chapter 7

160 18 5
                                    

Saski's Pov

***

Terakhir kali yang kuingat sebelum bangun dari ranjang rumah sakit ialah aku menyaksikan kepergian Raidan ke Belanda yang akan melanjutkan internship nya selama beberapa tahun.

Itu saja. Sebelum aku menyadari jika ingatan terakhirku itu adalah sebuah memori yang sudah terlewat hampir tiga tahun lamanya.

Aku tidak menyangka jika kesadaranku akan mendapatkan banyak hal yang tak terduga. Kini aku sudah berusia duapuluh sembilan tahun, kedua saudaraku pun sangat berbeda dari terakhir yang kuingat, Sina sudah menikah dan memiliki anak, Julia sibuk dengan urusan pekerjaannya padahal terakhir kali aku ingat ia masih berkutat dengan skripsi, hanya Papah yang kurasa tidak sama sekali berubah. Papah tetap sama seperti dulu.

Tetapi yang lebih mengcengkan bagiku ialah pada diriku sendiri. Terutama statusku yang ternyata adalah seorang istri. Bukan Arias yang aku kira akan menjadi pelabuhan terakhir hatiku, yang dulu sudah memiliki keinginan untuk membina rumah tangga bersama, melainkan Raidan. Temanku, yang sudah menjadi pendampingku kurang lebih dua tahun.

Aku tidak tahu sejak kapan aku dan Raidan saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Itu adalah sebuah kenyataan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jelas, laki-laki yang aku harapkan untuk menjadi pendampingku adalah Arias, bukan Raidan. Tapi, kembali ke setting-an awal, jika hanya ingatanku lah yang tahu mengapa kami bisa menikah.

Kini aku berada di rumah yang katanya sudah menjadi hunianku bersama Raidan selama menikah. Cukup terkejut karena rumah ini sangat sesuai dengan keinginanku dalam ingatanku dulu. Apakah Raidan sengaja membuatnya untukku? Entah lah aku tidak tahu.

Banyak hal yang tak terduga saat aku memasuki rumah itu. Beberapa diantaranya adalah pajangan figura yang menghiasi dinding ruangan tengah, terlihat jelas penampilanku yang tentu saja tidak aku ingat kapan itu terjadi. Dan yang paling mencengangkan bagiku ialah figura foto yang menampakan diriku bersama Raidan di sana.

"Saski."

Panggilan yang berasal dari suara berat Raidan itu otomatis membuatku menoleh ke sumber suara. Raidan sudah ternyata berada di belakangku dengan kedua tangannya yang membawa segelas air dan poket kecil berisi obat-obatanku.

"Minum obat dulu," katanya padaku yang malah diam sejenak hanya untuk memperhatikan laki-laki itu yang kini telah duduk di sofa dan mulai mengeluarkan pil obat dari kemasannya.

Kembali benakku bertanya, apakah Raidan adalah sungguh-sungguh suamiku?

Maka segera aku ikut duduk di sampingnya, masih mempertahankan perhatianku padanya sementara Raidan nampak tenang menyiapkan obat untukku.

Jika biasanya aku memiliki banyak topik pembicaraan pada Raidan, tetapi kali ini nampak jauh berbeda. Aku yang kebingungan untuk membahas apa sementara Raidan nampak tidak begitu ingin mengobrol saat ini. Dan jujur saja, melihat Raidan yang begitu dewasa membuatku sungkan untuk bersikap seperti biasanya.

Beberapa butir pil yang telah Raidan pisahkan dari kemasannya itu akhirnya ia berikan padaku. Aku hanya memasang wajah memelas saat melihat obat yang begitu banyak itu harus ku konsumsi selama beberapa waktu ini.

"Dan, lo 'kan tau gue gak bisa minum obat sebanyak ini. Emang harus banget diminum semua?" kataku penuh keberatan dan berharap Raidan berbaik hati untuk mengurangi pil obat pahit itu.

"Iya Ki, dokter sendiri yang bilang kamu harus rutin minum obat, gak boleh ada yang skip satu pun." Nampak Raidan tidak membantuku kali ini, bahkan tetap menyodorkan telapak tangannya yang sudah terisi pil obat di sana.

"Gak ada cara lain selain minum obat, Ki. Memang kamu mau obatnya masuk lewat infus lagi?" tambah Raidan saat aku tak kunjung mengambil pil obat itu.

Ya, memang tidak ada cara lain hingga membuatnya akhirnya terpaksa mengambi satu per satu pil dari tangan Raidan. Laki-laki itu segera memberikanku segelas air untuk aku minum setelah menelan pil pahit itu.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang