. Sengaja memberiku waktu untuk berbicara dengan Saski yang sebenarnya aku pun tidak tahu harus berbicara apa.

Maka setelah Papah pergi, aku hanya diam tak bergeming menatap Saski yang sama sekali tak merubah posisinya untuk tidak membalas tatapanku.

"Jadi sudah berapa lama kita menikah?" tanyanya dengan nada datar bercampur nada tidak percaya.

"Dua tahun." Aku membalasnya. Dan sedikit demi sedikit Saski mulai menolehkan wajahnya untuk melihatku.

"Dan, aku gak tau apa yang harus aku lakukan, karna aku sama sekali gak ingat kalau kita sudah menikah," kata Saski dengan getir, mungkin ia merasa bersalah karena tidak bisa mengingat tentang status kita berdua. "Aku minta maaf Dan, aku cuma gak nyangka kalau akhirnya kita berdua akan menikah, dan kecelakaan ini terjadi sama aku yang buat aku harus lupa—"

"Saski." Aku dengan cepat memotong ucapannya, meraih tangan perempuan itu dengan spontan sambil menatapnya dengan dalam. "Aku gak perlu minta maaf, Ki. Bukan salah kamu lupa tentang kita berdua. Jangan pernah nyalahin diri kamu, karena kamu gak salah, Ki."

Aku lah yang salah, Saski. Secara tidak langsung aku lah yang menjadi penyebab dia menjadi seperti ini dan benar kata Arias, mungkin ini adalah suatu balasan untukku.

"Kamu gak perlu mikirin tentang ingatan itu, Ki. Yang terpenting kamu fokus buat pemulihan kondisi kamu biar kamu bisa cepat pulang dari rumah sakit," lanjutku lagi berusaha meyakini Saski jika semua akan berjalan baik-baik saja di mana tujuanku agar tidak membuat perempuan itu terlalu keras memikirkan hal ini. Aku tahu sulit untuk Saski menerimanya apalagi dalam ingatannya saat ini dia hanya memikirkan satu nama laki-laki, bukan aku. Pasti sulit untuk menerima statusku sebagai suaminya sekarang.

Lalu tidak selang waktu lama, pintu ruangan rawat Saski pun terbuka, memunculkan sosok Arias yang sebenarnya sudah ada sejak lama di balik pintu sana. Perhatian Saski langsung teralih pada Arias, sementara aku hanya bisa melihat perubahan wajahnya itu dengan hati nyeri. Sebahagia itukah dia melihat Arias? Sangat berbanding jauh saat melihatku tadi.

Namun, segera Saski melepas pandangannya pada Arias dan berbalik menatapku dengan tatapn ragu bercampur tidak nyaman. Mungkin perempuan itu merasa tidak enak saat melihat kehadiran Arias padaku, di mana ia sudah tahu tentang statusnya sebagai istriku.

Aku pun membalas keraguannya itu dengan anggukan serta senyum tipis pertanda aku akan memaklumi keberadaan Arias. Aku sudah menyiapkan ini sejak tadi pagi, di mana aku harus menahan diri saat menyuruh Arias kembali datang menemui Saski.

Karena yang terpikirkan olehku ialah bagaimana kondisi hati Saski sekarang. Aku tidak mau Saski malah jatuh dalam kesedihan dan terpuruk karena mengetahui fakta keadaanya saat ini. Maka, Arias adalah orang yang setidaknya bisa membuat kondisi perempuan itu terobati.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang