JIKA kalian anak IPS, kalian akan memilih pelajaran apa?
Maka jawabanku adalah sosiologi. Mengapa? Karena aku cukup handal dengan hal-hal yang berhubungan dengan sosial dibandingkan pelajaran yang membutuhkan daya ingat tinggi ataupun menghitung. Ku akui, aku terlalu bodoh dengan dua hal itu. Terlebih lagi menghitung, jadi kalian sudah tahu mengapa aku lebih memilih jurusan yang terkenal dengan anak-anak bandel ini.
Hari ini Adara tidak masuk. Alhasil aku harus duduk sendirian dengan kedua curut yang duduk tepat dibangku belakangku. Kutumpukan dagu diatas meja, meniup-niup kertas kecil yang berada disana untuk sekadar menghilangkan rasa bosan. Jujur saja, ketidak hadiran Adara benar-benar membuat keadaan terasa begitu sepi, bukannya Hana dan Gizza tidak seru, hanya saja ketika teman sebangku kalian tidak masuk pasti kalian akan merasa ada yang kurang.
Itu yang aku rasakan.
Hana dan Gizza saat ini lebih memilih menuju kantin. Tadi mereka berdua terus saja memaksaku untuk ikut namun aku menolak dengan alasan mager berat. Mereka mendengus kesal yang hanya kutanggapi dengan cengiran saja, kuyakini dimata kedua cewek tersebut sangatlah menyebalkan.
Mengingat Adara, ketua dance itu terkena penyakit demam sekarang. Tebakanku pasti karena akhir-akhir ini cewek berbadan tinggi yang sama denganku itu sibuk latihan dance untuk perlombaan mewakili sekolah yang mana membuatnya kecapekan hingga badannya benar-benar kehilangan tenaga. Tetapi aku berdoa semoga ia segera sembuh sehingga tetap dapat mengikuti lomba yang membuatnya benar-benar excited setiap latihan berlangsung.
Kemarin Gizza menjemputku, kita bertiga sudah bersepakat bahwa malam hari akan menjenguk Adara dirumahnya. Mengapa dirumah? Tidak dirumah sakit saja? Karena Adara itu keras kepala, kedua orang tuanya bersikeras untuk membawanya kerumah sakit namun dengan sejuta alasan ia menolak dan lebih memilih tetap berada dirumah saja.
Ketika sudah sampai dirumah besar itu, aku dibuat terkejut. Disana sudah ada ketiga sahabat Jidan yang tengah menonton pertunjukkan dimana cowok tersebut tengah menyuapi kekasihnya bubur. Hingga kehadiranku dengan Gizza disambut lambaian tangan Hana yang menyuruh kami untuk bergabung.
Ketika aku mulai mendekat, Albi yang tadinya duduk berdua bersama Atlas memilih untuk beranjak dan mengambil kursi kosong disebelah Gizza. Dia ini sengaja atau bagaimana? Dan kini hanya menyisahkan aku yang seperti orang bodoh tengah menoleh mencoba mencari kursi lain yang sekiranya kosong.
"Mau sampai kapan berdiri disana, Kal?" Sial, itu suara Hana yang mana membuat semua manusia yang berada didalam kamar Adara kompak menoleh ke arahku. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal, dengan perasaan terpaksa, aku berjalan dan duduk disamping cowok berhoodie hitam dengan tudung dikepalanya.
Rasanya canggung sekali, terlebih lagi lengan kami yang menempel satu sama lain dikarenakan memang kursinya yang hanya dapat memuat dua orang membuatku merasa tidak nyaman. Atlas bergerak menyenderkan punggungnya yang sontak membuatku menolehkan kepala. Aku tidak begitu dapat melihat wajahnya dengan jelas dikarenakan tudung hoodie cowok itu yang berada dikepala. Hanya sedikit sembulan rambutnya yang terlihat dari arah samping.
"Nggak nginep disini, Dan?" Raka bertanya sembari tangan cowok itu bergerak memainkan jari-jari Hana. "Enggak,"
"Padahal kalau Hana sakit, gue nginep dirumahnya. Ya nggak, Yang?" Goda Raka dengan alis naik turun membuat Hana bergerak memukul kepala cowok tersebut.
"Pala lo!" Aku terkekeh mendengarnya, tak hanya aku, ternyata Atlas yang masih dengan posisi bersendernya juga terdengar terkekeh kecil.
"Kemarin loh Dan, Kalea nggak ikhlas waktu disuruh panggil kamu kekelas," ini lagi yang sedang sakit malah membuatku ingin sekali menjambak rambut panjangnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLAS
Teen FictionTidak ada yang tahu menahu perihal perasaan. Tidak ada yang bisa memaksa perasaan namun mampu menolak perasaan. "Perihal perasaan cinta, gue masih bisa gantung itu diatas kepentingan apapun. Tapi perasaan ikhlas, sampai detik ini masih gue coba asah...