SUDAH tiga hari ini aku tidak masuk sekolah. Keadaan yang tiba-tiba ngedrop membuatku begitu lemas dan terlihat sangat pucat. Sebenarnya aku sudah tidak apa-apa hari ini namun, Ayah tidak mengizinkanku untuk pergi kesekolah takut kalau-kalau aku akan pingsan lagi disana.
Pingsan? Iya, aku pingsan tiga hari lalu ketika aku bersama Atlas ditaman belakang sekolah.
Sebelumnya aku tidak pernah berpikiran bahwa yang akan membawaku pulang kerumah adalah Atlas sendiri. Namun kemarin, ketiga sahabatku pergi menjengukku dengan membawa begitu banyak buah-buahan dan makanan. Aku menanyakan kepada mereka bagaimana aku tiba-tiba langsung berada dirumah? Apakah pihak uks yang membawaku pulang? Atau Ayah yang menjemputku kesekolah?
Tetapi yang kulihat mereka malah kompak saling memandang satu sama lain. Sedetik kemudian menoleh kearahku sembari tersenyum tidak jelas. Aku masih belum curiga waktu itu, pikirku Jidan atau Raka atau bisa jadi Albi yang membawaku pulang ketika melihat mereka saat itu saling kode-kodean.
Namun jawaban Gizza benar-benar membuat mataku melotot dan mulutku terbuka lebar seketika. Jauh dari perkiraan dan ekspekstasiku. Kata mereka, Atlas membopongku dengan tergesa-gesa menuju pakiran, sebelum itu ia sempatkan menelpon Albi terlebih dahulu untuk meminjam mobil cowok tersebut.
Tak berhenti disitu, ternyata Atlas harus berdebat terlebih dahulu dengan guru piket saat itu sebab awalnya ia tidak diperbolehkan membawaku pulang dan mengharuskan aku berada diuks saja. Tetapi Hana bilang, tubuhku benar-benar sudah tidak berdaya lagi juga wajahku yang terlihat begitu pucat membuat Atlas tidak tega jika harus membiarkan aku tetap berada disekolah.
Namun, dengan sejuta alasan--kata Gizza--akhirnya diperbolehkan dengan syarat ia harus segera kembali kesekolah setelah mengantarku pulang.
Aku merasa tidak enak dan berhutang budi pada cowok tersebut. Terlebih kata Ayah ketika aku melihat begitu banyak makanan, buah-buahan dan juga obat-obatan dimeja samping tempat tidur itu ternyata dari Atlas. Setelah membawaku pulang, Ayah kira cowok itu akan langsung kembali kesekolah namun nyatanya beberapa menit kemudian kembali kerumah dengan membawa beberapa kresek.
Aku jadi bingung, apa yang harus aku lakukan untuk membalasnya. Apa aku harus mengembalikan uangnya? Atau menemuinya dan mengatakan jika ada yang bisa kubantu maka ia boleh memanggilku untuk menebus hutang budiku?
Aku mengacak rambut frustasi. Terlalu bingung apa yang harus aku lakukan ketika bertemu dengannya besok. Bukannya apa, aku merasa tidak enak karena telah merepotkannya saat itu.
Ponsel yang bergetar membuatku mengurungkan niat untuk beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Kernyitan didahiku nampak begitu jelas ketika melihat siapa gerangan yang menelponku saat ini.
Atlas menelponku.
"Halo?"
"Kalea, sayang! Hei kamu lagi sakit ya? Gimana keadaanmu nak?" Aku tersenyum, Bunda Anggi ternyata.
"Halo Bunda, Kalea udah nggak papa kok. Ini besok udah bisa sekolah lagi, hehe,"
"Kok udah sekolah? Beneran udah sehat? Jangan dipaksa lo, Kal! Kalau emang belum sehat, lebih baik istirahat dulu!"
Aku reflek menggelengkan kepala. "Enggak Bun, beneran udah enakan kok ini,"
"Syukur deh kalau gitu. Maafin Bunda ya belum bisa jenguk kamu. Soalnya si bungsu juga lagi sakit ini. Kalau ditinggal ngerengek anaknya," aku terkekeh kecil mendengarnya, ternyata Alandra--adik Atlas--saat ini tengah sakit juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLAS
Teen FictionTidak ada yang tahu menahu perihal perasaan. Tidak ada yang bisa memaksa perasaan namun mampu menolak perasaan. "Perihal perasaan cinta, gue masih bisa gantung itu diatas kepentingan apapun. Tapi perasaan ikhlas, sampai detik ini masih gue coba asah...