delapan; 8

4 1 0
                                    







































"ATLAS itu suka kamu, ya?"

"Hah?" Reflekku jelek sekali, pasti sekarang aku terlihat begitu konyol dengan mata yang membulat sempurna. Spontan aku terbatuk, terasa suhu diruangan ini yang awalnya begitu hangat berubah menjadi panas. Pipiku memanas, bibirku seolah-olah enggan terbuka ketika pertanyaan tiba-tiba dari Bunda Anggi menyerang.

"Bunda nanya, Atlas suka kamu, kan?"

"Ng-nggak Bun. Ho-hoax dari mana itu?" Tanyaku gagap. Serius, bibirku tiba-tiba menjadi keluh diikuti tetesan air keringat didahi. Terlihat Bunda Anggi masih begitu penasaran dengan jawabanku.

Mengapa beliau tiba-tiba menanyakan hal itu kepadaku?

Aku sendiri saja tidak tahu jawabannya.

Jika sudah begini, aku menjadi linglung seketika.

"Soalnya tuh---"

"Assalamualaikum!"

Aku bernapas lega, seketika suhu ruangan menjadi hangat kembali. Tangan ini bergerak mengelap keringat didahi seraya tersenyum kikuk melihat Bunda Anggi yang sekarang tengah menatap ke arah pintu. Tanpa ditebak pun, aku sudah mengetahui siapa dibalik pintu besar tersebut.

Ketiga sahabat Atlas datang dengan sumringah, membawa beberapa tentengan kresek lalu menaruhnya dimeja depanku. Berjalan mendekat dan duduk disampingku dengan kompak.

"Halo Bunda Anggi!"

"Full senyum sekali kalian. Habis dapet apa?"

"Biasa Bunda, ditraktir boss muda kita!" Jawab Jidan seraya menepuk-nepuk punggung Albi yang sekarang tengah duduk tepat disebelahku. Yang disinggung namanya pun hanya tersenyum kecil sembari menganggukkan kepalanya pelan.

"Itu buat Bunda, Ayah Alshan sama Alandra," ucap Albi, lalu Bunda Anggi membawa beberapa kresek itu kedapur sembari memanggil-manggil nama anak bungsunya tersebut.

Seketika aku langsung menyandarkan punggung dan kepalaku dipunggung sofa. Sedikit gugup namun disisi lain rasanya begitu lega. Aku tahu bahwa mereka bertiga sekarang tengah menatapku heran bercampur curiga. Terlihat sekali dengan pindahnya Raka ketempat Bunda Anggi tadi duduk, sebelah kananku.

"Lo habis diapain sama Bunda Anggi, hah?" Tuhkan, Raka dengan sejuta mulut embernya sudah koar-koar sekarang. Aku menggeleng, memijat pangkal hidung, berlagak seolah-olah seperti seorang boss yang super sibuk tengah merasakan lelahnya pekerjaan.

Namun apa yang kudapatkan? Raka malah bergerak mengapit kepalaku sebab aku tahu pasti cowok tersebut begitu gemas melihat tingkahku. Bukan gemas yang lucu begitu, tetapi gemas ingin menebas kepalaku contohnya.

"Lepasin anjir lepasin!"

"Gaya lu kek orang bener aja!" Ucap Jidan. Apa? Apa selama ini aku bukan orang benar? Dasar pacar gilanya Adara!

"Kenapa? Lo habis ditanyain apa sama Bunda Anggi?" Jika Albi yang berbicara, pasti dengan suara rendah dan lembut. Berbeda sekali dengan dua makhluk astral itu.

"Lepasin dulu, Raka!" Akhirnya Raka melepaskanku. Rambut yang sudah kutata rapi ini menjadi amburadul disebabkan lengan besarnya yang tidak bisa diam!

Aku tidak akan mengatakan apapun kepada mereka soal Bunda Anggi tadi. Bisa-bisa bukannya aku menjadi tenang malah pasti akan mendapatkan begitu banyak serangan. Serangan fotoku bersama Atlas diuks tadi saja belum kelar, bagaimana jika aku memberitahu hal ini kepada mereka? Bisa-bisa aku akan semakin dipojokkan.

ATLASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang